Advertorial
Intisari-Online.com - Sejumlah anak korban eksekusi serdadu Belanda selama perang kemerdekaan tahun 1945-1950 menolak tawaran ganti rugi sebesar 5000 Euro (sekitar Rp86 juta).
Jumlah tersebut dianggap tidak sepadan.
Ketika Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan permohonan maaf kepada Indonesia atas kekerasan yang terjadi antara tahun 1945 dan 1949, dalam kunjungannya ke Istana Bogor awal tahun ini, Sardjono Danardi baru mengetahui bahwa ia bisa menggugat pemerintah Belanda.
Dalam periode tersebut, negara Indonesia yang baru memproklamirkan kemerdekaan berjuang untuk mempertahankan negara dari Belanda yang ingin kembali menguasai setelah Jepang angkat kaki.
Ayah Sardjono, Letkol dr. Sudjono, adalah anggota tim dokter di Brigade IX "Kuda Putih", salah satu pasukan gerilya pada masa Perang Kemerdekaan.
Brigade yang dipimpin Letkol Ahmad Yani (yang kemudian menjadi jendral) itu beroperasi di Magelang, Jawa Tengah.
Sardjono menceritakan, ayahnya ditangkap serdadu KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) pada bulan Februari 1949 saat sedang mandi di sungai.
Ia kemudian berusaha melarikan diri dengan melompat pagar namun tersandung hingga terjatuh dan akhirnya ditembak tentara Belanda.
Menurut Sardjono, penembakan tersebut melanggar prinsip Hukum Humaniter Internasional yang mengatur tindakan-tindakan selama perang.
Hukum tersebut, yang mencakup Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag, tegas melarang penyerangan terhadap tenaga medis.
"Pada saat dari tempat mandi itu kan membawa peralatan obat."
"Mereka pasti tahu itu tim kesehatan, mestinya tidak boleh ditembak atau dianiaya," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Peristiwa penembakan dr. Sudjono diceritakan oleh mantan koleganya dalam sebuah buletin internal TNI-AD.
Setelah membaca tentang ganti rugi sebesar 20.000 Euro yang diberikan kepada para janda dan anak-anak dari korban pembantaian di Rawagede dan Sulawesi Selatan pada 2013 dan 2015, Sardjono berpikir sudah waktunya ia mendapat kompensasi atas kematian ayahnya.
Namun ia berkata tidak akan mengikuti skema terbaru dari pemerintah Belanda karena jumlah kompensasi yang ditawarkan menurutnya "terlalu kecil".
"Ganti rugi tidak melulu sekadar ganti rugi," kata Sardjono.
"Mungkin akan ada biaya pengacara yang dari Indonesia, biaya pengacara yang dari luar."
Sardjono mengatakan ia sudah membuat perhitungan sendiri tentang besaran kompensasi yang sepadan. Namun tidak mau mengungkapnya kepada BBC News Indonesia.
'Tak terhingga nilainya'
Sardjono baru berusia enam bulan ketika peristiwa nahas itu terjadi.
Ia kemudian dibesarkan oleh kakeknya, setelah ibunya menikah lagi.
Pria yang kini berusia 71 tahun itu baru mengetahui bahwa ayah kandungnya meninggal pada usia lima tahun, dan diberi tahu bahwa sang ayah mati ditembak setelah masuk SMA.
"Saya sedih sekali, bagaimana orang tua saya meninggalnya bukan meninggal biasa tapi ditembak oleh musuh, dan ditembaknya itu semena-mena, pada saat melakukan suatu kegiatan kebajikan, kemanusiaan," ungkapnya.
Ayah Sardjono, Letkol dr. Sudjono, adalah sosok yang dihormati.
Dalam peresmian nama rumah sakit tersebut pada 1973, Sardjono diberi tahu mantan kolega-kolega ayahnya tentang kronologi penembakan itu.
Sejak saat itu, ia aktif mencari tahu lebih banyak tentang ayahnya.
Ia mengumpulkan keterangan dari para saksi mata, termasuk seorang kolonel bernama sama dengannya yang menuliskan peristiwa penembakan itu dalam sebuah buletin untuk internal TNI-AD.
Dari bukti-bukti yang didapat, ia menyusun sendiri riwayat hidup ayahnya.
Bagi Sardjono, nyawa sang ayah tidak terhingga nilainya.
Meskipun begitu, ia tetap merasa berhak mendapatkan kompensasi lebih besar karena ayahnya adalah seorang tentara.
Ia mengaku dirinya beruntung karena bisa diasuh oleh kakeknya, yang sejak itu ia anggap sebagai ayah angkat.
"Kalau tidak ada yang mengasuh saya, saya bisa jadi 'anak kolong'," ujarnya.
Abdul Halik, anak dari warga Bulukumba korban pembantaian tentara Westerling juga menolak tawaran dari pemerintah Belanda, yang disebutnya sangat tidak adil.
Pria yang menyaksikan ayahnya, Becce Beta, dibawa oleh tentara Belanda untuk dieksekusi, menekankan bahwa jumlah kompensasi yang diberikan dalam skema baru ini jauh lebih kecil dari yang diberikan kepada sejumlah janda dari korban pembantaian di Rawagede dan Sulawesi Selatan pada 2013 dan 2015.
"Sudah banyak yang diberikan kepada janda, sebesar 20.000 Euro, sekarang mau diturunkan menjadi 5000 Euro, itu kan tidak adil," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Pria yang kini berusia 84 tahun itu menuntut agar pemerintah Belanda memberinya jumlah kompensasi yang sedikitnya sama dengan para janda.
"Itu pun sebenarnya yang 20.000 Euro itu tidak sebanding dengan pengorbanan orang tua kami yang dieksekusi."
"Tapi apa boleh buat karena sudah terlanjur pembayaran begitu, kalau memang pemerintah Belanda mau bijaksana dalam persoalan ini ya segitu saja," imbuhnya.
Pembayaran tanpa melewati gugatan ke pengadilan
Dalam surat yang disampaikan kepada parlemen Belanda oleh Menteri Luar Negeri Stef Blok dan Menteri Pertahanan Ank Bijleveld pada 19 Oktober, disebutkan bahwa tawaran ganti rugi dimaksudkan untuk mengakhiri gugatan-gugatan yang berkepanjangan menyusul berbagai kasus yang diajukan oleh anak-anak korban kekejaman Belanda.
Pada 2011, pengadilan distrik Den Haag memerintahkan pemerintah Belanda memberikan ganti rugi kepada tujuh janda korban pembantaian massal di Rawagede dan seorang pria yang menderita luka tembak pada 1947.
Pengadilan menolak argumen pemerintah Belanda bahwa para janda korban tidak berhak mendapatkan ganti rugi karena kasusnya kadaluwarsa.
Pemerintah Belanda memberi ganti rugi kepada seluruh keluarga korban pembantaian, masing-masing sebesar 20.000 Euro atau setara Rp 243 juta berdasarkan kurs rupiah waktu itu.
Besaran kompensasi yang sama juga diberikan kepada sepuluh janda korban penembakan Westerling di Sulawesi Selatan, pada 2013.
Pada Maret tahun ini, Andi Monji, 83 tahun, mendapat 10.000 Euro (Rp173 juta) sebagai kompensasi atas pembunuhan ayahnya dalam "tindakan pembersihan" oleh tentara Belanda antara Desember 1946 dan April 1947.
Sementara delapan janda dan tiga anak dari korban lainnya mendapat kompensasi antara 123,48 dan 3.634 Euro.
Pengadilan Sipil Den Haag pada tanggal 30 September lalu memerintahkan pemberian ganti rugi sebesar 874,80 Euro (Rp 15 juta) kepada Malik Abubakar, putra dari Andi Abubakar Lambogo, pejuang asal Sulawesi Selatan yang kepalanya dipenggal oleh serdadu Belanda pada tahun 1947.
Dalam kebanyakan kasus, nilai ganti rugi bagi anak korban lebih sedikit dibandingkan yang diberikan kepada janda.
Skema terbaru ini tidak melalui pengadilan, namun memberikan penyelesaian yang dipukul rata sebesar 5000 Euro bagi ahli waris yang memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain bukti bahwa ayah mereka memang dibunuh dalam eksekusi yang terdokumentasikan dan juga dokumen yang membuktikan mereka anak dari ayah yang dibunuh.
Pengacara yang mendampingi sejumlah anak korban kekerasan Belanda, Irwan Lubis, menilai skema ini berpotensi merugikan anak dari korban yang seharusnya mendapatkan lebih banyak kompensasi.
"Belum memuaskan, karena seperti contoh keputusan Maret 2020, Andi Monji dapat 10.000 Euro. Kalau dipukul rata nanti yang 10.000 akan turun jadi 5000.
"Akan merugikan bagi yang potensial mendapatkan 10.000, dan akan menguntungkan bilamana dia potensial hanya memperoleh 120 Euro sampai 800 Euro seperti [kasus] Lambogo itu," ia menjelaskan.
Bagaimanapun, ia memandang kebijakan yang diumumkan dua menteri Belanda ini sebagai suatu kemajuan karena bila selalu mengandalkan pengadilan, menurutnya, prosesnya lama dan berat.
Irwan meminta pemerintah Indonesia memfasilitasi warga yang hendak mengikuti skema baru ini, antara lain dengan membantu verifikasi dokumen-dokumen yang dijadikan bukti, sekaligus meminta permakluman kepada pemerintah Belanda atas kendala administrasi tersebut.
"Namanya zaman dulu kan tidak ada akte kelahiran. Kadang-kadang tukang urus di lapangan itu kan salah tanggal apa bagaimana, tidak klop. Nah itu mesti diverifikasi .... Yang berhak memvalidasi itu kan pemerintah Indonesia dalam hal ini RT-RW bila perlu kantor lurah."
Menurut pengamatannya, selama ini ada kurang-lebih 700 janda dan anak dari korban pembantaian Belanda yang telah berusaha mengajukan gugatan ke pengadilan Belanda namun banyak dari mereka yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan administrasi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan kepada BBC News Indonesia lewat pesan pendek bahwa pihak pemerintah sedang mempelajari keputusan ini dan belum bisa memberi komentar.
Dibatasi masa kedaluwarsa
Menurut Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), Jeffry Pondaag, tidak banyak ahli waris yang akan dapat mengakses skema itu karena ganti rugi ini ternyata juga dibatasi oleh masa kedaluwarsa dua tahun sejak kasus terungkap di pengadilan.
Hal itu untuk menjaga supaya tidak terlalu banyak orang yang menuntut.
Itu berarti Abdul Halik, anak dari korban pembantaian Westerling yang diakui pengadilan Den Haag pada 2011 tidak memenuhi syarat sedangkan Sardjono Danarbi punya waktu hingga 2022 untuk ikut serta.
"Jadi orang-orang yang bisa menerima ganti rugi ini, adalah orang-orang yang tidak terlambat menggugat pemerintah Belanda," kata Jeffry, seraya menyebut kompensasi 5000 Euro itu "kacang goreng"
Jeffry juga mengkritik komentar anggota Komisi 1 DPR dari fraksi Golkar, Dave Laksono, yang menyebut keputusan Belanda itu sebagai "niat baik".
Padahal, kata Jeffry, tidak ada kebaikan sama sekali.
"Itu didorong dari kita, sebagai Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda, didorong oleh pengadilan, didorong oleh kritik-kritik di sini (Belanda)... Kalau benar-benar baik itu sudah dari awal, tahun 2008, waktu kita menuntut kasus Rawagede itu diselesaikan," ujarnya.
Penyelesaian optimal?
Senada dengan Jeffry, sejarawan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Profesor Asvi Warman Adam, mengatakan keputusan dua menteri Belanda ini jangan dipandang sebagai langkah ganti rugi Belanda kepada warga Indonesia atas penjajahan di tanah airnya.
Alih-alih, ujarnya, ini merupakan kompensasi yang diberikan kepada warga Belanda korban kekejaman tentara Belanda sendiri, mengingat Belanda baru secara resmi menyerahkan kedaulatan kepada Indonesia pada 27 Desember 1949.
"Jadi mereka mengadili tentara Belanda yang melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negara Belanda atau Hindia Belanda pada saat itu."
"Dan kemudian diberikan ganti rugi kepada pihak korban," kata Prof. Asvi.
Ia menilai cara penyelesaian yang selama ini ditempuh Belanda untuk kasus-kasus seperti Westerling dan Rawagede setidaknya bisa disebut optimal.
Kendati ganti rugi yang diberikan Belanda tidak banyak, kata Prof. Asvi, yang lebih penting ialah pengakuan bahwa sudah terjadi kesalahan pada masa lalu.
"Ini kan bukan pengadilan perdata ya, yang nanti akan dibayar ganti rugi yang besar sekali, bukan seperti itu," ujarnya.
"Jadi yang sangat penting itu menurut saya pengakuan sudah terjadi pelanggaran HAM, kekerasan, pada masa lampau. Dan pihak korban diberikan ganti rugi."
Meski begitu, bagi Sardjono Danardi, Abdul Halik, dan barangkali anak-anak korban eksekusi tentara Belanda lain, tawaran kompensasi tidak sepadan sepadan dengan penderitaan mereka serta hak-hak mereka yang dilanggar.
"Ini menyangkut masalah Hak Asasi Manusia. Kami ini sebagai ahli waris korban, telah menyerahkan kepada Tuhan bahwa Bapak kami sudah tidak ada."
"Dan bagaimanapun juga, pemerintah Belanda harus melihat kenyataan terhadap para anak korban yang telah dieksekusi orang tuanya, hidupnya menderita dan segalanya," kata Abdul Halik.
(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Anak Korban Perang Kemerdekaan yang Tolak Tawaran Ganti Rugi dari Belanda: Itu Tidak Adil"