Penulis
Intisari-online.com -Militer Indonesia sering menjadi sasaran tawaran dua pemasok alutsista terbesar dunia: Amerika Serikat (AS) dan Rusia.
AS yang memiliki kartu keanggotaan dari perusahaan Lockheed Martin tiap tahun membangun alutsista hebat seperti jet tempur siluman F-35 yang manuvernya cepat dan presisinya tajam.
Rusia sementara itu, berkembang sejak keruntuhan Uni Soviet dan Perang Dingin, membangun militer yang tidak kalah dengan AS.
Jet tempur andalan mereka adalah pesawat Sukhoi yang memiliki banyak keunggulan layaknya jet tempur AS.
Selain beradu kemampuan untuk keunggulan militer mereka masing-masing, kedua negara juga getol mengembangkan teknologi militer mereka agar mendapatkan investasi dari negara-negara lain yang tergiur dengan alutsista mereka.
Demikian pula Indonesia, dengan TNI baik Angkatan Darat, Laut dan Udara yang kuat dan terbina dengan baik.
Membeli alutsista memang langkah lebih mudah dibandingkan membangunnya dari nol, tapi hal tersebut tidak ringan di urusan biaya.
Seperti yang diceritakan oleh sosok mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) yang menjabat tahun 2002-2005 ini.
Pak Chappy Hakim menceritakan ihwal bagaimana dahulu Indonesia berusaha menyediakan alutsista yang baik dengan kondisi yang tidak terduga.
Mengutip Kompas.com, Chappy mengatakan sejujurnya pada masa awal jabatannya sebagai KSAU ia sudah memutuskan untuk tidak merencanakan pengadaan atau membeli pesawat baru.
Setelah memperhitungkan dengan dana yang terbatas, akan lebih baik jika digunakan untuk membelanjakan untuk perawatan pesawat yang ada, serta menghidupkan pesawat lainnya yang tengah "grounded" menanti suku cadang.
Sayangnya, dengan perkembangan waktu dan eskalasi tantangan yang dihadapi, antara lain embargo suku cadang pesawat oleh Amerika Serikat (karena isu HAM pada waktu itu), maka faktor kesulitan untuk menerbangkan pesawat pesawat terbang TNI AU, terutama unsur tempur terus meningkat dan menjadi sangat menghambat pelaksanaan tugas pokok Angkatan Udara.
Demikianlah perkembangan yang terjadi, semakin banyak pesawat terbang yang "grounded" kesulitan memperoleh spareparts.
Ditambah lagi dengan peristiwa Bawean atau penerbangan "tanpa izin" di atas perairan Kepulauan Bawean oleh US Navy, telah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk membeli pesawat terbang dari Rusia.
Tidak mudah juga untuk sampai pada keputusan itu, karena menghadapi berbagai macam kendala terutama ketersediaan dana yang terbatas.
Dengan susah payah, maka diputuskanlah untuk tetap membeli Sukhoi dari Rusia walau dalam jumlah sangat terbatas, yang dirancang dengan mekanisme bertahap untuk pengadaan hingga mencapai satu skadron pesawat Sukhoi.
Keputusan yang sulit yang harus diambil, pesawat terbang tempur Indonesia ketika itu tidak bisa terbang karena embargo suku cadang Amerika Serikat.
Itupun pelaksanaan dari proses pengadaannya dilakukan dengan program “imbal-beli” hasil bumi Indonesia yang akan dikoordinasikan antara Menteri Perindustrian dan perdagangan dengan melibatkan juga pihak Bulog.
Keputusan berat yang harus diambil yaitu proses pembelian satu skadron pesawat Sukhoi dilakukan secara bertahap sesuai ketersediaan dana yang dapat disiapkan.
Gelombang pertama akan dilakukan terlebih dahulu dengan pengadaan empat pesawat Sukhoi yang harapannya akan dapat ditingkatkan.
Sekali lagi, secara bertahap sampai dapat mencapai jumlah yang utuh satu skadron.
Dengan sangat susah payah dalam menjalani program pengadaan pesawat terbang Sukhoi dari Rusia dan syukur Alhamdulilah pada akhirnya "berhasil" juga.
Kemudian memperingati HUT TNI tanggal 5 Oktober tahun 2004 di Surabaya telah menjadi momentum bersejarah.
Sebab, untuk kali pertama pesawat terbang Sukhoi tampil di hadapan publik.
Chappy bercerita di pagi hari saat ia melakukan perjalanan menuju tempat upacara dilangsungkan, ia dihadang oleh kerumunan wartawan yang berkumpul di antara para undangan lainnya.
Mereka begitu antusias seraya menghadangnya untuk memastikan apakah benar rumor yang beredar bahwa dalam upacara nanti akan dimeriahkan oleh penampilan perdana pesawat Sukhoi yang dibeli Indonesia.
Ia berhenti sejenak, lalu menjelaskan bahwa memang benar pada upacara peringatan HUT TNI itu akan ada flypass pesawat Sukhoi yang baru tiba di tanah air.
Namun ia tidak menyangka ada yang bertanya, apakah TNI AU merasa cukup dengan hanya membeli empat buah pesawat Sukhoi?
Baca Juga: Parah! Pemain Tim Esports Ini Panggil Pemain Lain dengan Sebutan
Chappy dengan cepat memberi jawaban bahwa membeli empat pesawat Sukhoi dari Rusia sudah "lebih dari cukup".
Ini dikarenakan kita membeli Sukhoi hanya untuk keperluan "wake up call America", katanya seraya tertawa lepas.
Sang wartawan yang bertanya tampak terpana setengah terkejut tidak percaya dengan jawaban singkat padat tersebut.
Walau dengan wajah yang merefleksikan keraguan dan setengah kaget, Chappy percaya dia sama sekali tidak menyangka memperoleh jawaban yang spontan dan "sediplomatis" itu.
Penjelasan sederhananya dari inti jawaban tersebut adalah bahwa Indonesia membeli Sukhoi itu bertujuan sekedar mengingatkan Amerika Serikat yang apabila meneruskan embargo suku cadang alutsista yang berasal dari Amerika, maka TNI Angkatan Udara tidak dapat melaksanakan tugas utama menjaga wilayah udara kedaulatannya.
Tidak ada pilihan lain yang dapat mengatasi persoalan rumit tersebut.
Itu sebabnya maka TNI AU pada saat itu akan beralih mengisi arsenal persenjataan udara dengan peralatan perang dari negara lain, dalam hal ini, kalau perlu dari Rusia.
Sekedar sebagai pembanding, arsenal persenjataan Angkatan Udara India juga dilengkapi dengan banyak pesawat-pesawat terbang produk Amerika Serikat dan sekaligus pula pesawat terbang asal Rusia.(*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Air Diplomacy, Apa Cukup Beli Empat Pesawat Sukhoi?"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini