Find Us On Social Media :

Konflik Indonesia dan OPM Diklaim Paling Mematikan, Mega Proyek Jokowi untuk Pembangunan Papua Ini Malah Disebut Sebagai Biang Kerok Utamanya

By Mentari DP, Rabu, 9 September 2020 | 13:20 WIB

Profil para anggota OPM.

Intisari-Online.com - Saat ini, berbagai negara tengah berkonflik.

Ada China vs India di perbatasan, ada Iran vs Amerika Serikat (AS), hingga Turki vs Yunani di Eropa sana.

Pertanyaanya, manakah konlik yang paling mematikan?

Ternyata Indonesia masuk dalam konflik paling mematikan yang ada.

Baca Juga: Selama 16 Tahun Buat Kehancuran dan Kekacauan di Irak, Trump dan Pentagon Akhirnya Setuju Tarik 3.500 Tentara AS dari Irak, 'Kami Ingin Mengakhiri Perang'

Bagaimana kisah selengkapnya?

Ini  tulisan Niyati Verma yang diambil dari website resmi The Organization for World Peace, theowp.org, pada 6 September 2020, dengan judul asli West Papua – Deadliest Conflict In Oceania.

--

Papua Barat tengah menghadapi genosida diam-diam karena pelanggaran hak asasi manusia.

Sejak mencoba memutuskan untuk memisahkan diri dari Indonesia pada tahun 1963 silam, perjuangan pembebasan dan penentuan nasib mereka sendiri dilakukan oleh masyarakat adat.

Tapi hasilnya telah mengakibatkan kekerasan dan pemberontakan.

Baca Juga: Nyaris Tanpa Tanding, Ini Daftar Angkatan Laut Paling Digdaya pada 2030, Salah Satunya Bikin China Ketar-ketir

Salah satunya konflik antara Indonesia dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) selama hampir 58 tahun.

Menurut laporan Amnesty International, setidaknya 100.000 orang Papua Barat telah dilaporkan dibunuh oleh pihak berwenang Indonesia sejak pengambilalihan pada tahun 1960-an.

Meskipun konflik yang sedang berlangsung di Papua Barat, perjuangan untuk kemerdekaan sebagian besar masih belum terdokumentasi dan tidak dilaporkan.

Karena pihak berwenang Indonesia telah menekan informasi yang bocor secara internasional tentang konflik tersebut.

Baru-baru ini, selama pemberontakan pada akhir 2018, pemerintah Indonesia membatasi akses orang asing ke beberapa wilayah di Papua Barat dan memutus akses internet di wilayah tersebut.

Namun, pada tahun 2019 surat kabar Australia, The Guardian dan University of Newcastle memulai proyek untuk memetakan kekejaman dan kekerasan masa lalu di Papua Barat sejak tahun 1970-an.

Oleh karena itu, terjadi pergeseran pengungkapan realitas konflik yang juga dipicu oleh pembaharuan aktivisme kemerdekaan oleh gerakan Papua Merdeka.

Meski demikian, semua upaya gerakan pro-kemerdekaan telah ditumpas oleh penguasa Indonesia.

 

Baca Juga: Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula, Belum Usai Pandemi Covid-19 yang Buat 27 Juta Orang Terinfeksi, Bos WHO Sebut Dunia Harus Siap untuk Pandemi Berikutnya

Menurut Yan Christian Warinussey, pengacara senior Papua Barat dan pembela hak-hak sipil, tanggapan pemerintah adalah memandang kelompok nasionalis sebagai kelompok separatis dan menolak untuk melakukan dialog apa pun dengan mereka.'

Demikian pula pada tahun 2017, petisi kemerdekaan yang ditandatangani oleh 1,8 juta orang Papua Barat diselundupkan ke luar wilayah dan diserahkan ke Komite De-kolonisasi PBB.

Namun ini ditolak dengan alasan hukum.

Dengan demikian, meningkatnya ketegangan yang berasal dari penentuan nasib sendiri dan pelanggaran hak-hak sipil antara pihak berwenang Indonesia dan gerakan kemerdekaan Papua Barat telah memuncak menjadi pertempuran sengit.

Yang paling signifikan, proyek jalan raya yang kontroversial pada bulan Desember 2018.

Proyek ini memicu ketegangan karena banyak orang Papua Barat khawatir jalan tersebut akan memungkinkan eksploitasi sumber daya lebih lanjut.

Sehingga nantinya akan berdampak negatif terhadap bisnis lokal.

Misalnya sebuah aksi kekerasan oleh orang Papua Barat yang menewaskan 16 pekerja Indonesia.

Baca Juga: Amerika Keukeuh Bela Sekutu Asia Tenggaranya, China Tingkatkan Kekuatan Militer Besar-besaran, Kirim Pesawat Peringatan Dini Ini ke Atas Laut China Selatan

Lalu pihak berwenang Indonesia menanggapi konflik tersebut dengan mengirim militer dan polisi ke wilayah tersebut untuk menemukan penyerang.

Hasilnya, ratusan orang Papua Barat tewas, dan pihak berwenang setempat melaporkan bahwa 45.000 orang Papua telah mengungsi.

Pemerintah Indonesia sendiri membantah melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Tapi ada banyak video dan foto yang menggambarkan aksi kekerasan itu.

Apalagi ketika ketegangan berkobar antara demonstran dan pasukan keamanan.

Terakhir, pemerintah Indonesia dilaporkan bisa melakukan penyelidikan tentang kematian ratusan ribu orang pada tahun 1965.

Dengan harapan sikap ini bisa membuka wacana rekonsiliasi antara Indonesia dan masyarakat adat Papua Barat.

Baca Juga: Covid Hari Ini 8 September 2020: Kasus di Tanah Air Tembus 200.000, Malaysia Larang WNI Masuk Negaranya, 'Wajar Saja, Malaysia Ingin Melindungi Rakyatnya'