Find Us On Social Media :

Bolehkah Kita Menjual Barang Jaminan Jika Peminjam Uang Tak Kunjung Melunasi Utangnya?

By Ade Sulaeman, Jumat, 30 Maret 2018 | 14:30 WIB

Jika  sudah  lewat  waktu  yang  ditentukan  itu,  sedangkan  orang  yang  kalah  itu  belum  juga memenuhi  keputusan  itu,  atau  jika  orang  itu,  sesudah  dipanggil  dengan  sah,  tidak  juga menghadap,  maka  ketua,  karena  jabatannya,  akan  memberi  perintah  dengan  surat,  supaya disita  sekian  barang  bergerak  dan  jika  yang  demikian  tidak  ada  atau  ternyata  tiada  cukup, sekian barang tak bergerak kepunyaan orang yang kalah itu, sampai dianggap cukup menjadi pengganti  jumlah  uang  tersebut  dalam  keputusan  itu dan  semua  biaya  untuk  melaksanakan keputusan itu

Setelah barang tersebut disita oleh Pengadilan, maka ibu dapat mengajukan supaya pengadilan menjual jaminan tersebut melalui mekanisme lelang, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 200 ayat (1) HIR, menyebutkan:

Penjualan  barang  sitaan  dilakukan  dengan  perantaraan  kantor  lelang  atau,  menurut pertimbangan  ketua  atas  keadaan,  oleh  juru  sita  itu  atau  orang  yang  cakap  dan  dapat dipercaya,  ditunjuk  oleh  ketua  dan  tinggal  di  tempat  penjualan  itu  atau  di  sekitar  tempat  itu

Apabila ternyata dahulu, pada saat awal terjadinya perikatan hutang-piutang antara ibu dengan teman ibu telah melibatkan lembaga fidusia, yang memberikan hak fidusia kepada ibu sebagaimana diatur dalam UU 42/1999 atas satu buah televisi 29 inch merk Samsung, maka setelah teman ibu tidak dapat memenuhi kewajibannya sampai dengan waktu yang ditentukan oleh ibu dengan teman ibu, maka ibu berhak untuk langsung melakukan pelelangan terhadap satu buah televise 29 inchi merk Samsung tersebut melalui balai lelang Negara maupun balai lelang swasta, tanpa harus mengajukan gugatan perdata terlebih dahulu. Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf a dan huruf b No. 42/1999, menyebutkan:

Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a.      Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh Penerima Fidusia;

b.      Penjualan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia atas kekuasaan Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan

Dan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999, menyebutkan:

Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Namun, ibu dapat menjual satu buah televise 29 inchi merk Samsung tersebut tanpa melalui mekanisme lelang sebagaimana kami jelaskan di atas, jika antara ibu dan teman ibu menyepakatinya. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) huruf c UU 42/1999, menyebutkan:

Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

c.       Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak

Apabila ibu tidak mematuhi peraturan perundang-undangan sebagaimana kami jelaskan di atas, dimana ibu cenderung bertindak main hakim sendiri dengan menjual secara sepihak barang jaminan tersebut, maka ibu dapat dipidana, dengan dugaan melakukan tindak pidana penggelapan, sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang isinya sebagai berikut:

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah

Disamping ketentuan Pasal 372 KUHP di atas, Mahkamah Agung sampai dengan saat ini, telah mengakui perbuatan yang demikian sebagai perbuatan pidana melalui Yurispridensi Mahkamah Agung No. 618 K/Pid/1984 tanggal 17 April 1985, yang kaidah hukumnya menyebutkan: