Penulis
Dokumen Rahasia Terungkap, Mossad Rupanya Berperan Penting 'Mencuci Bersih' Tangan-tangan di Balik Pembantaian PKI, Bahkan Masih Bisa Berbisnis dengan Soeharto Sampai Bangun Perusahaan Bersama
Intisari-online.com -Era pembantaian Pahlawan Revolusi, diikuti dengan penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Oktober 1965 merupakan salah satu zaman terkelam Indonesia.
Sejarah mencatat, dalam 6 bulan setidaknya ada setengah juta anggota PKI dan yang berhubungan dengan mereka dibunuh.
Lebih dari satu juta warga dipenjara tanpa persidangan apapun, dan mengalami siksaan berat selama di penjara, ditahan di kondisi tidak manusiawi atau dihukum kerja paksa.
Beberapa dari para anggota PKI ditahan sampai lebih dari 30 tahun.
Pembantaian itu diamini oleh para warga setelah kejadian G30SPKI yang menewaskan para Pahlawan Revolusi, banyak rakyat mendukung militer memberantas PKI di Indonesia.
Pembantaian pun tidak terhindarkan, banyak anggota PKI yang bersembunyi ditangkap, dipenjara tanpa persidangan ataupun langsung dibunuh.
PKI disalahkan atas peristiwa G30SPKI setelah kelompok jenderal di bawah komando Jenderal Soeharto mengklaim pembunuhan enam jenderal Pahlawan Revolusi adalah tindakan yang dilakukan oleh PKI dan sekutu 'kiri' mereka yang mencoba mengkudeta Indonesia dengan bantuan China.
Militer pun mengambil alih pemerintahan dan kemudian segera kirimkan kampanye yang memulai pembantaian massal dan hukuman massal.
PKI langsung menjadi tabu di Indonesia setelah itu, berpuluh-puluh tahun rezim militer tetap ada, lakukan berbagai investigasi dan mencari antek-antek PKI yang masih bersembunyi.
Geoffrey Robinson, profesor UCLA yang meneliti horornya abad 20 di Indonesia, menuangkan hasil penelitiannya dalam buku "The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-66," yang isinya ceritakan militer Indonesia mengarahkan pembunuhan dan hukuman massal lewat unit komando yang sengaja dibuat untuk alasan tertentu.
Robinson temukan dokumen yang tunjukkan operasi pembantaian massal tersebut memang disusun dengan sangat berhati-hati. Ia tuliskan jika militer mengkampanyekan instruksi untuk penghancuran total PKI dan pendukung mereka.
Ia juga tuliskan bahwa sebagian besar orang yang dibunuh awalnya ditahan untuk interogasi, seringnya karena nama mereka muncul dalam daftar yang disiapkan oleh militer sendiri.
Para tahanan diinterogasi dan disiksa sangat hebat, setelah itu tahanan dibagi menjadi tiga kategori berdarkan keterlibatan mereka dalam G30SPKI.
Beberapa dipindahkan ke koloni hukuman, fasilitas penahanan dan kamp konsentrasi di bawah komando militer, sedangkan lainnya dieksekusi.
Korban yang dieksekusi dibawa dengan kendaraan militer ke situs pembunuhan atau diberikan kepada algojo atau militan anti komunis.
Diikat dan ditutup matanya, para tawanan ditembak di tepi lubang pembunuhan lalu langsung dikubur begitu saja, atau ada juga yang dimutilasi dengan belati dan pisau.
Mayat dan bagian tubuh mereka dibuang ke sumur, sungai, danau dan kanal irigasi.
Kepala dan anggota badan mereka ditinggal begitu saja di jalanan, di pasar, dan di tempat publik lainnya.
Betapa ironis, genosida di Indonesia tidak terjadi karena etnis, agama atau identitas nasional mereka, tapi hanya karena hubungan politik para korban.
Selain para pejabat PKI dan pemimpin kelompok kiri lainnya, sebagian besar korban adalah warga miskin dan menengah, termasuk para buruh, guru, pengajar, mahasiswa, siswa SMA, artis, penulis dan pekerja publik.
Sebagian besar orang itu tidak ada kaitannya dengan pembunuhan keenam jenderal itu, tapi pembunuhan dan penawanan massal mereka dilakukan sebagai hukuman kolektif.
Dokumen yang ditemukan baru-baru ini di AS dan Inggris tunjukkan jika kedua negara sangat sadar terkait pembantaian itu, dan mereka mendukung pemberantasan PKI serta menyokong kepemimpinan Soeharto yang serba diktator.
Latar belakangnya adalah Perang Dingin dan Perang Vietnam, PKI adalah salah satu partai komunis terbesar di dunia: 1965 memiliki 3.5 juta anggota. Bagi AS dan Inggris, Soekarno cenderung anti-Barat dan lebih mendukung China serta Uni Soviet, sehingga mereka mendukung Soeharto yang lebih condong ke Barat dan melakukan bisnis senjata dengan Israel.
Dokumen Kementerian Luar Negeri buktikan jika beberapa bulan setelah pembantaian massal tersebut, Mossad mengetahui siapa yang bertanggung jawab. Laporan yang ditulis pada 15 November 1966, enam bulan setelah pembantaian tersebut menjelaskan rantai kejadian:
"Oktober 1965, komunis mencoba mengkudeta pemerintah dengan bantuan China, militer berhasil menggagalkan usaha tersebut dan PKI dinyatakan ilegal.
"PKI, yang saat itu merupakan partai terkuat di Indonesia, di bawah pimpinan D.N. Aidit, bekerjasama dengan China. Jika usaha mereka berhasil, China memiliki keuntungan membagikan kekuasaan mereka di Indonesia. Pembantaian massal para partisipan dan keluarga mereka dilakukan, korban tercatat sebanyak 300.000 sampai 700.000. Maret 1967 militer mengambil alih, di bawah pimpinan Jenderal Soeharto..."
Di laporan yang sama, Jenderal Soeharto digambarkan sebagai "orang yang berperan sebagai perdana menteri, didukung oleh militer Indonesia dan kelompok anti-komunis. Sangat pro-Barat. Orang dengan kepribadian netral yang tidak begitu mencolok di antara orang-orang lain."
54 tahun sejak pembantaian itu, detail masih cocok seperti jumlah korban, siapa yang membunuh mereka dan apa yang bisa kita pelajari dari sejarah kita yang selama ini ditulis dengan salah.
Laporan Mossad ini sangat penting, karena mengkonfirmasi jika memang terjadi pembantaian ratusan ribu warga tidak bersalah.
Meski Mossad juga mengadopsi propaganda militer Indonesia yang sebutkan konspirasi teori tentang kudeta China, kini kita tahu jika hal itu tidak berdasar apapun.
Ironis, meskipun Mossad ketahui mengenai pembantaian dan siapa dalang di baliknya, itu tidak mencegah agen intelijen itu untuk berbisnis dengan Indonesia di bawah rezim Soeharto, dengan inisiatif rahasia bernama "Rumah dan Kebun."
Indonesia diberi nama samaran untuk alasan keamanan; beberapa kali, nama "Korea Selatan" juga digunakan. Kini, dengan dokumen Luar Negeri ini tunjukkan jika referensi itu hanya merujuk ke Indonesia saja.
Mossad memimpin kontrak dengan militer Indonesia untuk penggabungan proyek komersial seperti minyak kelapa sawit, kapas, fosfat, daging sapi, penerbangan lokal, pepohonan, kedelai, kertas, jagung, barel baja dan transportasi minyak.
Beberapa aktivitas komersial ini dilakukan lewat perusahaan proksi.
Namun, yang paling mengejutkan adalah kerjasama perusahaan perdagangan berlian dari Indonesia.
Mei 28 1967, Mossad sepakat membangun perusahaan bersama Soeharto bernama Berdikari, yang dikelola oleh jenderal militer.
Kesepakatan spesifik menyebutkan jika Indonesia tertarik dalam mendapatkan material dan seragam militer dari Israel.
Mossad sering kunjungi Indonesia, begitu pula sebaliknya, meskipun kunjungan itu sifatnya rahasia.
Dalam salah satu catatan yang disiapkan Mossad pada 31 Januari 1967 saat Indonesia mengunjungi Israel, disebutkan "anggota delegasi akan dikenalkan sebagai tamu dari Korea Selatan. Jangan sebutkan kebangsaan mereka kecuali jika sudah berkoordinasi dengan perwakilan Mossad.:
Dokumen yang telah disiapkan oleh Mossad pada 6 April 1967 saat kunjungan Indonesia lainnya menyebutkan: "kami hanya tahu sedikit mengenai karakter mereka, cara mereka berpikir, atau hubungan mereka dengan kami. Meski begitu, jangan perlakukan mereka seperti warga Afrika, tapi perlakukan mereka seperti warga Eropa."
Lebih ironis lagi, hanya 20 tahun sejak Perang Dunia II, layaknya AS dan negara Barat lainnya, Israel berpartisipasi dalam mencuci bersih tangan-tangan yang terlibat dalam genosida ratusan ribu anggota PKI, dan menganggap Indonesia sebagai rekan yang cakap untuk mencapai tujuan politik, ekonomi dan keamanan.
Mossad dan Kementerian Luar Negeri Israel memiliki kewajiban moral untuk membuka semua dokumen mereka terkait pembantaian yang terjadi di Indonesia sejak tahun itu, untuk membuka kebenaran yang ada.
Jika mereka juga mengharapkan negara lain membuka dokumen rahasia terkait Holocaust atau pembantaian para umat Yahudi, hal yang sama juga harus mereka lakukan untuk mengungkap kebenaran.