Find Us On Social Media :

Rakyat Irak Ngotot Gulingkan Saddam Hussein, Tapi Takut Dijajah AS

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 19 April 2018 | 19:00 WIB

Pemerintah Irak sangat mendominasi setiap roda kehidupan Irak. Kondisi itu pun berlangsung hingga kunjungan terakhir Oktober 2002, saat Irak melaksanakan referendum kedua.

Pelaksanaan referendum, misalnya, bukan untuk menddpatkan gambaran jujur kesediaan rakyat menerima pemimpinnya, melainkan hanya bersifat mengesahkan kekuasaan pemimpin. Hal itu terjadi, karena seorang pemimpin di Irak, katakanlah itu Presiden Irak, ditentukan

oleh Dewan Komando Revolusioner (DKR), badan tertinggi eksekutif Irak.

Nah, rakyat kemudian mengesahkan pilihan itu melalui referendum yang sudah dijadwalkan  tujuh tahun sekali tiap tanggal 15 Oktober.

Pilihan bagi rakyat semakin sempit dan nyaris tidak ada karena DKR sendiri diketuai Saddam Hussein yang sekaligus menjadi pemimpin tertinggi Partai Baath Arab Sosialis.

Walau begitu, dalam referendum pertama yang dilaksanakan tahun 1995 Saddam memperoleh 99% suara. Sedang  dalam referendum kedua, 2002: Saddam mendapat dukungan 100% bulat dan penuh.

Baca juga: Belajar dari Saddam Hussein dan Muammar Gaddafi, Kim Jong Un Genjot Program Nuklir di Tahun 2018

Terlepas dari angka itu asli atau palsu, murni atau rekayasa, yang pasti animo masyarakat lebih terasa di referendum 2002. Bisa dipastikan pelaksanaan referendum II ini dibayangi ancaman perang serius dari AS.

Dalam berbagai forum, AS berkali-kali menyatakan niat besarnya menggulingkan Saddam Hussein.

AS menganggapnya sebagai ancaman keamanan dunia karena tetap mempertahankan, menyimpan, dan mengembangkan senjata pemusnah massal, baik nuklir, kimia, maupun biologi.  AS bersiteguh, tanpa menggulingkan Saddam, dunia tidak akan aman.

Tanpa diduga, ancaman serius dari Negeri Paman Sam itu justru mempersatukan rakyat Irak. Mereka, yang selama ini hanya memikirkan "acara tamasya", tiba-tiba mendapatkan semacam common enemies, musuh bersama.

Rakyat bersatu mendukung Saddam. "Saya rela mati demi Irak tapi kami tidak akan menerima Amerika," kata Abdul Qadeer, salah satu warga Irak.

Tak bisa dipungkiri, setelah 23 tahun di bawah kepemimpinan Saddam, mereka pun mengharapkan adanya suksesi. Namun, suksesi secara alamiah, tanpa rekayasa dari pihak asing, apalagi AS.

Sebagian besar rakyat Irak sadar, tidak ingin bernasib seperti saudara mereka di Afghanistan: mendapatkan pemimpin "cetakan" AS. "Kami ingin pemimpin kami berasal dari negeri kami dan "benar-benar berjuang demi kami," sambung rakyat Irak lain.

"Karena itu, kami tidak menghendaki juga pemimpin yang sekarang berada di luar."

Saddam sendiri seolah memahami kondisi itu. Dalam diamnya, ia mengindikasikan calon yang diharapkan bisa menggantikan posisinya. Meski informasi itu hanya bersifat "bisik-bisik", selama ini rakyat Irak seolah telah dibiasakan pada nama Cusay Hussein, salah satu putra Saddam untuk meneruskan "imperium kerajaan Saddam".

(Ditulis oleh Rien Kuntari, wartawan Kompas. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2003)

Baca juga: Di Bawah Rezim Saddam Hussein, Pesepakbola akan Disiksa dan Dipenjara jika Timnas Irak Kalah