Penulis
Intisari-online.com -Republik Kiribati adalah salah satu negara kepulauan di tengah Pasifik yang memiliki garis pantai yang rendah.
Pulau ini terancam tenggelam karena meningkatnya level air laut dan perubahan iklim.
Selama ini orang-orang kurang memperhatikan pulau tersebut, tapi tidak setelah Beijing mulai mengincar pulau ini juga.
Mengutip The Strategist, Beijing telah mengajukan proposal pengerukan skala besar.
Tujuannya adalah untuk merebut kembali tanah agar tidak tenggelam dan menaikkan ketinggian pulau tersebut.
Namun Beijing tidak menawarkan bantuan itu secara cuma-cuma.
Beijing berniat untuk ciptakan lahan pengembangan industri, termasuk membangun dua pelabuhan utama.
Pekerjaan besar-besaran kemungkinan besar akan dilakukan oleh armada kapal keruk yang sama digunakan oleh China untuk membangun pulau-pulau buatan dalam ekspansi agresifnya ke Laut China Selatan.
Hampir pasti pekerjaan tersebut akan sebabkan kerusakan parah yang sama pada terumbu karang di Kiribati.
Padahal, pulau Kiribati terletak di pusat geografis di Samudera Pasifik yang luas, melintasi khatulistiwa dan garis bujur 180 derajat.
Kiribati merupakan satu-satunya negara di dunia yang menjangkau keempat belahan bumi.
Terdiri dari 32 atol karang dan satu pulau karang terangkat, Kiribati memiliki tiga kelompok pulau yang berbeda: Kepulauan Gilbert di sebelah barat, Kepulauan Line di timur dan Kepulauan Phoenix di tengah.
Ketiganya memiliki zona ekonomi eksklusif terpisah.
Secara gabungan ZEE ketiganya mencakup 3,5 juta kilometer persegi, ukuran separuh dari ZEE Australia.
Pulau di bawah pengawasan Australia ini menampung beberapa stok tuna dan ikan migran lain yang masih lestari.
Mineral dasar lautnya pun juga kaya.
Luas daratan dari semua pulau yang digabungkan hanya 800 kilometer persegi, sedangkan jumlah penduduk sekitar 120 ribu.
Karena pulau ini masih kawasan Australia, Australia berada dalam posisi yang sulit.
Pasalnya, tawaran China untuk meningkatkan permukaan garis pantainya sungguh menggiurkan, tapi hal tersebut merusak lingkungan pulau Kiribati.
Sedangkan pemerintah Kiribati sendiri telah beralih urusan diplomasinya dari Taiwan ke China pada September 2019 lalu, di tengah tuduhan China sudah 'membeli' negara tersebut.
Juni tahun ini, Partai Tobwaan Kiribati (TKP) mengamankan posisi penting di pemerintahan yaitu 4 tahun lagi.
Banyak yang menuduh mereka mencurangi pemilu Kiribati sendiri.
Manifesto perkembangan nasional TKP yaitu 'visi 20 tahun Kiribati' jelas-jelas memasukkan Belt and Road Initiative (BRI) China dalam visi mereka.
Sehingga, pemerintah Kiribati sedang memprioritaskan membangun dua pelabuhan besar di negara kecil.
Padahal, Kiribati sendiri tidak memiliki pasar ekonomi untuk fasilitas semacam itu.
Rencananya pelabuhan tersebut akan menghubungkan pemindahan kapal, dan satu penghubung akan ada di ibu kota Tarawa Atol di sebelah barat.
Lokasi tersebut juga merupakan lokasi mendaratnya pasukan AS untuk mengusir Jepang selama Perang Dunia II.
Lokasi kedua berada di Kiritimati Atol di sebelah timur, secara langsung di sebelah selatan Hawaii, yang merupakan salah satu pangkalan militer AS terbesar di Pasifik.
Atol atau gundukan karang di Kiribati hanya memiliki luasan yang sempit dan tingginya hanya beberapa meter saja di atas permukaan laut.
Kiribati saat ini terancam dengan meningkatnya level air laut karena perubahan iklim dan dampak lain yang sudah mulai terjadi.
Pemerintah Kiribati tergiur dengan proposal China yang tawarkan reklamasi lahan skala besar untuk 20 tahun mendatang.
Tujuan pemerintah Kiribati adalah untuk perkembangan perdagangan dan industri, serta merespon adaptasi perubahan iklim dengan meningkatkan ketinggian atol.
Hal ini mengkhawatirkan Australia, yang sudah paham niat China bisa jadi membangun pangkalan militer China di Kiribati.
Serta, ini menguatkan posisi China di Pasifik, dikabarkan China juga memiliki stasiun pelacakan satelit di Kiribati, yang sekarang dapat diaktifkan kembali.
Fasilitas ini akan memberi China kendali atas tempat penangkapan ikan tuna terbaik dunia ditambah petak sumber daya mineral laut dalam, dan keberadaan di dekat pangkalan AS di Hawaii, Atol Kwajalein, Atol Johnston, dan Pulau Wake.
Mereka juga akan ditempatkan tepat di seberang jalur laut utama antara Amerika Utara dan Australia dan Selandia Baru.
Selama Perang Dunia II, upaya Jepang untuk memblokir jalur yang sama dikalahkan, dimulai dengan Pertempuran Laut Koral dan kemudian pengambilalihan kanal Guadal di Kepulauan Solomon.
Saat ini, China bergerak untuk mencapai kendali atas jalur komunikasi laut trans-Pasifik yang vital dengan kedok membantu pembangunan ekonomi dan adaptasi perubahan iklim.
Negara dan wilayah kepulauan Pasifik yang rentan semakin beralih ke 'bantuan' dari China karena mereka menganggap bahwa kebutuhan pembangunan mereka tidak ditangani oleh mitra lain dan bahwa keprihatinan mereka yang sangat nyata tentang ancaman eksistensial dari perubahan iklim sebagian besar dikesampingkan oleh Australia dan negara-negara lain.
Sementara itu, China secara langsung menanggapi kekhawatiran tersebut dan menyatakan dirinya sebagai pemimpin global dalam perubahan iklim, meskipun sekarang menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, sungguh ironis.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini