Penulis
Intisari-online.com -Banyak orang penasaran, apa yang terjadi dengan Timor Leste?
Seorang jurnalis lepas, Ian Lloyd Neubauer menceritakan pengalamannya bekerja di Timor Leste.
Ia menggambarkan Timor Leste seperti Bali sebelum turisme meledak.
Mengutip Nikkei Asia, ia menyebut Timor Leste adalah negara muda yang penuh harapan, setidaknya saat ia sampai di negara itu sebagai koresponden pada 2009 silam.
Kekerasan yang terjadi pada 2006-2008 telah berakhir dan 100 ribu pengungsi telah ditempatkan kembali ke rumah mereka.
Sejak itu perdamaian tercapai di Timor Leste, yang menjadi momen bersejarah untuk negara yang terkenal karena penjajahan kolonial yang brutal dan perang sipil yang memecah pulau itu selama 3 abad.
Setelah warga Timor Leste menginginkan kemerdekaan dari Indonesia dalam referendum tahun 1999, negara mereka dihancurkan oleh militan Indonesia.
Timor Leste segera mendapat bantuan dari komunitas internasional, dan warga antusias membangun negara mereka dari puing-puing keruntuhan meeka.
Timor Leste makin berkembang, dan tunjukkan kepemimpinan global di antara negara berkembang lain, bahkan sampai saat ini Timor Leste merupakan satu-satunya negara di Asean yang bergerak menuju demokrasi dibandingkan negara Asean lain.
Bumi Lorosae telah menikmati kesuksesan pertumbuhan ekonomi dari royalti minyak dan gas negara mereka, dan mengikuti contoh dari Norwegia untuk menyimpan kekayaan mereka dalam dana kekayaan kedaulatan khusus.
Tujuan hal ini adalah untuk menghindari apa yang disebut 'kutukan sumber daya atau paradoks kelimpahan', yang biasanya terjadi pada negara yang berlimpah bahan bakar fosil dan mineral.
Neubauer kembali ke Timor Leste setelah 9 tahun, dan ia melihat contoh kesuksesan pembangunan negara tersebut: rencana masuknya listrik yang meningkat dari 20% jumlah rumah tangga di 2002 meningkat menjadi 80%.
Bangunan bertingkat di ibukota Dili dengan mall modern dan waralaba besar yang membangun ekonomi kota.
Namun itu mungkin pencapaian tertinggi Dili, ledakan turisme yang sempat diharapkan Neubauer akan seperti di Kamboja dan Myanmar tidak pernah terwujud.
Tahun 2018, hanya ada 75 ribu turis yang mengunjungi Timur Leste, yang mana itu adalah jumlah yang bisa diraup Bali setiap empat hari sekali.
Kondisi jalannya juga lebih buruk dari 10 tahun sebelumnya, Neubauer melaporkan berkendara dari Dili ke Pantai Satu Dollar yang hanya perlu 40 km saat itu perlu dua jam dengan kondisi jalan berlumpur dan banyak lubang seukuran kawah bom.
Saat hujan deras, Neubauer merasa seperti berkendara lewati sungai di tengah kota Dili.
Ironisnya, Timor Leste telah gelontorkan 10 miliar Dolar atau 146 Triliun Rupiah untuk infrastruktur selama 18 tahun terakhir.
Lalu ke mana perginya uang pembangunan itu?
Namun perubahan paling jelas adalah hilangnya harapan warga.
Kunjungan Neubauer sebelumnya membuat ia tertarik karena warga Timor Leste berharap masa depan lebih baik setelah lepas dari Indonesia.
Kini harapan warga itu pupus sudah.
Kota pinggiran Dili, Tibar, di mana pelabuhan komersial senilai 500 juta Dolar dibangun, ada banyak anak kecil berumuran 8 tahun bekerja sebagai tukang rosok.
Banyak juga pengemis berdiri di luar supermarket meminta uang dan mengatakan mereka kelaparan.
Salah seorang investor asing di Dili mengatakan kepada Neubauer bahwa "tidak ada infrastruktur di kualitas apapun.
"Buruh yang ada saat ini tidak memiliki pendidikan dan tidak terlatih sedangkan anak-anak hadapi masa depan suram dengan prospek tidak ada pekerjaan sama sekali."
Industri turisme mati karena para menteri tidak tahu bagaimana menghidupkannya kecuali bermanfaat untuk mereka sendiri, dan selain perkebunan kopi, tidak ada lagi pendapatan yang masuk.
Sehingga nanti ketika ladang minyak mereka kering, tidak ada apa-apa lagi.
Mungkin salah satu penyebab merosotnya ekonomi bumi Lorosae adalah setelah membayar 650 juta Dolar pada tahun 2018 kepada perusahaan Shell and ConocoPhillips untuk membeli saham mereka di ladang migas Greater Sunrise.
Greater Sunrise masih dioperasikan oleh Woodside Petroleum Australia, dan oleh sebab itu saham Timor Leste sudah bernilai nol.
Kesepakatan itu merupakan langkah pertama rencana besar yang dieram layaknya telur unggas oleh presiden dan mantan perdana menteri Xanana Gusmao, yaitu untuk membangun industri minyak lokal.
Rencana itu melibatkan 450 juta Dolar untuk bandara dan jalan raya yang dibangun di pantai selatan dengan penduduk yang jarang.
Xanana Gusmao telah diperingatkan oleh semua ahli yang mengatakan jika seluruh rencana tersebut sangat tidak fleksibel.
Dampaknya pun baru terasa saat ini, dengan menguras kantong Timor Leste setidaknya 1,1 miliar Dolar, senilai dengan pendapatan kotor negara itu tahun lalu, atau sebesar 16 Triliun Rupiah.
Bisnis yang tidak kompeten itu seharusnya tidak dilanjutkan lagi, sedangkan investasi di bidang pertanian hanya menarik sekitar 2% dari APBNl tahun lalu, padahal 80% populasi Timor Leste bergantung pada investasi tersebut untuk bertahan hidup.
Investasi kesehatan hanya mencakup 0,3% GDP, pendidikan pun hanya mendapat porsi 0,2% GDP.
Inilah letak akar masalahnya: alokasi bagian terbesar dari pengeluaran pemerintah digunakan untuk proyek infrastruktur dan kesombongan berskala besar.
Satu-satunya cara mencegah Timor Leste dari kehancuran adalah menyesuaikan perkembangan ekonomi dengan pendekatan yang berfokus pada penyediaan jasa-jasa dasar dan membangun industri yang lebih beragam yang akan menyediakan lapangan pekerjaan jangka panjang seperti industri wisata dan manufaktur.
Sampai ini terjadi, Timor Leste hanya akan menjadi negara kaya minyak yang gagal mengatur negara mereka dan dihantui oleh kelaparan serta keputusasaan.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini