Penulis
Intisari-Online.com -Raffi Ahmad mengakui melarang Rafathar untuk menangis dengan alasan anaknya tersebut adalah laki-laki.
Siapa sangka, apa yang dilakuakn oleh Raffi tersebut, oleh para ahli justru dianggap tidak patut ditiru.
Sebab, menurut para ahli, melarang anak untuk menangis hanya karena dia seorang laki-laki justru akan membahayakn mentalnya kelak.
Bagaimana itu bisa terjadi? Simak ulasannya berikut ini.
Dalam sebuah video yang diunggah di kanalYoutube Ussy Andhika Official pada Kamis (25/6), Raffi mengaku sangat mengutamakan prinsip hidup dalam mengajari Rafathar.
Prinsip hidup yang dimaksud oleh Raffi ada dua, yaitu mental dan kejujuran.
"Kita sebagai orangtua harusngajarin mental anak kita supaya kuat dan harus jujur," ujar Raffi.
"Tapi bener sih, Rafathar pernah bohong sama dia (Raffi), wah habis sama dia", Nagita Slavina, istri Raffi ikut bercerita.
Baca Juga: Nagita Slavina Keguguran Setelah Hamil 1 Bulan: Nanas Picu Keguguran, Mitos atau Fakta?
Namun, Raffi menekankan bahwa hanya dua hal itulah yang sangat dia tekankan kepada Rafathar.
Sang presenter bahkan memberi contoh bagaimana dia memberi toleransi yang tinggi kepada anaknya jika tidak mampu mendapat nilai yang baik dalam pelajaran.
Tapi, sekali lagi, Raffi menekankan bahwa dirinya sangat tegas terkait mental dan kejujuran pada Rafathar karena anaknya adalah seorang laki-laki.
"Misalnya dia (Rafathar) sewot dikit nangis, gue pasti marah sama dia, gueconcern banget," ujar Raffi.
Dia akan mengatakan kepada Rafathar untuk tidak menangis karena sanga anak adalah laki-laki.
"Kamu enggak boleh gitu, ya, kamu itu laki-laki, ya," tutur Raffi menirukan ucapannya kepada Rafahtar.
Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Raffi kepada Rafathar bisa dikatakan sangat umum dilakukan oleh para orangtua.
Sayangnya, ahli justru menyebut sikap dan perkataan Raffi kepada Rafathar tersebut justru bisa membahayakan mental anaknya di masa depan.
Gangguan mental
Memberitahu anak laki-laki bahwa mereka "menangis seperti anak perempuan", seperti yang dilakukan Raffi kepada Rafthar, dapat membahayakan kesehatan mental mereka di kemudian hari.
Sebab, menurut seorang psikoterapis terkemuka, dengan cara itu, mereka kehilangan kontak dengan perasaan mereka.
Lena Aburdene Derhally, yang berspesialisasi dalam mengobati kecemasan dan masalah hubungan, diminta untuk berbicara setelah menyaksikan seorang ayah menggunakan ungkapan tersebut untuk memarahi putranya yang masih kecil, yang sedang mengamuk saat mengunjungi kebun binatang.
Derhally menulis dalam sebuah artikel di Washington Post bahwa dengan cara inisang ayah telah mengekspos putranya “dengan pesan bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis dan lebih jauh lagi, mereka tidak boleh bertindak seperti anak perempuan, seolah-olah anak perempuanlah satu-satunya yang diperbolehkan menunjukkan emosi.”
"Konsekuensi negatif yang serius" dari mempermalukan anak seperti itu di depan umum, ketika dia melakukan sesuatu yang sangat normal, membuat mereka memilih untuk menyimpan emosi mereka.
Pasien prianya sering menderita kecemasan, depresi, dan masalah hubungan yang berasal dari "ketidakmampuan untuk memahami dan memproses perasaan mereka", tambahnya.
Dia berkata: "Masalah kemarahan, kegelisahan, depresi dan mekanisme koping yang tidak sehat seperti minuman keras sering muncul ketika pria tidak memahami perasaan mereka atau tidak memberi diri mereka izin untuk memilikinya."
Derhally kemudian mendorong pembaca untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk membantu putra-putra mereka menghadapi emosi mereka, dan untuk “membangun tempat di mana emosi didengar dan divalidasi di rumah”.
Namun, pesan yang diutarakan haruslah disampaikan dengan hati-hati dengan penuh pengendalian emosi dan menunjukkan bagaimana emosi disampaikan dengan benar.
Orang tua tidak hanya harus menghindari mengatakan kepada anak laki-laki untuk tidak menangis, tetapi juga "membuktikan" perasaan mereka ketika mereka diungkapkan oleh anak.
Derhally juga menyarankan orang tua untuk menyusun "grafik perasaan" untuk dirujuk oleh anak-anak ketika mereka merasa bahagia, sedih, marah dan takut; menciptakan suasana di mana ekspresi emosi "dinormalisasi".
Selain itu, Derhally juga menyarankan orangtua dan anak untuk membaca buku, terutama yang berhubungan dengan emosi.