Penulis
Intisari-Online.com - Larangan mudik oleh pemerintah pusat tidak menyurutkan niat warga untuk kembali ke kampung halaman meski sadar akan risikonya.
Seorang pemudik yang tinggal di Jakarta, Budi, bukan nama sebenarnya, bersama istri dan kedua anaknya menggunakan mobil pribadi melintasi jalur tikus untuk dapat pulang kampung ke Jawa Tengah meski pemerintah pusat sudah melarang mudik demi menekan penyebaran wabah virus corona.
"Buat apa kami bertahan di Jakarta? Tidak ada pekerjaan, pemasukan nol, tapi pengeluaran besar."
"Pusing dan stres di Jakarta sekarang, lebih baik pulang kampung, nyaman, tenteram, tenang, pengeluaran kecil, sayuran tinggal petik," kata Budi kepada BBC News Indonesia, Kamis (30/4/2020).
Polisi memperingatkan masyarakat agar tidak mencoba mudik dengan jalur tikus karena rawan akan tindak kejahatan dan berpotensi menularkan penyakit virus corona selama di perjalanan.
Pengemudi juga bisa menghadapi risiko terjebak jika dihalau di suatu daerah karena tidak bisa kembali ke daerah asal maupun melanjutkan perjalanan ke daerah tujuan, menurut polisi.
Pengamat transportasi dan kesehatan meminta masyarakat untuk sadar dan mematuhi keputusan larangan mudik karena keberhasilan menekan penyebaran virus corona bukan hanya ada di pundak pemerintah dan aparat keamanan, melainkan juga menjadi tanggung jawab warga.
Menelusuri jalur tikus dari Jakarta ke Jawa Tengah
Dua hari setelah larangan mudik diberlakukan, tepatnya pada Minggu, 26 April lalu, Budi, bukan nama sebenarnya, bersama istri dan dua anaknya berangkat dari rumah di daerah selatan Jakarta sekitar pukul 19.00 WIB.
Ia merencanakan berangkat malam agar peluang untuk lolos dari penjagaan lebih besar.
Dari Jakarta, Budi memacu mobil pribadinya melalui jalur tol hingga tiba di pos pemeriksaan Cikarang. Mobil Budi diperiksa, dan ditanya tentang tujuan oleh petugas dan alasan keluar dari wilayah Jabodetabek.
Budi menjawab mau mengunjungi saudara yang sakit di Cirebon dan akan keluar di pintu tol Brebes.
Ternyata, ia tidak bisa membuktikan alasannya sehingga ditolak dan harus putar balik.
Budi pun menghubungi temannya yang bekerja di perusahaan jasa transportasi, yang menyarankan keluar pintu tol Bekasi Timur untuk kemudian menggunakan jalur tikus dari Babelan, Karawang, hingga Cirebon.
"Pas lewat Babelan, sekitar jam 10 malam itu, ternyata ada penjagaan, namun tidak seketat di Cikarang."
"Saya ditanya mau ke mana? Saya lobi-lobi, bilang ke Cirebon mau jemput orang tua untuk kembali ke Jakarta karena tidak mungkin naik bus yang sudah tidak beroperasi lagi dan rawan kontaminasi."
"Lalu dicek suhu, disemprot disinfektan semuanya, dan dipersilakan jalan, dan diminta hati-hati karena perjalanan di depan akan sepi dan rawan [kejahatan]."
"Tidak ada saya kasih uang dan tidak ada minta uang [petugasnya]. Mungkin mereka kasihan lihat anak saya dua dan istri tidur," kata Budi.
"Antah-berantah"
Setelah lolos, Budi dengan keyakinan dan iman yang kuat memacu mobilnya dengan kecepatan yang cukup tinggi hingga tiba di Karawang, lalu masuk jalur tikus lagi dan akhirnya tiba di Semarang.
"Sepi, hanya beberapa mobil dan mungkin penduduk asli. Saya tidak tahu di mana, ikuti jalan saja, gelap sekali jalannya, dan tengah malam pula. Saya tanya-tanya orang-orang yang nongkrong mau ke sini lewat mana, ya seperti negeri antah-berantah."
"Saya baru tahu ada di mana itu waktu tiba di Semarang, sekitar jam 2-3 malam. Nah, di Semarang saya kena lagi, pelat mobil Jakarta pula. Untung saya tahu jalan saat ditanya karena keluarga istri saya tinggal di Banyumanik."
"Saya bilang mau pulang ke rumah di Banyumanik, dan saya lolos. Sulit kalau tidak tahu daerah dan tidak bisa lobi, akan ketahuan," ungkap Budi.
Setelah lolos, Budi kembali memacu mobilnya menggunakan jalur desa yang sepi melewati Magelang, Yogyakarta, dan tiba ke kampung halamannya di suatu daerah di Jawa Tengah.
"Sepanjang jalan ini, banyak pos-pos pemeriksaan, dan petugas berjaga, tapi tidak berdiri di tengah jalan dan memberhentikan mobil."
"Tidak macet juga. Mungkin itu pas hari keberuntungan saya juga makanya bisa lolos," kata pria yang bekerja sebagai pegawai swasta di Jakarta itu.
Setibanya di kampung halaman, Budi dan keluarga melapor ke warga sekitar yang mayoritas memiliki hubungan keluarga.
Lalu mereka dicek suhu serta diberi disinfektan, dan akhirnya berbaur dengan masyarakat.
Keberanian Budi dan keluarga melalui jalur tikus yang rawan kejahatan pada malam hari tidak lepas dari besarnya tekanan yang dihadapi jika tinggal di Jakarta. "Pemerintah kalau mau lockdown, rakyat kecil harus diperhatikan, kami jika bertahan di Jakarta akan menderita," ungkapnya.
Budi yang berusia 34 tahun itu pun belum tahu kapan akan kembali ke Jakarta.
Mereka kini tengah menjalani hidup sementara di kampung halaman di tengah pandemi Covid-19.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Cerita Pemudik Menelusuri Jalur Tikus Mudik dari Jakarta ke Jawa Tengah: Seperti Negeri Antah-berantah"
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari