Find Us On Social Media :

Aneh Tapi Nyata, Inilah Sindrom Stockholm, Saat Tawanan Justru 'Jatuh Cinta' pada Penculiknya, Korban: 'Kami Berpikir Dia adalah Tuhan yang Membantu di Masa-masa Darurat'

By Khaerunisa, Sabtu, 23 Mei 2020 | 12:43 WIB

(Ilustrasi) Penculikan

Baca Juga: Dipukuli di Tengah Jalan Lalu Dikirim ke Rumah Sakit Jiwa karena Keluhkan Kurangnya APD, Dokter Rao: Haruskah Kami Tangani Pasien Sambil Bertaruh Nyawa?

Sementara Sven merasa bersyukur ketika Olsson berkata akan menembaknya–sebagai ancaman kepada polisi–namun tidak benar-benar melakukannya.

“Saat dia memperlakukan kami dengan baik, kami berpikir dia adalah Tuhan yang membantu di masa-masa darurat,” cerita Sven.

Sindrom Stockholm biasanya diterapkan untuk menjelaskan perasaan ambigu tawanan, tapi ternyata, sikap penculik juga bisa berubah.

Olsson mengatakan, pada awal pengepungan, ia bisa dengan mudah membunuh para sandera. Namun, seiring berjalannya waktu, niat awalnya berubah.

Menurut artikel FBI Law Enforcement Bulletin pada 2007, gagasan bahwa pelaku bisa menampilkan perasaan positif terhadap tawanan merupakan elemen kunci dari sindrom Stockholm yang ingin dikembangkan oleh para negosiator krisis.

Keadaan tersebut bisa meningkatkan kesempatan korban untuk menyelamatkan diri.

Baca Juga: Jadi Harapan Terakhir untuk Tangani Covid-19, Emas Rp14 Triliun Milik Negara dengan Rumah Sakit Terburuk di Dunia Ini Malah Ditahan oleh Inggris, Kok Bisa?

Seperti kekerasan dalam rumah tangga

Meskipun sindrom Stockholm sudah menjadi perbincangan, namun menurut Hugh McGowan yang menghabiskan waktunya di Kepolisian New York selama 35 tahun, kasus ini jarang terjadi.

The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders and the International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems (ICD), juga mengatakan, tidak ada kriteria diagnostik yang diterima secara luas untuk mengidentifikasi sindrom ini. Apakah ia termasuk ikatan teror, trauma atau tidak termasuk dalam keduanya.

Namun, berdasarkan keterangan para psikolog, prinsip dasar kerja sindrom Stockholm bisa dikaitkan dengan situasi lain.

“Contoh klasiknya adalah kekerasan dalam rumah tangga. Ketika seseorang–terutama perempuan–memiliki ketergantungan pada pasangannya, ia cenderung tetap tinggal bersama mereka. Sang istri akan lebih merasa empati dibanding marah, saat disakiti,” kata Jennifer Wild, psikolog klinis di University of Oxford.