Penulis
Intisari-Online.com - Pakar Gunung Merapi, Drs Subandriyo MSi, menjelaskan latar belakang pembentukan tim khusus yang menjalankan misi rahasia ke puncak Merapi.
Tim khusus ini dianggap terdiri para petugas-petugas senior pengamatan gunung, yang hasil pekerjaan mereka di masa-masa genting itu memiliki peran besar bagi keselamatan banyak orang.
Subandriyo, yang kini menjalankan fungsi sebagai Penyelidik Bumi Madya BPPTKG Yogyakarta, menyatakan keputusannya memang serba rahasia karena risiko.
Misi itu hanya diketahui Kepala BPPTK Yogyakarta, yang waktu itu (2010) dijalankan Subandriyo, Kepala Seksi Merapi dan beberapa orang lain di balai.
Saking rahasianya, Kepala Badan Geologi Dr Ir Surono atau sering disebut Mbah Rono, saat itu tidak diberitahu.
“Saya bentuk tim untuk melakukan pengamatan langsung dan sampling gas vulkanik di puncak Gunung Merapi yang sedang bergolak."
"Tugas ini bersifat rahasia,” kata Subandriyo kepada Tribun Jogja.
Menurutnya, keputusan itu didasari situasi yang serba penuh tanda tanya waktu itu.
“Tanda-tanda akan terjadi letusan makin jelas."
"Sehingga semua ahli yang terlibat dalam analisis data yakin Gunung Merapi akan meletus,” kata Pak Ban, panggilan akrab Subandriyo.
“Tetapi pertanyaan krusialnya, jenis letusan seperti apa yang mungkin akan terjadi?” imbuhnya.
Karena menurutnya, pada beberapa kali letusan sebelumnya, dengan gejala seismik dan deformasi yang begitu kuat, seharusnya sudah muncul kubah lava baru yang disertai guguran lava dengan jumlah ribuan kali per hari.
Tapi yang terjadi saat itu menurut Subandriyo, ada suara gemuruh sangat kuat, hingga menggetarkan jendela rumah penduduk yang jaraknya puluhan kilometer.
Fenomena ini menurutnya tidak lazim di Merapi.
Lalu muncul dugaan, pertama mungkin terbentuk cryptodome, yaitu kubah lava baru yang terbentuk, tetapi muncul di permukaan.
Bila demikian, kata lulusan Fisika UGM ini menduga bisa terjadi sector collaps.
Baca Juga: Rasakan Khasiat Luar Biasa Ini, Anda Cukup Meletakkan Bawang Putih di Telinga, Bisa Segera Dicoba!
Sebagian besar puncak gunungnya akan longsor hingga memicu awan panas besar seperti erupsi Gunung St Helens, USA, pada 1980.
Kedua, mungkin terjadi letusan eksplosif besar, yang disebut jenis letusan Sub-Plinian.
Menurut para ahli, letusan ekplosif dipicu magma yang kaya akan gas bergerak ke permukaan.
Artinya kandungan gas menjadi parameter penentu.
“Lalu bagaimana data gas saat itu."
"Data terakhir September 2010, kandungan gas yang indikatif seperti CO2, SO2, HCl dan H2O menunjukkan perubahan yang signifikan dibanding data Mei 2010,” jelasnya.
Tapi masih ada keraguan dari sebagian ahli terhadap akurasi datanya.
Peningkatan kandungan gas, khususnya CO2, dicurigai karena efek kontaminasi udara ketika melakukan sampling di lapangan.
Inilah yang menurutnya, menjadi keraguan dalam mengambil keputusan untuk peringatan dini.
Karena data gas ini menjadi parameter penentu (decisive parameter), maka datanya harus yakin benar.
“Mulai dari cara sampling hingga analisa laboratoriumnya."
"Tidak boleh ada keraguan sedikitpun."
"Ini menjadi tantangan besar bagi manajemen krisis,” kata pria kelahiran Sawit, Boyolali ini.
Hanya ada celah (waktu) sempit, dengan risiko tinggi.
“Tetapi bila berhasil dilakukan, akan mengurangi risiko yang jauh lebih besar yaitu keselamatan masyarakat di lereng Merapi,” ujarnya.
Akhirnya pada hari Selasa, 19 Oktober 2010, tim khusus melakukan pendakian dan berhasil mengambil sampel gas vulkanik.
Setelah dianalisa di laboratorium, hasilnya luar biasa.
Gas CO2 mencapai 62,6 %, sementara data September nilainya 10 % (normalnya sekitar 2 %).
Sementara unsur gas yang lain menunjukkan perubahan signifikan.
Berdasarkan data gas ini, tanpa keraguan menyimpulkan akan terjadi letusan yang eksplosif.
Artinya masa krisisnya berlangsung cepat.
Jadi kenapa, selang waktu status SIAGA (21 Oktober 2010) hingga dinaikkan ke status AWAS (25 Oktober 2010) hanya 5 hari.
Kemudian 26 Oktober 2010 terjadi letusan pertama.
“Dari narasi singkat ini, kita menjadi tahu betapa penting peranan para pengamat gunungapi dan para teknisi yang berjumlah 7 orang dalam menghadapi bencana letusan Gunung Merapi 2010,” kata Subandriyo.
“Mereka bekerja penuh dedikasi dan keberanian mempertaruhkan jiwa raga, demi keselamatan nyawa orang banyak."
"Mereka layak disebut “The Magnificent Seven” dalam drama krisis Gunung Merapi 2010,” kata vulkanolog yang hampir 30 tahun mengamati Merapi.
(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Ternyata Ada Misi Rahasia yang Dilakukan Jelang Erupsi Besar Merapi 10 Tahun Lalu, Ini Kata Pakar