Sungguh memilukan! Belum lagi ditambah dengan sulitnya obat-obatan yang didapat. Para dokter Irak pun terkadang harus melakukan operasi atau amputasi secara "langsung" dan "telanjang", tanpa obat bius.
Pada akhirnya harus diakui, Perang Teluk telah memindahkan "neraka" ke Irak.
Tahun 1995 - empat tahun setelah negeri itu menjalani embargo ekonomi PBB – kondisinya semakin memilukan. Jutaan anak harus putus sekolah. Ribuan pegawai negeri harus bertahan tanpa gaji memadai.
Lebih dari itu, ribuan anak terancam bahaya kelaparan karena kurangnya persediaan makanan.
Kendati begitu, Irak masih sangat pelit informasi. Rasa saling curiga begitu tinggi. Saat berada di tengah bongkahan pasar - yang, hancur lebur karena serangan bom 1991 - di Karbala, Irak selatan misalnya, tiba-tiba di samping kami sudah berdiri orang tak dikenal yang terus mengikuti gerak dan pembicaraan.
Bisa dikatakan, begitu banyak mata-mata bergerak di Irak. Bahkan, dinding batu dan pepohonan pun seolah punya mata yang bisa melaporkan segala pembicaraan kepada pemerintah.
Lebih parah lagi, yang namanya pejabat pemerintah sudah bagaikan dewa yang tak tersentuh tangan manusia. Bisa wawancara dengan seorang menteri pada periode 1991 - 1995 itu bagaikan "mimpi di siang hari".
Harus pula diakui, sangat sulit waktu itu untuk menjadi wartawan di Irak. Izin 10 hari tinggal bisa dibilang tak berarti karena selama itu pula tak satu pun informasi berarti bisa didapat.
Mendapat "musuh bersama"
Kadaan itu bisa dimengerti. Setelah berada di bawah kepemimpinan Presiden Saddam Hussein - yang mengambil alih kekuasaan sejak 1979 - Irak menerapkan sistem sosialis meski dengan embel-embel “Arab" atau Arab Sosialis.
Sistem ini menjadi "jiwa" utama partai befkuasa, Partai Baath Arab Sosialis.