Penulis
Intisari-Online.com - Pada tahun 2018 silam,karena krisis moneter, ada beberapa negara yang terancam bangkrut.
Mereka adalah Venezuela, Turki, dan Malaysia.
Dilaporkan dariReuters, Menteri Keuangan Malaysia Lim Guang Eng menjelaskan total utang Malaysia mencapai 1.087 triliun ringgit (sekitar Rp3.500 triliun) pada 31 Desember 2017.
Bicara utang, utang Indonesia sebenarnya tak kalah banyak. Bahkan jauh lebih besar.
Berdasar laporan Bank Indonesia, pada akhir April 2018, jumlah utang luar negeri (ULN) berada di angka 356,9 miliar dollar Amerika Serikat (AS)(Rp5.000 triliun).
Walau begitu, tak seperti Malaysia, Indonesia tidak terancam bangkrut.
Nah, lagi-lagi bicara soal utang negara, baru-baru ini diketahui bahwa Jepangtelah menambah utang.
Utang tersebutsenilai 2 triliun dollar AS dan digunakan untuk membiayai paket stimulus sebagia bantalan perekonomian di tengah pandemi virus corona (Covid-19).
Dilansir dari AFP pada Kamis (11/6/2020), besaran utang Jepang tersebut mencapai 2,5 kali lipat dari keseluruhan Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut.
Jepang pun saat ini berupaya untuk mengelola yield surat utang pemerintah padda level yang sangat rendah serta kepercayaan investor tetap tinggi untuk menghindari default.
Secara keseluruhan, bank sentral setempat Bank of Japan (BoJ) pada akhir 2019 mencatatkan tingkat utang Negeri Sakuta mencapai 1.328 yen atau setara dengan 12,2 triliun dollar AS (Rp170.800 triliun) (dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS).
Nilai tersebut setara dengan lebih dari setengah utang Amerika Serikat.
Namun demikian, jumlah tersebut jauh lebih besar dari total nilai perekonomian Jepang, setara dengan 240 persen dari PDB negara itu.
Untuk diketahui, tumpukan utang Jepang mulai membengkak pada tahun 1990an ketika gelembung pasar keuangan dan properti negara itu meletus dan menimbulkan efek yang merusak prekonomian negara itu.
Dengan paket stimulus serta populasi penduduk yang menua dengan begitu cepat, Jepang perlu untuk melakukan dorongan bagi jaminan layanan kesehatan serta sosial.
Pada akhir tahun 1990, tingkat utang Jepang telah menembus 100 persen dari PDBnya.
Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan tingkat utang Jepang terus meningkat hingga menembus level 200 persen pada tahun 2010 dan saat ini berada pada level 240 persen dari PDB.
Beberapa waktu lalu pun, parlemen Jepang sepakat untuk menggelontorkan anggaran sebesar 117 triliun yen sebagai langkah-langkah anti virus corona.
Dengan demikian, tingkat utang terhadap PDB bisa menembus level 250 persen.
Namun demikian, penumpukan utang tersebut dinilai tidak terlalu bermasalah.
Pasalnya, untuk membiayai utang tersebut pemerintah Jepang melakukan penerbitan surat utang yang disebut dengan JGB (Japanese Government Bond).
Bank sentral setempat pun membeli surat utang tersebut dalam volume yang besar.
Pasalnya, meski bank sentral merupakan lembaga independen dalam praktiknya erat mengoordinasikan kebijakan ekonomi dengan pemerintah.
Dalam upaya untuk mendukung perekonomian di tengah pandemi, BoJ pun menghapus plafon yang diberlakukan untuk membeli JGB.
Dengan demikian, bank sentral memiliki daya beli tanpa batas.
Saat ini, BoJ memegang lebih dari semua surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah setempat.
Dengan demikian, BoJ menjaga harga JGB di pasar surat utang seklaligus menjaga agar imbal hasil obligasi pemerintah tetap rendah.
Artinya, pada dasarnya dalam mengelola keuangan di tengah pandemi pemerintah Jepang didanai oleh bank sentral dengan tingkat bunga yang sangat rendah (atau bahkan negatif).
Hal tersebut membuat pembiayaan pemerintah bisa lebih berkelanjutan.
"Kondisi tingkat sangat rendah yang diciptakan oleh kebijakan moneter yang sangat akomodatif oleh BoJ dapat menjadi salah satu alasan bahwa gunungan utang Jepang tak terlalu bermasalah dibandingkan dengan negara-negara dengan utang yang tinggi di seluruh dunia," kata ekonom Nomura Bank Takashi Miwa.
(Mutia Fauzia)
(Artikel ini telah tayang diKompas.comdengan judul "Utang Jepang Tembus Rp 170.800 Triliun, Kok Bisa?")