Penulis
Intisari-Online.com - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menyebutkan kalau Indonesia dihadapkan pada kondisi yang sulit bahkan sejak era kemerdekaan.
Menurut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini, Indonesia merdeka tidak dalam kondisi perekonomian yang stabil.
Pasalnya, Belanda sendiri baru mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949-an.
"Jadi dari tahun 1945 sampai 1949 Indonesia masih terus berada dalam situasi intimidasi, konfrontasi, bahkan agresi Belanda."
"Itu kondisi politik, militer, keamanan, dan ekonomi tidak pasti," ujar Sri Mulyani beberapa waktu lalu.
"Ekonomi kita diberi warisan, tidak hanya ekonomi yang rusak, tapi juga utang pemerintah kolonial," lanjut dia.
Mengutip pemberitaan Harian Kompas, 27 Desember 1985, utang warisan Hindia Belanda tersebut merupakan salah satu harga mahal yang harus dibayar pemerintah Indonesia untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari bekas negara penjajahnya tersebut.
Meski memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia secara de facto dan de jure baru mendapatkan status sebagai negara berdaulat pasca-kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Ada 3 delegasi yang berunding dalam KMB yang difasilitasi PBB yakni delegasi Indonesia, delegasi Belanda, dan delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS).
Dalam KMB, delegasi Indonesia dipimpin oleh M. Hatta dan M. Roem sebagai wakilnya.
Delegasi Indonesia terdiri dari beberapa komite yang diketuai oleh Prof. Supomo, Dr. Juanda, Dr. Leimena, dan Dr. Ali Sastroamidjojo.
Sementara delegasi Belanda juga memiliki beberapa komite yang dipimpin Menteri Wilayah Sebrang Laut, Van Maarseveen.
Berikutnya adalah delegasi Federalis/Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yaitu komite yang didirikan oleh Belanda untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS).
Delegasi ini dipimpin oleh Sultan Hamid yang merupakan perwira KNIL yang juga putra sulung dari Sultan ke-6 Pontianak.
Dalam KMB, kesepakatan mengenai siapa yang harus menanggung utang Hindia Belanda jadi salah satu poin perdebatan yang sulit menemui titik temu.
Ini mengingat utang pemerintah Belanda yang ditinggalkan di Hindia Belanda sangat besar.
Membengkaknya utang Hindia Belanda karena banyak pengeluaran yang harus dikeluarkan Belanda untuk melakukan dua agresi militer.
Pihak delegasi Belanda bersedia mengakui kedaulatan RI dengan catatan, Indonesia harus menanggung utang dari zaman pemerintahan Hindia Belanda hingga penyerahan kedaulatan.
Di sisi lain, pihak Indonesia hanya mau menanggung utang Hindia Belanda hingga Maret 1942, atau berakhirnya era Hindia Belanda seiring kedatangan Jepang.
Sehingga tidak menanggung utang yang timbul dari pengeluaran perang selama Agresi Militer Belanda.
Delegasi Indonesia sendiri akhirnya terpaksa menyetujui untuk membayar sebagian utang yang ditinggalkan Belanda atas nama Hindia Belanda yakni sebesar 4,3 miliar gulden atau setara 1,13 miliar dollar AS saat itu demi mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda.
Dengan kata lain dengan menanggung utang tersebut, pemerintah Republik Indonesia secara tidak langsung mengakui dengan terpaksa membiayai perang yang dikobarkan Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Selain masalah utang, kesepakatan ekonomi lainnya dalam KMB adalah Indonesia harus mendapatkan persetujuan Belanda untuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia.
Indonesia juga diharuskan menanggung hidup 17.000 karyawan perusahaan-perusahaan Belanda hingga dua tahun ke depan setelah KMB.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Berapa Utang Warisan Belanda yang Disinggung Sri Mulyani?"