Find Us On Social Media :

Ketika Pilot Kamikaze Ciut Melaksanakan Misi Bunuh Diri karena Lebih Mencintai Kehidupan dan Hatinya

By Moh Habib Asyhad, Rabu, 28 Maret 2018 | 18:15 WIB

Dari Kyushu para penerbang kamikaze akan menuju Okinawa, menempuh jalur udara di atas laut selama 2,5 jam.

Selama penerbangan, pesawat kamikaze akan mendapat tantangan tersendiri dari pesawat tempur Sekutu yang rutin terbang patroli.

Sebelum sampai di atas perairan Okinawa, pesawat kamikaze akan melintasi pulau Amani yang telah dikuasai Sekutu.

Jadi jika ada pesawat kamikaze yang tertembak dan bermaksud melarikan diri, hanya ada dua pilihan yaitu mendarat di laut atau balik ke Kyushu sambil terus diburu oleh para fighter Sekutu.

Hamazono yang terbang besama navigator sekaligus rear gunner yang belum berpengalaman, Nakajima (19 tahun), merasa mendapat surprise waktu mendarat di Kokubu Air Base, Kyushu.

Tiba di kawasan Kokubu berarti pulang ke kampung halamannya sendiri.

(Baca juga: Didoktrin Tidak Perlu Percaya Tuhan, Pasukan SS Nazi Menjadi Pasukan Paling Brutal dan Kejam di Dunia)

Menyadari bahwa hanya dalam hitungan hari dirinya akan segera meninggalkan pemandangan kampung halaman yang bergunung-gunung dan memiliki persawahan yang subur untuk selamanya, peasaan Hamazono benar-benar tercabik-cabik.

Hari-hari menjelang pelaksanaan terbang kamikaze pun terasa seperti menghitung hari untuk menjalani hukuman mati.

Tepat pada 6 April pukul 14.00, Hamazono bersama Nakajima serta flight kamikaze lainnya bersiap lepas landas dari pangkalan Kokubu untuk melaksanakan misi kamikaze.

Sebelum terbang, Hamazono mengecek terlebih dahulu pesawat pembom Aichi yang membawa bom seberat 250 kg di bawah fuselage pesawat dan dua bom tambahan seberat 60 kg di masing-masing sayap.

Dengan tanki bahan bakar diisi penuh dan lima bom yang diangkutnya, agar bisa take off secara mulus Aichi harus digeber mesinnya maksimal. Berkat pengalaman terbang tempurnya, Aichi berhasil lepas landas dan tak lama kemudian posisi terbangnya sudah berada di ketinggian 200 meter.

Hamazono sengaja mempertahankan posisi terbangnya pada ketinggian 200 meter dan berusaha menikmati pemandangan di bawahnya.

Ketika terbang di atas Semenanjung Satsuma, pinggiran Kyushu, perasaan Hamazono kembali terkesiap karena wilayah di bawahnya merupakan tempat bermainnya semasa kecil.

(Baca juga: Kisah Tomoe Gozen, Samurai Wanita Terkuat dalam Sejarah Jepang yang Dianggap Setara dengan 100 Tentara)

Hamparan sawah, gedung Sekolah Menengah Pertama dan lapangan yang dulu menjadi tempatnya bermain terlihat sangat jelas. Bahkan secara imajinatif, Hamazono merasa kepala sekolah SMP sedang berdiri dan melihat pesawatnya.

Hawa dingin terasa mengalir di dalam tubuh Hamazono disusul bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri karena ia sadar tak lama lagi akan meninggalkan semua kenangan indah itu selamanya.

Ketika terbang melintas di atas kaki Gunung Kaimondake, gunung api yang masih satu barisan dengan gunung yang sangat dihormati di Jepang, Gunung Fuji, Hamazono mengangkat tangannya untuk memberi hormat.

Beberapa menit kemudian pesawat Aichi mulai melintasi Semenanjung Satsuma dan memasuki lautan Pasifik. Kini pusat perhatian Hamazono dan navigator Nakajima hanyalah pada misi tempur yang akan segera menuntaskan tugas mulia sekaligus nyawanya.

Tangan Hamazono tergetar ketika mulai melepas panel pengaman kelima bom dan laju pesawat terus melesat menuju perairan Okinawa.

Cuaca di atas Pasifik yang sedang memburuk menjadi berkah sendiri bagi flight kamikaze karena bisa terlindung dari sergapan pesawat Corsair Sekutu.

Hamazono bahkan tidak bisa melihat satu dari tiga pesawat kamikaze yang terbang bersamanya karena terhalang kabut dan awan tebal.

(Baca juga: Sakit Disentri Justru Membuat Pilot yang Pernah Rontokkan Pesawat Sekutu di Indonesia Ini Selamat dari Perang)