Pada 29 Juni, misalnya, Yurianto menyatakan, 13 provinsi telah melaporkan nol kasus dalam satu hari, seperti Aceh, Bengkulu, Yogyakarta, Jambi, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Timur Nusa Tenggara dan Gorontalo.
Masalahnya, analisis tingkat pengujian dengan PCR di beberapa provinsi tersebut tidak secara teratur diterbitkan oleh pihak berwenang.
Beberapa provinsi bahkan menolak untuk berbagi secara langsung dengan dua media tersebut. Malah terungkap, tingkat pengujian rendah di provinsi tersebut.
Provinsi Aceh, yang dihuni kurang dari 5 juta orang sebagai contoh. 28 Juni lalu, memiliki 79 infeksi nyatanya hanya menguji 436 orang saja per satu juta penduduk.
Provinsi Jambi dengan penghuni hampir 3,4 juta orang memiliki 117 infeksi , namun menguji 94 orang per 1 juta orang.
Secara total, delapan dari 13 provinsi yang terdaftar oleh Yurianto telah mencatat kurang dari 1.000 tes PCR per 1 juta orang atau kurang dari sepertiga dari rata-rata nasional.
Padahal tes PCR dianggap sebagai standar emas dan jauh lebih akurat daripada tes cepat berbasis darah.
Itu berarti, kata Pandu, beberapa provinsi "tidak benar-benar hijau" meskipun pemerintah mengklaim tingkat infeksi sangat rendah.
"Kami tidak dapat membenarkan bahwa suatu daerah adalah zona hijau ketika pengujian sangat rendah, itu tidak dibenarkan berdasarkan prinsip-prinsip epidemiologis," kata dia.
Artikel ini telah tayang di Kontan.co.id dengan judul Indonesia bisa jadi episentrum pandemi corona, setelah China dan India di Oktober