Find Us On Social Media :

Aneh Tapi Nyata, Inilah Sindrom Stockholm, Saat Tawanan Justru 'Jatuh Cinta' pada Penculiknya, Korban: 'Kami Berpikir Dia adalah Tuhan yang Membantu di Masa-masa Darurat'

By Khaerunisa, Sabtu, 23 Mei 2020 | 12:43 WIB

(Ilustrasi) Penculikan

Baca Juga: Amankan Posisi di Perairan Indo-Pasifik, Amerika Kirimkan Kapal Induk Ronald Reagen Dengan 1000 Ton Senjata

“Lalu, korban berada pada tahap infantilisasi–kondisi di mana mereka seperti anak-anak lagi: tidak bisa makan, berbicara, atau buang air tanpa izin penculiknya.”

“Kebaikan kecil penculik–seperti memberikan makanan–mendorong rasa syukur ‘primitif’ seolah mendapat kado kehidupan,” papar dr. Frank.

Menurutnya, inilah penyebab mengapa korban memiliki perasaan primitif yang positif terhadap penculiknya.

“Mereka berada dalam penyangkalan. Menolak percaya bahwa orang ini yang membuat mereka menderita. Dalam pikiran korban, sang penyandera justru seseorang yang membuat mereka tetap hidup,” tambahnya.

Baca Juga: Selama Ini Dianggap Sebagai Negara Yahudi, Tiga Rabi Ini Beberkan Fakta Mengejutkan Mengenai Negara Israel, 'Bajak Simbol Bintang Daud Demi Dirikan Negara'

Merasa berhutang nyawa

Itulah yang terjadi pada keempat karyawan bank yang menjadi sandera Jan-Erik Olsson.

Daniel Lang, jurnalis New Yorker, yang mewawancarai korban setahun setelah insiden itu terjadi, berhasil menggambarkan bagaimana tawanan dan penyanderanya berinteraksi.

Para sandera ini mengatakan bahwa mereka diperlakukan dengan baik oleh Olsson. Pada saat itu, mereka bahkan percaya telah berhutang nyawa pada penculiknya.

Dalam satu kesempatan, Elisabeth Oldgren yang mengidap klaustropobia diperbolehkan untuk meninggalkan kubah yang menjadi penjara mereka selama berhari-hari, meskipun dengan seutas tali di lehernya. Elisabeth mengatakan, Olsson ‘sangat baik’ karena memperbolehkan dirinya pindah.