Penulis
Intisari-Online.com- Peternak babi di Bali makin resah dan cemas dengan terus bertambahnya kematian babi.
Namun hingga kini penyebab kematian tersebut masih jadi misteri.
Peternak pun mulai menjerit.
Mereka menuntut pemerintah segera mengumumkan hasil laboratorium untuk mengetahui penyebab pasti ratusan babi mati dan cari solusinya.
Selama ini peternak menjadi korban dari ketidakjelasan ini.
Peternak Tuntut Hasil
Berdasarkan data terbaru Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, per 31 Januari 2020 jumlah babi mati di Bali mencapai 888 ekor.
Dari jumlah tersebut, mayoritas kematian berada di kawasan Sarbagita atau Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan.
Jumlah kematian tertinggi terjadi di Kabupaten Badung berjumlah 598 ekor, dan Kabupaten Tabanan berjumlah 219 ekor.
Selanjutnya di Kota Denpasar jumlahnya 45 ekor dan Kabupaten Gianyar jumlahnya 24 ekor.
Kabupaten Bangli dan Kabupaten Karangasem masing-masing satu ekor.
Sementara dari data yang dihimpunTribun Bali, babi yang mati jumlah sudah mencapai seribuan lebih untuk di Badung dan Tabanan saja.
Di Badung tercatat 564 ekor, dan Tabanan 537. Sementara Gianyar 36 ekor, dan Denpasar 54 ekor.
Banyaknya babi yang mati di beberapa kabupaten membuat harga daging babi merosot.
Pasalnya beberapa peternak babi yang terserang wabah secara cepat-cepat menjual babinya dengan harga murah.
Di sisi lain, masyarakat menjadi takut mengkonsumsi daging babi sehingga penjualan juga menurun.
Padahal, virus yang mengenai babi tidak akan tertular pada manusia.
“Ini kejadian yang luar biasa. Sangat berdampak terhadap peternak dan konsumen,” kata Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali, Ketut Hari Suyasa, Jumat (31/1/2020).
Pengusaha peternak babi pun sangat menyayangkan hasil laboratorium tidak kunjung keluar, dengan alasan yang berhak untuk mengumumkan hasil laboratorium tersebut adalah dari Kementrian Pertanian.
Padahal beberapa kabupaten seperti Badung dan Tabanan sudah memberikan sampel darah terkait babi yang mati.
“Melihat dari kejadian ini, kita kan ingin tahu virus ini african swine fever (ASF) atau bukan? Sampai sekarang kita masih menunggu,” ungkapnya.
Pihaknya mengatakan pada jajaran peternak tidak peduli dengan virus ASF tersebut.
Mereka hanya meminta agar pemerintah berbuat untuk menyelamatkan para peternak yang babinya terkena virus.
“Jadi sebelum diputuskan hasilnya kita akan terus bergerak dari desa ke desa untuk melakukan penanganan virus yang kita tidak tahu dan tidak ada obatnya,” bebernya.
Adanya isu virus ASF menyebabkan kepanikan terhadap masyarakat, juga sangat berdampak kepada peternak babi.
“Kalau babi kami tidak mati, harga jual kami malah yang kacau. Semestinya di hari raya Galungan kita tersenyum, tapi kenyataanya malah susah. Karena nilai jual kami malah di bawah harga biasanya,” jelasnya.
Di wilayah terdampak, seperti Badung, Gianyar, Tabanan, dan Klungkung harga babi turun drastis yakni Rp 22.000 per kilo.
Dari sebelumnya Rp 27.000 per kilo.
Sedangkan harga babi di wilayah Singaraja masih aman di angka Rp 28.000 perkilo. Itu pun dihitung dengan harga babi yang masih hidup.
Pihaknya pun meminta kepada pemerintah terkait solusi penanganan virus saat ini.
“Tapi intinya kita minta agar segera diumumkan hasil lab tersebut agar tahu wabah yang selama ini terjadi,” tegasnya.
Jika sudah diumumkan hasilnya, pemerintah juga bisa menentukan tindakan selanjutnya.
Sehingga masyarakat tdak cemas terkait adanya masalah tersebut.
Peternak Galau
Terpisah, Ketua GUPBI Kabupaten Tabanan, I Nyoman Ariadi, mengakui sejak adanya isu penyebaran virus ASF memang sudah membuat khawatir para peternak di Tabanan.
Mereka para peternak semakin waswas dengan kasus kematian babi secara mendadak yang jumlahnya makin meningkat.
Tak sedikit para peternak memilih untuk menjual ternaknya di bawah harga jual normal.
"Yang jelas peternak sekarang galau. Sedangkan babi juga banyak di Tabanan," ungkap Ariadi saat dikonfirmasi, Jumat (31/1/2020) malam.
Menurut Ariadi, selama ini semua pihak baik peternak dan pemerintah kebingungan dengan fenomena ini.
Dia mengajak agar fenomena ini dijadikan sebagai bahan pembelajaran dan instrospeksi diri.
"Virus itu gak ada obatnya, kemudian vaksinnya juga belum ada jika virus ini memang baru. Kemudian, hasil lab dari BB Veteriner juga belum keluar sehingga membuat peternak galau," tandasnya.
Menurutnya, langkah yang harus dilakukan adalah melihat lagi kasus-kasus sebelumnya dan melihat penyebab kasus terakhir ini.
Salah satu contohnya adalah ada kemungkinan awal mula virus masuk itu ditenggarai adanya penyelundupan daging babi secara ilegal.
Kemungkinan besar, daging babi ilegal ini menyimpan virus yang kemudian menular di Bali.
Hal ini tentunya harus menjadi perhatian serius semua pihak baik peternak, pemerintah, maupun instansi terkait.
"Mari bersama-sama berjuang dan menjaga agar peternak di Bali khususnya Tabanan dalam keadaan aman."
Semua pihak harus berjuang. Karena khusus untuk peternak, hal yang bisa dilakukan adalah dengan biosecurity atau menjaga kebersihan kandang dengan penyemprotan desinfektan. Kemudian juga mobilitas peternakan harus dibatasi," imbaunya.
Disinggung terkait anjloknya harga daging babi pasca fenomena babi mati secara mendadak, Ariadi memilih tak berkomentar banyak.
Yang jelas selama ini, pihaknya dari GUPBI Bali khususnya Tabanan sudah kerap kali menyampaikan agar para jagal atau pembeli daging babi tidak memanfaatkan peternak dalam kesempitan.
Karena selama ini, fenomena jual babi murah kerap terjadi ketika terjadi kasus.
"Para peternak ketika ada kasus pasti akan gelisah. Nah, kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh jagal atau pembeli daging babi untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya."
"Namun kali ini sudah kami sampaikan dan tegaskan kepada semua agar bersama-sama menjaga situasi di peternakan. Karena, jika jagal memanfaatkan situasi ini, para peternak bisa saja ‘mati’ alias kapok untuk beternak," tegasnya.
Rapat Mendadak
Sementara itu, Komisi II DPRD Tabanan menggelar rapat kerja mendadak dengan Dinas Pertanian Tabanan untuk menyikapi permasalahan babi mati secara mendadak dalam sebulan belakangan ini di Tabanan, Jumat (31/1/2020).
Hingga Kamis (30/1/2020) jumlah babi mati secara mendadak di Tabanan mencapai 537 ekor.
Jumlah tersebut tersebar di lima kecamatan dari total jumlah populasi babi mencapai 75 ribu lebih.
Semua permasalahan dibahas dalam rapat kerja ini yang intinya meminta pihak pemerintah agar segera menangani agar kasus ini bisa diselesaikan.
Namun, pihak eksekutif justru menyatakan kekurangan obat desinfektan untuk kandang babi di Tabanan.
Dinas Pertanian hanya mendapat jatah 36 liter desinfektan.
Jumlah tersebut sangat jauh dari kebutuhan untuk melakukan penyemprotan 74 ribu babi yang masih hidup di Tabanan.
DPRD kemudian meminta Dinas Pertanian untuk mengusulkan kembali pengadaan desinfektan.
Dinas Pertanian kemudian mengusulkan sebanyak 1.200 liter desinfektan untuk disebar ke semua peternakan yang ada di Tabanan.
Anggaran keseluruhan yang diusulkan senilai Rp 234 juta lebih, dan khusus untuk pengadaan desinfektan senilai Rp 183 juta.
Baca Juga:Catatan Harian Seorang Warga Wuhan:
Sedangkan sisanya digunakan untuk operasional petugas.
Namun, usulan tersebut masih sebatas usulan, mereka harus berjuang untuk memperoleh jumlah pengadaan sesuai usulan.
Artinya, Dinas Pertanian belum bisa memastikan berapa liter desinfektan yang akan disetujui oleh Pemkab Tabanan.
"Ini serangkaian dengan banyaknya laporan dari warga terkait peristiwa babi mati mendadak dalam sebulan belakangan ini."
"Sehingga kami gelar rapat kerja untuk mengetahui langkah apa saja yang dilakukan Dinas Pertanian terkait peristiwa ini yang juga diisukan karena penyakit demam babi (ASF)," ujar Ketua Komisi II DPRD Tabanan, I Wayan Lara, Jumat (31/1/2020).
Dia melanjutkan, dari Distan juga sudah menyampaikan sesuai data yang dihimpun sudah ada 500 ekor lebih babi mati secara mendadak.
Cirinya semua hampir sama, namun masih belum bisa memastikan apa penyebabnya.
"Distan juga sudah menyampaikan sudah melakukan beberapa langkah seperti sosialisasi kepada semua peternak. Karena diduga penyebabnya karena kurangnya peternak menjaga kebersihan kandang babinya," ungkapnya.
Politikus asal Kecamatan Kerambitan ini menyampaikan, selain sosialisasi Distan juga berencana melakukan penyebaran obat desinfektan ke semua peternak.
Namun, jumlah yang diperoleh pada pengadaan bulan April mendatang tidak mencukupi.
Sehingga dari dewan langsung meminta untuk mengusulkan ke pimpinan daerah dalam hal ini Bupati Tabanan untuk penambahan desinfektan.
"Kami sudah sampaikan juga ke pimpinan di DPRD dan juga di eksekutif agar segera bisa dilaksanakan. Karena ini memerlukan langkah yang cepat agar segera bisa teratasi."
"Apalagi beberapa minggu ke depan, di Bali akan ada perayaan Hari Raya Galungan, kami akan kawal agar segera mendapat prioritas," tandasnya.
Kepala Dinas Pertanian Tabanan, I Nyoman Budana didampingi Kabid Peternakan, I Wayan Suamba menyatakan, akan menambah pengadaan desinfektan sebanyak 1.200 liter dengan anggaran total sebanyak Rp 234 juta lebih.
Jumlah tersebut nantinya akan digunakan untuk melakukan pencegahan 74 ribu ekor lebih babi yang ada di Tabanan.
Budana menyatakan, pengadaan desinfektan yang semula akan dilakukan bulan April mendatang terpaksa akan dipercepat.
Selain dipercepat jumlahnya juga akan ditambah. Paling tidak awal februari atau pekan depan sudah ada. Sehingga segera bisa disebar ke semua peternak.
"Sesuai arahan dari dewan, kami akan kembali usulkan 1.200 liter desinfektan untuk pencegahan di setiap peternak," ujar Budana.
Budana menyebutkan, populasi babi di seluruh Tabanan sebanyak 75 ribu lebih. Dan yang terdata mengalami mati secara mendadak sebanyak 537 ekor.
Sehingga total babi yang masih hidup di Tabanan sebanyak 74 ribu lebih. Dari jumlah tersebut, dimiliki oleh 437 peternak yang memiliki lebih dari 10 ekor.
"Data per kemarin (Kamis), ada 527 ekor yang mati. Ciri-cirinya semua sama tapi kami tetap menunggu hasil pemeriksaan sampel yang dilakukan BB Veteriner Denpasar ke Medan," katanya.
Karena banyak babi mati mendadak, kata dia, sebagian peternak juga terpaksa menjual babi yang dalam keadaan sakit dengan harga dibawah rata-rata yakni Rp 20 ribu perkilogramnya.
Total data yang dihimpun, sudah ada 244 ekor babi yang dijual dalam keadaan kurang sehat.
"Itu sebenarnya tidak boleh, padahal kami sudah sebutkan dalam surat imbauan yang disebar ke kecamatan dan semua desa yang ada agar tidak menjual babi dalam keadaan kondisi kurang sehat."
Namun masih saja ada yang menjualnya," dalihnya.
Sementara Suamba menambahkan, untuk 1 liter desinfektan diperuntukan untuk 100 ekor babi.
Jadi dengan tambahan 1.200 liter tersebut akan mampu mengcover wilayah terutama yang mengalami babi mati mendadak.
Disinggung mengenai adanya bangkai babi yang dibuang ke aliran sungai, Suamba untuk sementara tak berkomentar banyak.
Ia hanya menyarankan untuk peternak seluruhnya agar menanam setiap babi yang mati.
Namun ia juga tak bisa berbuat banyak, karena dengan peristiwa ini banyak peternak yang panik hingga stres.
"Mungkin karena kondisi peternaknya juga, jadi kami hanya bisa menyarankan agar menanam setiap babi yang mati," sarannya. (*)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judulPeternak Tuntut Hasil Lab untuk Banyaknya Babi Mati di Bali, Pastikan Virus ASF atau Bukan