Penulis
Intisari-Online.com - Pada 2 April mendatang, bioskop Indonesia akan dimeriahkan oleh film Tarung Sarung, Cinta dan Asa si Anak Bugis.
Seperti judulnya, film ini mengangkat salah satu budaya lokal suku Bugis yakni tarung sarung atau sigajang laleng lipa.
Plot cerita dalam film menggunakan kebiasaan adat ini untuk menyelesaikan konflik antara 2 orang yang bermasalah, yakni sang tokoh utama Deni Ruso, yang diperankan olehPanji Zon dan Sanrego karena seorang wanita.
Yang menjadi persoalan, apakah Deni mampu mengalahkan Sanrego dan mendapatkan cinta wanita itu?
Namun terlepas dari film Tarung Sarung yang diproduseri oleh Chand Parwez, seperti semematikan apa duel sarung tarung atau siganjang laleng lipa ini?
Menurut beberapa sumber ritual ini konon banyak terjadi di masa lalu.
Yakni saat sebuah keluarga merasa harga dirinya terinjak, namun, kedua keluarga merasa benar, maka diselesaikan dengan ritual ini.
Awal kemunculannya, adalah pengaruh masyarakat Bugis yang menjunjung tinggi rasa malu, di mana mereka merasa malu ketika harga diri mereka terinjak-injak.
Bahkan mereka rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan kehormatan mereka, akhirnya ritual ini tercipta.
Meski terkadang hasil akhir dari pertarungan ini adalah imbang, sama-sama meninggal, atau keduanya sama-sama hidup.
Seiring berjalannya waktu dan kemajuan pendidikan ritual ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Bugis.
Meski begitu, ritual ini tidak benar-benar ditinggalkan, melainkan dipentaskan kembali dalam sebuah panggung untuk menjaga kelestarian warisa budaya.
Pementasan ini dimulai dengan pementasan tari, dan ritual bakar diri para penari menggunakan obor.
Namun, para penari tetap tersenyum dan tidak tersengat kepanasan, setelah itu barulah kedua pementas beradu dalam sarung untuk melakukan gajang laleng lipa.
Menurut kepercayaan, ritual ini memiliki makna tersendiri, di mana sarung diartikan sebagai simbol persatuan dan kebersamaan masyarakat Bugis.
Berada dalam sarung berarti menunjukkan, diri mereka ada dalam satu tempat dan ikatan yang menyatukan, dalam kata lain ikatan kebersamaan antar manusia.
Meski terkesan brutal dan mengerikan, ritual ini merupakan tradisi dan ciri khas masyarakat Bugis.
Ketika perselisihan tak dapat dihindari karena sebuah perselisihan dan menjunjung harga diri yang harus ditegakkan.
Di saat itulah nyawa tak ada artinya, dan konflik berdarah harus dilakukan dalam ritual bernama gajang laleng lipa.
Hal ini tak lain dan tak bukan adalah untuk menjunjung kemulian dan harga diri Manusia. (Afif Khoirul M)