Find Us On Social Media :

Lempar Cakram, Olahraga Atletik Tertua, Tidak Heran Susah Memenanginya

By K. Tatik Wardayati, Minggu, 6 Mei 2018 | 11:45 WIB

 

Intisari-Online.com – Baru-baru ini Alfred Oerter dianugerahi bintang jasa, medali perunggu "Olympic Order" dari I.O.C. bagi jasanya untuk olahraga amatir dan cita-cita luhur gerakan Olimpik modern.

Selama ini, baru lima atlet Amerika yang pernah mendapat penghargaan ini. Alfred Oerter termasuk satu di antaranya. Inilah ceritanya yang dihimpun oleh Tan Liang Tie.

Ketika Robert Garrett, mahasiswa Universitas Princeton AS mendengar adanya nomor lempar cakram dalam lomba atletik Olimpiade modern pertama di Athena tahun 1896, langsung saja timbul niatnya untuk turut berlomba dalam nomor klasik ini.

Siapakah yang tidak mengenal Si Pelempar Cakram hasil pahatan seniman Yunani kuno Miron?

Tapi Garrett belum pernah melihat cakram, apa lagi melemparnya. Garrett memang atlet penolak peluru.

Baca juga: Obor Asian Games Akan Dinyalakan dengan Api Abadi Peninggalan Sunan Kalijaga, Benarkah Nyalanya Tidak Pernah Padam?

Pada waktu di sana pun nomor lempar cakram belum dikenal sama sekali. Di mana-mana tidak ada cakram.

Dari cerita kawan-kawannya, Garrett tahu bahwa tebal sebuah cakram kira-kira 2,5 cm dan diameternya 30 cm lebih.

Garrett menyuruh orang membuatnya, entah dari bahan apa. Tetapi ketika pesanannya tiba di Princeton ternyata beratnya hampir 10 kilo.

Setelah melakukan percobaan beberapa kali, Garrett membatalkan niatnya untuk turut ambil bagian dalam nomor klasik ini.

Setibanya di Athena, di stadion Olimpiade pertama, barulah Garrett melihat dan memegang sebuah cakram benar, yang ternyata jauh lebih kecil dan lebih ringan dari yang dibuatnya di  rumah.

Dia mencobanya sebentar dan mencatatkan nama juga sebagai peserta. Dianggapnya saja lomba lempar cakram ini sebagai pemanasan bagi nomor khususnya, tolak peluru.

Ternyata Garrett keluar sebagai juara pertama mengalahkan dua orang Yunani bergaya pelempar cakram klasik. Jauh lemparannya 29.15 m.

Pada  waktu itu untuk turut ambil bagian dalam pesta Olimpiade tidak diadakan seleksi dan sebagainya. Siapapun yang mampu membiayai dirinya pergi ke Athena, dapat menganggap dirinya anggota “team".

Robert Garretta, anak orang kaya, atas biayanya mengajak serta tiga kawan mahasiswa ke Olimpiade Athena.

Dapat dikatakan sejak Robert Garrett secara iseng memenangkan nomor lempar klasik itu atlet-atlet AS memegang peran penting kalau tidak terpenting di arena lomba keunggulan prestasi internasional.

Baca juga: Ayo 'Nobar' Asian Games 2018 Bareng Keluarga, Ini 5 Manfaatnya

Dalam 19 kejuaraan atletik Olimpiade, dari 1896 sampai 1980, 13 kali medali emas direbut oleh pelempar-pelempar AS, dan di antaranya 12 kali menciptakan rekor Olimpik.

Dari 13 kali gelar juara Olimpiade itu terdapat tiga atlet yang berhasil lebin dari sekali menggondol medali emas, yaitu Martin Sheridan, Clarence Houser, dan Alfred Oerter.

Setiap kali menang ketiga atlet ini menciptakan rekor Olimpik. Namun, dari tiga orang ini Oerterlah atlet yang terhebat.

Sheridan dan Houser hanya dua kali berturut-turut menang, Sheridan pada tahun-tahun 1904 dan 1908, sedang Houser 1924 dan 1928, Alfred Oerter menang empat kali, 1956, 1960, 1964 dan 1968.

Alfred Oerter ialah seorang atlet luar biasa, yang mampu berprestasi luar biasa pada  kesempatan luar biasa pula. Tiap kali menang dalam peristiwa besar Olimpiade itu, Oerter mengungguli orang-orang yang pada waktunya berprestasi lebih baik, bahkan menciptakan rekor dunia.

Baca juga: Evolusi Kayak, Salah Satu Cabang Olahraga Asian Games yang Seru!

Tahun 1956 rekor dunia dipegang oleh Fortune Gordien, juga dari AS, 59.91 m. Namun di Melbourne, 1956, Oerterlah yang menggondol medali emas, meski rekor Olimpiadenya tidak sebaik itu, hanya 56.36 m.

Tahun 1960 di Roma, Al Oerter menangkan emas lagi dengan lemparan rekor Olimpik, 59.18 m, padahal sebulan sebelumnya rekan senegaranya, Rink Babka, menyamai rekor dunia atas nama Ed Piatkowski dari Polandia, 59.91 m.

Tampaknya Al Oerter mencapai puncak prestasinya pada tahun 1962 dan 1963. Tahun 1962, dua kali dia menciptakan rekor dunia. Bulan Mei dengan lemparan sejauh 61.10 m dan awal Juli memperbaikinya sampai 62.44 m.

Hampir setahun kemudian dia menambahkan 50 cm pada rekor dunianya itu. Walaupun demikian peluangnya untuk menjadi trijuara Olimpade pada tahun 1964 di Tokio tampaknya sangat kecil.

Ludvik Danek dari Ceko maju pesat, di mana-mana di Eropa lempar cakram mendekati rekor dunia Oerter. Selain itu di Tokio, Oerter menderita cedera pada tulang punggungnya akibat salah gerak dalam suatu latihan.

Baca juga: Masih Muda dan Tidak Diunggulkan, Namun Lanny Kaligis Menjadi Ratu Gelanggang Tenis Asian Games

Untuk meringankan rasa sakitnya, Oerter dibalut-ketat pada bagian dadanya dan diberi gelang penekan pada lehernya. Sementara bagian yang cedera dikompres dengan es.

Setelah empat giliran di babak final tampak tidak ada harapan bagi Oerter. Prestasinya jauh di bawah rekor dunianya, sementara itu atlet Ceko Danek memimpin dengan 60.51 m. Untuk gilirannya yang kelima Oerter nekat melepaskan gelang penahan pada lehernya.

Dengan menahan rasa sakit pada dadanya dan tidak memperdulikan sama sekali nasehat dokter Al Oerter mengerahkan segala kebisaan dan tenaganya. Cakram terlempar sejauh 61.00 m, rekor Olimpik baru dan untuk ketiga kalinya medali emas baginya.

Setelah Olimpiade Tokio diperkira masa bertanding bagi Oerter sudah berlalu, la sudah tiga Olimpiade berturut-turut memenangkan medali emas untuk nomor sama, usianya telah mencapai 28 tahun, saingan-saingannya yang lebih muda telah mendesak maju.

Tahun 1965 Ludvik Danek menumbangkan rekor dunia Oerter, menjadi 65.22 m. Menjelang Olimpiade Meksiko 1968 Jay Silvester makin berprestasi baik, bahkan menciptakan rekor dunia baru, 68.40 m.

Namun, Al Oerter tidak berniat berhenti berlomba, kendati umurnya sudah 30 lebih, sudah berputra empat.

Dia berhasil lagi terpilih untuk memperkuat regu atletik AS, dan di kota Meksiko kembali menggondol medali emas, prestasinya pun rekor Olimpik lagi, 64.78 m.

Di kota Meksiko ini terbukti  kemampuan Al Oerter, kemampuan untuk menyesuaikan diri pada keadaan. Di babak kwalifikasi pemegang rekor dunia, Jay Silvester, secara gamblang membuktikan dirinya terbaik, rekor Olimpik baru diciptakannya, 63.34 m.

Esok harinya arena perlombaan basah, becek akibat hujan lebat yang turun sejak tengah malam. Terutama lingkaran lempar cakram becek sekali. Al Oerter mampu menyesuaikan tekniknya pada keadaan lapangan ini, sebaliknya Jay Silvester hanya mampu menempatkan diri pada urutan ke-6.

Tahun 1979 Al Oerter mempersiapkan diri untuk Olimpiade 1980, sayang AS tidak mengirim regu ke Moskow. Tetapi sekarang ini setelah menerima bintang jasa Olimpiade dia bertekad untuk berlomba lagi dalam Olimpiade 1984 di Los Angeles.

Baca juga: Inilah Senjata yang Telah Mencetak Para Pahlawan Dunia dan Atlet Kelas Internasional di Asian Games

Juara Olimpiade Montreal 1976  adalah pemegang rekor dunia, atlet AS, Mac Wilkins. Bulan Mei 1976 Mac Wilkins menciptakan rekor dunia dengan lemparan luar biasa, melampaui atas jarak 70 m dengan 87 cm.

Di Montreal dua bulan kemudian Mac Wilkins menciptakan rekor Olimpik, 67.50 m. Di Moskwa rekor ini tidak terlampaui, juaranya, Viktor Raschchykin dari Uni Sovyet hanya mencapai 66.64 m.

Pada umumnya kita, Indonesia, tidak pernah mantap dalam nomor-riomor lempar. Tingkat prestasi atlet-atlet kita tidak sesuai dengan bakat kemampuannya yang rata-rata dimiliki dalam olahraga.

Tidak perlu kita membandingkan dengan tingkat prestasi interhasional, tingkat prestasi atlet-atlet Eropa dan Amerika.  Rekor nasional kita waktu ini mencapai jarak 44.39 m, baru-baru ini  tercipta oleh Suhadi dalam perlombaan sirkuit atletik se-Jawa/Bali di Surabaya.

Sebetulnya suatu hal yang menggembirakan setelah rekor nasional terbaik. Dan jarak sekitar rekor semenjak 1963 secara terus menerus dipegang oleh Usman Effendi dengan diselingi hanya sekali oleh Yan Pattipawae tahun 1964.

Dengan bakat kemampuan yang kita miliki jarak 50 m lebih, sebetulnya bukan merupakan hal mustahil bagi pelempar-pelempar terbaik.

Dan jarak sekitar rekor nasional kita kini jarak rata-rata bagi pelempar-pelempar berbakat lain.

Umumnya minat atlet-atlet kita terhadap nomor-nomor teknis itu agak kurang dan rata-rata pelomba-pelomba kita kurang menguasai teknik nomor-nomor itu.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 1981)

Baca juga: Obor Asian Games Akan Dinyalakan dengan Api Abadi Peninggalan Sunan Kalijaga, Benarkah Nyalanya Tidak Pernah Padam?