Dilema Pilihan Kesehatan Masyarakat Atau Ekonomi Disebut WHO Pilihan yang Salah, Buntut Kapitalisme Penjara Bertopeng Kebebasan yang Menjerat Manusia

May N

Penulis

pilihan kesehatan masyarakat atau pulihkan ekonomi buktikan jika negara kapitalis sebenarnya rentan terhadap kebebasan kesehatan

Intisari-online.com -Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, membingkai keputusan untuk memberlakukan lockdown untuk mengekang virus corona baru versus membuka kembali ekonomi, sebagai pilihan antara kesehatan masyarakat dan ekonomi adalah dikotomi yang "salah".

"Itu adalah pilihan yang salah," kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam rekaman video saat membuka Perkembangan Covid-19 Universitas Nasional Singapura (NUS), Kamis (17/9).

"WHO mendesak negara-negara untuk fokus pada empat prioritas penting," tegasnya seperti dikutip Channel News Asia.

Sebenarnya dilema pilihan antara kesehatan masyarakat atau pulihnya ekonomi adalah bentuk penjara bernama kapitalisme yang telah lama menjerat penduduk dunia.

Baca Juga: Tega Khianati Palestina, Mengapa Sejumlah Negara Arab Kini Pilih Berdamai dengan Israel yang Terus Jajah Palestina?

Mengutip kanal YouTube Second Thought, puluhan tahun kata kapitalisme dan kebebasan selalu dikaitkan kepada satu sama lain.

Namun kenyataannya keduanya tidak berhubungan ke arah positif.

Sebelumnya perlu dipahami, kebebasan ada dua jenis: kebebasan positif dan kebebasan negatif.

Kebebasan positif adalah kebebasan mampu memiliki kapasitas untuk bertindak sesuai keinginan kita masing-masing.

Baca Juga: Situasi Dunia Memanas: Hubungan AS dan China Memburuk, Mungkin Pencegah Perang Dingin Baru Hanyalah Peristiwa Bersejarah di Bandung Tahun 1955 yang Digagas Presiden Soekarno Ini

Sedangkan kebebasan negatif adalah kebebasan dari paksaan orang lain.

Sayangnya, kapitalisme justru menekan kedua jenis kebebasan ini.

Contohnya yang paling mudah ditemukan adalah kapitalisme ekonomi.

Kebebasan yang digadang-gadang dalam kapitalisme ekonomi adalah siapapun bisa beroperasi dalam sistem ekonomi makro tanpa paksaan perusahaan yang lebih besar.

Baca Juga: Begini Rupanya Rahasia Restoran Masak Bayam Agar Tidak Cepat Menghitam, Cuma Butuh Tiga Langkah Saja, Mau Coba?

Sayangnya hal tersebut tidak terjadi.

Pemerintah AS adalah satu-satunya pihak yang bisa mengatur pembagian peruntungan bagi para pelaku ekonomi di negara itu sendiri, tapi pemerintah juga sudah dibeli oleh para perusahaan-perusahaan besar seperti Amazon milik Jeff Bezos ataupun Facebook milik Mark Zuckeberg.

Sehingga pemerintah sudah gagal membagi peruntungan bagi seluruh rakyat, dan akhirnya hanya orang-orang kaya yang semakin kaya.

Contoh lain adalah rentannya biaya kesehatan di negara penganut kapitalisme.

Baca Juga: Saking Ketakutan dengan Pengaruh Korea Selatan, Kim Jong Un Kembalikan Masker yang Dicurigai Dibuat di Korsel pada China

Rupanya, banyak penduduk Amerika kesulitan membayar biaya kesehatan mereka, sedangkan para miliuner tetap aman-aman saja mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai, itupun sebelum adanya pandemi Covid-19.

Bisnis-bisnis kecil pun hancur total karena pandemi, tapi pandemi hanyalah api kecil yang mempercepat kehancuran tersebut.

Dipastikan jika tidak ada pandemi, bisnis kecil yang tidak mampu bertahan melawan sistem kapitalis juga akan hancur.

Sementara bisnis besar tetap mendapatkan keuntungan besar-besaran di tengah pandemi ini, dan justru semakin kaya.

Baca Juga: Kalau Tidak Ingin Jadi Penghuninya, Patuhi Protokol Kesehatan! Seperti Ini Kondisi TPU Pondok Ranggon Sekarang Dibandingkan 5,5 Bulan yang Lalu

Lebih ironis lagi, kebebasan dalam memilih pekerjaan pun kian terbatas akibat kapitalisme.

Bisnis kecil kesulitan membayar pegawainya dengan upah yang memadai, sedangkan bisnis raksasa lebih memilih keuntungan dengan mengurangi karyawan sebanyak mungkin.

Hal tersebut membuat kondisi semakin banyak pengangguran yang ada meskipun tingkat pendidikan mereka semakin tinggi.

Intinya, kapitalisme telah membuat kebutuhan dasar seperti obat-obatan, makanan, minuman, dan tempat bernaung menjadi tereksploitasi dan harganya melambung drastis.

Baca Juga: Mulai Perubahan Musim dan Datangnya Penyakit Flu yang Bisa Menular dengan Cepat, Perlukan Vaksin Influenza?

Warga di bawah kapitalisme harus bekerja dalam kondisi tidak bebas hanya karena takut kehilangan pekerjaannya dan tidak bisa membayar kebutuhan sehari-hari, ini sudah bukan bentuk kebebasan lagi.

Sementara itu, paham sosialis justru memberikan sedikit ruang bagi warganya untuk merasakan kebebasan.

Sosialis dengan aturan seperti undang-undang buruh anak kecil, aturan libur setiap akhir pekan, jam kerja 40 jam seminggu, asuransi, keamanan sosial, undang-undang keamanan tempat kerja dan jam kerja 8 jam sehari memberikan kemudahan bagi para pekerjanya.

Anak kecil dipekerjakan sepertinya memang kejam, tapi mereka lebih mudah masuk ke dalam mesin-mesin raksasa dan upahnya lebih sedikit daripada orang dewasa.

Baca Juga: Luar Biasa! Ngaku Bisa Bercinta Hingga 28 Kali Sehari, Wanita Uzur Ini Hingga Nikahi 14 Pria Muda Tampan Demi Bisa Puaskan Dirinya

Sistem ini justru memberikan lebih banyak peluang kerja baik kepada orang-orang dengan pendidikan rendah, dan juga jaminan kesehatan dan kehidupan yang lebih layak.

Hal ini perlu dikaji mengingat Indonesia akan menerapkan RUU Omnibus Law yang dilihat dari berbagai sisi lebih memudahkan para pemilik perusahaan.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait