Find Us On Social Media :

Rakyat Irak Ngotot Gulingkan Saddam Hussein, Tapi Takut Dijajah AS

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 19 April 2018 | 19:00 WIB

Intisari-Online.com – Irak. Negeri satu ini mulanya dikenal sebagai negara kaya. Namun, langkah pemimpinnya untuk menyeret Kuwait menjadi bagian wilayahnya, membalik total kondisi itu.

Lama nama negeri ini tidak masuk dalam hitungan saya untuk dikunjungi. Maklum, negeri yang dikuasai Partai Baath Arab Sosialis ini tak terlalu bersahabat dengan kaum wartawan.

Pengalaman tiga kali berkunjung ke Irak sebelumnya selalu berakhir dengan rasa kecewa.  Dari semua keinginan dan kebutuhan seorang jurnalis hanya 10 - 20% yang terpenuhi.

Meski mengaku sebagai Arab, sikap sosialis yang diemban sebuah partai berkuasa tetap sangat mendominasi kehidupan di Irak. Negeri ini sangat pelit informasi. Yang didapat seorang wartawan bukan informasi untuk keperluan jurnalistik, melainkan melulu informasi yang diperlukan pemerintah Irak.

Baca juga: Tragisnya Kisah Para Tentara Bayaran AS yang Terbunuh di Irak: Sudah Dibakar, Digantung Pula di Jembatan

Misalnya tahun 1991, waktu pertama kali saya dikirim ke sana beberapa saat setelah perang darat, hampir seluruh sektor tertutup untuk orang asing, apalagi wartawan.

Waktu itu Irak dalam kondisi hancur-lebur setelah diserang habis oleh pasukan multinasional pimpinan Amerika Serikat (AS).

Untuk menghalau Irak dari pendudukannya di negara tetangga, Kuwait, AS dan sekutunya benar-benar menghukum hegeri itu dengan serangan bom yang "rruaaar biasa". Sisa-sisa bom AS itu meninggalkan lubang-lubang raksasa berukuran 10 kali lebih besar dan lebih dalam dari kubangan kerbau.

Hampir seluruh bangunan di kota-kota besar seperti Baghdad hancur. Bahkan, beberapa  wilayah seperti Karbala yang dihuni warga muslim Syiah rata dengan tanah. Kondisi ekonomi negeri itu bisa dikatakan mati.

Baca juga: 'Dipertemukan' oleh Serangan Rudal AS di Irak Saat Masih Kecil, Kisah Persahabatan 2 Orang Ini Sungguh Mengagumkan

Warga Irak - yang sebelumnya dikenal "sombong" karena "kaya raya", hanya tahu "hura-hura", serta berpesiar - tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan memilukan. Waktu itu, mendapatkan sepiring makan sudah menjadi barang langka. Dalam semalam negeri itu "mati".

Baghdad, ibukota Irak- yang begitu dikenal sebagai ""Kota 1001 Malam" dan penuh nuansa dongeng Abu Nawas, tiba-tiba menjadi murunng dan muram. Jalan-jalan kota yang biasanya berkilau karena dicuci seminggu tiga kali menjadi kusam dipenuhi pengemis dan gelandangan.

Bocah-bocah Irak yang semula bebas bermain dan berkejaran pun harus menanggung nasib membantu mencari nafkah dengan mengemis.

Sungguh memilukan! Belum lagi ditambah dengan sulitnya obat-obatan yang didapat. Para dokter Irak pun terkadang harus melakukan operasi atau amputasi secara "langsung" dan "telanjang", tanpa obat bius.

Pada akhirnya harus diakui, Perang Teluk  telah memindahkan "neraka" ke Irak.

Tahun 1995 - empat tahun setelah negeri itu menjalani embargo ekonomi PBB – kondisinya semakin memilukan. Jutaan anak harus putus sekolah. Ribuan pegawai negeri harus bertahan tanpa gaji memadai.

Lebih dari itu, ribuan anak terancam bahaya kelaparan karena kurangnya persediaan makanan.

Kendati begitu, Irak masih sangat pelit informasi. Rasa saling curiga begitu tinggi. Saat berada di tengah bongkahan pasar - yang, hancur lebur karena serangan bom 1991 - di Karbala, Irak  selatan misalnya, tiba-tiba di samping kami sudah berdiri orang tak dikenal yang terus mengikuti gerak dan pembicaraan.

Bisa dikatakan, begitu banyak mata-mata bergerak di Irak. Bahkan, dinding batu dan pepohonan pun seolah punya mata yang bisa melaporkan segala pembicaraan kepada pemerintah.

Lebih parah lagi, yang namanya pejabat pemerintah sudah bagaikan dewa yang tak tersentuh tangan manusia. Bisa wawancara dengan seorang menteri pada periode 1991 - 1995 itu bagaikan "mimpi di siang hari".

Baca juga: Di Balik Kekejamannya, Ternyata Saddam Hussein Pernah Menulis Novel Romantis yang Bisa Anda Beli di Amazon

Harus pula diakui, sangat sulit waktu itu untuk menjadi wartawan di Irak. Izin 10 hari tinggal bisa dibilang tak berarti karena selama itu pula tak satu pun informasi berarti bisa didapat.

Mendapat "musuh bersama"

Kadaan itu bisa dimengerti. Setelah berada di bawah kepemimpinan Presiden Saddam Hussein - yang mengambil alih kekuasaan sejak 1979 - Irak menerapkan sistem sosialis meski dengan embel-embel “Arab" atau Arab Sosialis.

Sistem ini menjadi "jiwa" utama partai befkuasa, Partai Baath Arab Sosialis.

Pemerintah Irak sangat mendominasi setiap roda kehidupan Irak. Kondisi itu pun berlangsung hingga kunjungan terakhir Oktober 2002, saat Irak melaksanakan referendum kedua.

Pelaksanaan referendum, misalnya, bukan untuk menddpatkan gambaran jujur kesediaan rakyat menerima pemimpinnya, melainkan hanya bersifat mengesahkan kekuasaan pemimpin. Hal itu terjadi, karena seorang pemimpin di Irak, katakanlah itu Presiden Irak, ditentukan

oleh Dewan Komando Revolusioner (DKR), badan tertinggi eksekutif Irak.

Nah, rakyat kemudian mengesahkan pilihan itu melalui referendum yang sudah dijadwalkan  tujuh tahun sekali tiap tanggal 15 Oktober.

Pilihan bagi rakyat semakin sempit dan nyaris tidak ada karena DKR sendiri diketuai Saddam Hussein yang sekaligus menjadi pemimpin tertinggi Partai Baath Arab Sosialis.

Walau begitu, dalam referendum pertama yang dilaksanakan tahun 1995 Saddam memperoleh 99% suara. Sedang  dalam referendum kedua, 2002: Saddam mendapat dukungan 100% bulat dan penuh.

Baca juga: Belajar dari Saddam Hussein dan Muammar Gaddafi, Kim Jong Un Genjot Program Nuklir di Tahun 2018

Terlepas dari angka itu asli atau palsu, murni atau rekayasa, yang pasti animo masyarakat lebih terasa di referendum 2002. Bisa dipastikan pelaksanaan referendum II ini dibayangi ancaman perang serius dari AS.

Dalam berbagai forum, AS berkali-kali menyatakan niat besarnya menggulingkan Saddam Hussein.

AS menganggapnya sebagai ancaman keamanan dunia karena tetap mempertahankan, menyimpan, dan mengembangkan senjata pemusnah massal, baik nuklir, kimia, maupun biologi.  AS bersiteguh, tanpa menggulingkan Saddam, dunia tidak akan aman.

Tanpa diduga, ancaman serius dari Negeri Paman Sam itu justru mempersatukan rakyat Irak. Mereka, yang selama ini hanya memikirkan "acara tamasya", tiba-tiba mendapatkan semacam common enemies, musuh bersama.

Rakyat bersatu mendukung Saddam. "Saya rela mati demi Irak tapi kami tidak akan menerima Amerika," kata Abdul Qadeer, salah satu warga Irak.

Tak bisa dipungkiri, setelah 23 tahun di bawah kepemimpinan Saddam, mereka pun mengharapkan adanya suksesi. Namun, suksesi secara alamiah, tanpa rekayasa dari pihak asing, apalagi AS.

Sebagian besar rakyat Irak sadar, tidak ingin bernasib seperti saudara mereka di Afghanistan: mendapatkan pemimpin "cetakan" AS. "Kami ingin pemimpin kami berasal dari negeri kami dan "benar-benar berjuang demi kami," sambung rakyat Irak lain.

"Karena itu, kami tidak menghendaki juga pemimpin yang sekarang berada di luar."

Saddam sendiri seolah memahami kondisi itu. Dalam diamnya, ia mengindikasikan calon yang diharapkan bisa menggantikan posisinya. Meski informasi itu hanya bersifat "bisik-bisik", selama ini rakyat Irak seolah telah dibiasakan pada nama Cusay Hussein, salah satu putra Saddam untuk meneruskan "imperium kerajaan Saddam".

(Ditulis oleh Rien Kuntari, wartawan Kompas. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2003)

Baca juga: Di Bawah Rezim Saddam Hussein, Pesepakbola akan Disiksa dan Dipenjara jika Timnas Irak Kalah