Setelah #Blacklivesmatter, di Indonesia Bergema #Papuanlivesmatter, Nama Obby Kogoya Pun Bermunculan, 'Jangan Sebut Kami Monyet!'

May N

Penulis

tagar Papuan Lives Matter ramai mengikuti tagar Black Lives Matter, nama Obby Kogoya pun muncul, 'jangan sebut kami monyet'

Intisari-online.com -Kematian warga sipil Afrika-Amerika George Floyd di Amerika telah picu amarah banyak umat manusia.

Floyd, yang dibunuh oleh petugas polisi Minneapolis dengan cara dibuat sesak napas karena lehernya ditekan dengan lutut polisi tersebut, dibalaskan ketidak adilannya oleh ribuan warga AS yang melakukan protes terkait ketidak adilan tersebut.

Di Indonesia sendiri, kasus George Floyd mengingatkan kita semua dengan seorang warga Papua yang bernama Obby Kogoya.

Kasus yang terjadi pada tahun 2016 tersebut terjadi hampir mirip dengan kasus Floyd.

Baca Juga: Waspadalah, Meski Menyehatkan dan Sering DIpilih Jadi Menu Diet, Terlalu Banyak Makan Pisang Justru Bisa Menambah Berat Badan Loh...

Pada tahun 2016, beberapa mahasiswa Papua yang akan menggelar demonstrasi dilaporkan mendapat perlakuan intimidasi dan ancaman dari aparat keamanan.

Saat itu, sebanyak delapan mahasiswa dibawa ke kantor polisi Yogyakarta.

Kemudian, salah satu dari mereka, Obby Kogoya, dijadikan tersangka.

Ia dituduh melakukan kekerasan terhadap aparat keamanan.

Baca Juga: 11 Manfaat Minum Air Rendaman Ketumbar, Termasuk Turunkan Kolesterol

Pengadilan Negeri Sleman kemudian menjatuhinya hukuman penjara selama empat bulan.

Foto yang tersebar adalah hidung Obby Kogoya ditarik dan kepalanya diinjak, sama persis dengan George Floyd.

Pada malam penangkapannya, Obby Kogoya hendak masuk memberikan bantuan makanan ke dalam asrama tetapi ia dihadang, dituduh membawa senjata tajam dan hendak ditangkap.

Obby yang kemudian berupaya melarikan diri dikejar, dijatuhkan ke tanah sembari diinjak.

Baca Juga: Akhir Hidup Wanita Simpanan Mantan PM Malaysia, Dibunuh dan Jasadnya Diledakkan dengan Bom, hingga Tersimpan Misteri di Balik Alasan Wanita Cantik Ini 'Dilenyapkan'

Pengacara HAM Veronica Koman mengatakan, para aktivis Papua melihat kasus yang dialami George Floyd hanyalah satu kasus yang memantik amarah besar orang-orang yang alami tindakan rasisme oleh penguasa selama bertahun-tahun.

Selain sama dengan apa yang terjadi kepada Obby Kogoya, kasus Floyd juga sama dengan kasus pengepungan dan rasisme di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya pada tahun 2019 kemarin.

Kejadian di US saat ini sama dengan kejadian Papua tahun lalu, bukan karena satu kejadian, US sekarang bukan karena George Floyd diam mati dibunuh polisi tapi karena itu sudah menumpuk karena banyak sekali orang kulit hitam dibunuh secara brutal begitu saja dengan imunitas, menumpuk dan meledaklah," kata Veronika Koman dalam diskusi #BLACKLIVESMATTER DAN PAPUA di kanal youtube FRI-WP Media, Minggu (31/5/2020).

Baca Juga: Belum Selesai Masalah Pandemi Covid-19, Warga Dunia Harus Bersiap Hadapi 'Wabah Baru', Bisa Sebabkan Jutaan Orang Kelaparan!

Saksi mata kejadian kematian Obby Kogoya, Cisco, menyatakan tindakan rasisme yang terjadi terhadap warga Papua sudah terjadi sejak Irian Jaya bergabung dengan Indonesia sejak tahun 1962.

Banyak yang melabeli orang Papua sebagai separatis, pemabuk, perusuh, tukang onar dan paling buruk, sebutan monyet.

"Rasisme yang terjadi terhadap kami itu bukan terjadi begitu saja, tetapi memang sengaja dipelihara oleh negara, teman-teman bisa melihat media-media itu dalam meliput papua selalu miring, dalam melihat aktivitas kegaiatan mahasiswa papua itu selalu dengan nada provokatif, yang jelas ini menjadi konsumsi informasi yang tidak bagus di Indonesia," tegasnya.

Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Mikael Kudiai menilai rasisme tampak lebih struktural di era 2000-an saat masa otonomi khusus melalui pesan yang disampaikan lewat media-media.

Baca Juga: Kekayaan Orang Tajir AS Melonjak Rp 7.966 triliun' Selama Pandemi, Sementara 42,6 Juta Pekerja Mengajukan Tunjangan Pengangguran

Mikael menegaskan bahwa seluruh gerakan masyarakat yang terjadi pada pertengahan 2019 lalu di Papua dan Papua Barat bukanlah gerakan yang dikoordinasi, melainkan amarah yang bertahun-tahun dipendam dan meledak saat kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

"Itu tidak terkonsolidasi, kalau misalnya ada yang bilang itu dikonsolidasi dan dibiayai itu tidak ada, memang rasialisme itu rakyat marah," tegas Mikael.

Aktivis Papua mendesak pemerintah Indonesia untuk mulai membuka ruang diskusi mendengar suara-suara rakyat Papua, warga Indonesia harus menyuarakan masalah rasisme terhadap rakyat Papua agar diusut tuntas karena permasalah ini adalah masalah hak asasi manusia bukan separatisme, dan membuka akses jurnalis untuk bekerja di Papua.

Menanggapi ramainya tagar Papuan Lives Matter, Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Keamanan dan Ham mengatakan kasus George Floyd tidak seharusnya dikaitkan dengan apa yang terjadi di Indonesia.

Baca Juga: 'Menjajah' Negara-negara Lain dengan Beri Pinjaman yang 'Mustahil' Dilunasi, Beginikah Taktik Licik China untuk Rebut Aset dan Bangun Pangkalan Militer?

"Apa yang terjadi di AS tidak perlu dibawa ke Indonesia. Apa yang terjadi di AS tidak sama dengan apa yang terjadi di Indonesia. Saya yakin masyarakat Indonesia juga paham hal itu," kata Rumadi.

"Masyarakat perlu waspada jika ada pihak-pihak yang mau memanaskan situasi politik Indonesia dengan memanfaatkan kasus George Floyd."

Ia menyebutkan Pemerintah berupaya sangat serius untuk melakukan pembangunan di Papua, untuk pemerataan dan keadilan bagi rakyat Papua.

Meski begitu, Rumadi mengatakan, semua pihak termasuk pemerintah Indonesia harus belajar dari kasus George Floyd.

Baca Juga: Ada 600.000 Warganya Terjangkit Covid-19, Presiden Ini Malah Sebut Virus Corona Hanyalah Bualan Media, 'Mereka Ingin Menjatuhnya Saya!'

"Persoalan rasialisme itu hal yang sangat serius. AS yang sudah ratusan tahun merdeka saja masih menyimpan bara rasialisme yang sangat dalam," ujarnya.

Sementara itu, tagar yang sama #Papualivesmatter juga dicuitkan pihak TNI yang menunjukkan sejumlah kegiatan mereka di Papua. Tagar itu diikuti pula tagar #WelovePapua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan isu George Floyd memang dimanfaatkan sejumlah kelompok termasuk yang pro-kemerdekaan Papua.

Namun hal itu terjadi karena memang masih ada kasus rasialisme dan diskriminasi di papua.

Baca Juga: Baru Sebulan Ditangkap, Ferdian Paleka yang Bikin Geger dengan Video Prank Sampahnya Sudah Dibebaskan, Ini Alasan Polisi Hentikan Kasusnya

"Itu [isu rasialisme] tidak akan dieksploitasi, jika tidak ada [kasus rasialisme], kan? Memang isu rasialisme ada dan mometum itu dimanfaatkan untuk melakukan kritik pada Indonesia," kata Cahyo.

"Rasialisme adalah dasar dari kebijakan yang diskriminatif secara politik, ekonomi dan budaya," tambahnya.

Di bidang politik, kata Cahyo, diskriminasi masih bisa terlihat dari kebijakan resolusi konflik pemerintah di Papua, yang tidak mengakomodir masyarakat Papua.

Cahyo mengatakan konflik di Papua masih sering diselesaikan dengan "cara represi dan penggunaan pasal-pasal makar". Pendekatan itu berbeda dengan apa yang dilakukan pemerintah di Aceh, ucapnya.

Baca Juga: Menohok, Perdana Menteri Singapura Sebut China Tidak Akan Pernah Kalahkan Amerika di Laut China Selatan: 'Pasti Kalah!'

Ia lanjut mengkritik pasal makar yang sering dikenakan terhadap masyarakat Papua.

"Pandangan umum itu orang asli Papua ingin merdeka. Padahal tidak semua orang Papua ingin merdeka," ujarnya.

Berkaitan dengan itu, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, mengatakan ia mengamati sering adanya 'stigma separatis' yang kerap disematkan pada sejumlah orang Papua.

Selain itu, Cahyo Pamungkas juga menyoroti kebijakan pembangunan ekonomi di Papua dan Papua Barat, yang saat ini disebutnya masih tertinggal karena keterbatasan akses.

Baca Juga: Hadapi Corona;10 Tips Makan Sehat Selama Masa Tanggap Darurat Covid-19

"Dalam hal ini, pemerintah sering dipandang melakukan pembiaran dan diskriminasi," ujarnya.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait