Find Us On Social Media :

Setahun Tsunami Banten: Peneliti Jerman Berhasil Ungkap Tanda Sebelum Gunung Anak Krakatau Meletus, tapi Vulkanolog Indonesia Meragukannya dan Sebut Ahli-ahli Indonesia Lebih Jago

By Ade S, Senin, 23 Desember 2019 | 18:47 WIB

Semburan anak gunung Krakatau terfoto

Intisari-Online.com - Sabtu (22 Desember 2018) sekitar pukul 9 malam, bencana tsunami menerjang pesisir Banten dan Lampung.

Tsunami ini sendiri dipicu oleh letusan Gunung Anak Krakatau yang berada di Selat Sunda.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencata hingga Senin (31/12/2018) menyebut bahwa korban meninggal dunia mencapai 437 orang.

Selain korban meninggal, tercatat 14.059 orang luka-luka, 16 orang hilang, dan 33.721 mengungsi.

Baca Juga: Pernah Terjadi Selama Berjam-jam Setelah Letusan Krakatau 1883, Kini Fenomena Langit Merah Kembali Terjadi di Jambi, Pertanda Apa?

Bencana ini sendiri kembali mengingatkan masyarakat Indonesia, khususnya yang berada di dekat Selat Sunda akan bahaya yang tersimpan di dalam Gunung Anak Krakatau.

Sebab, pada 26-27 Agustus 1883, Gunung Krakatau ('induk' dari Gunung Anak Krakatau) juga pernah meletus dengan sangat dahsyat, dan memicu tsunami yang tak kalah dahsyatnya.

Sejarah 'menakutkan' inilah yang memicu tim peneliti dari Jerman menyelidiki Gunung Anak Krakatau hingga mereka menemukan tanda sebelum GAK runtuh dan memicu tsunami.

Tapi, peneliti Indonesia justru meragukan dan menyebut bahwa ahli-ahli Indonesia lebih jago. Kok, bisa?

Baca Juga: Menggali Tenggelamnya Atlantis: Kunci Jawaban di Gunung Krakatau dan Teori Waktu yang Bertentangan

Ya, awal Oktober ini, tim peneliti dari Jerman mengeluarkan hasil riset tentang Gunung Anak Krakatau (GAK) di Selat Sunda, Indonesia. Mereka mengklaim, telah menemukan tanda sebelum longsoran atau runtuhan GAK yang memicu tsunami pada 22 Desember 2018.

Dalam jurnal ilmiah yang terbit di Nature Communication, ahli vulkanologi Jerman ungkap beberapa sinyal yang dapat mendeteksi runtuhan gunung berapi. Temuan ini diharap dapat dimanfaatkan untuk peringatan dini gunung berapi lain di masa depan.

Jurnal tersebut menyebutkan, runtuhan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 telah memicu tsunami yang menewaskan 430 orang.

Meski begitu, ahli vulkanologi Indonesia Surono, memiliki pandangan lain.

Hasil penelitian

Tim penelitian Jerman yang dipimpin oleh Thomas Walter, ahli vulkanologi di GFZ melakukan analisis lewat data satelit, data seismik, dan gelombang bunyi.

Dilansir phys.org, Rabu (2/10/2019), data satelit yang digunakan Thomas dan timnya menunjukkan peningkatan suhu dan gerakan tanah di sisi barat daya, beberapa bulan sebelum bencana.

Sementara itu, data seismik dan gelombang bunyi melihat frekuensi rendah gempa bumi berkekuatan kecil, dua menit sebelum GAK lengser.

Baca Juga: Citra Satelit Tunjukkan Anak Krakatau 'Tumbuh' Kembali Pasca-Longsor

"Melalui Gunung Anak Krakatau, kami mengamati untuk pertama kalinya, bagaimana erupsi vulkanik terjadi dan tanda bahaya sebelumnya," ujar Thomas.

"Kami menggunakan serangkaian metode yang sangat luas, dari pengamatan satelit hingga data seismik di darat, infrasonik data drone, pengukuran suhu, hingga analisis kimia produk erupsi," kata Thomas Walter.

Thomas mengklaim, data setelah tsunami memungkinkan ahli menganalisis peristiwa serupa di lokasi berbeda. Dengan kata lain, data ini dianggap berguna untuk menyusun sistem peringatan dini bencana.

Tanggapan ahli vulkanologi Indonesia

Kompas.com menghubungi ahli vulkanologi Surono dan meminta pendapatnya terhadap temuan baru tersebut. Secara spesifik, kami juga bertanya apakah temuan itu berguna sebagai masukan untuk sistem peringatan dini bencana.

Surono menyangsikan adanya manfaat tersebut. Pasalnya, menurut dia, tidak ada yang bisa benar-benar memprediksi tanda-tanda sebuah letusan, longsor, tsunami, dan bencana alam lainnya.

"Memangnya (peneliti) Jerman pernah pantau aktivitas gunung api atau daerah rawan longsor hingga (memberi) peringatan kapan akan terjadi letusan atau longsoran? Semua bisa bilang ini dan itu, setelah terjadi. Sebelumnya, memangnya bisa?" kata Surono lewat pesan teks, Jumat (5/10/2019).

Surono memberi contoh kejadian erupsi Gunung Kelud tahun 2007. Selama lebih dari 100 tahun sejak 1990, letusan Kelud selalu bersifat eksplosif. Namun dalam kejadian 2007, letusannya ternyata efusif, padahal tanda-tandanya mirip.

Baca Juga: Ngeri! Puncak Gunung Anak Krakatau Hilang Serta Air Laut Panas dan Berwarna Oranye, Beginilah Penampakan Terbarunya

"Semua tanda-tanda (jelang letusan 2007) sama seperti jelang letusan eksplosif 1990. Ketahuan (begitu) dan semua ngomong bla bla bla (soal) penyebab letusan efusif setelah itu terjadi," ungkapnya.

Selain itu, peringatan dini tsunami yang dikeluarkan BMKG hanya berdasarkan ciri khusus sebuah gempa, yakni gempa di laut dengan kekuatan lebih dari M 5,0 dan kedalaman kurang dari 10 kilometer.

Sejauh pengamatan Surono, sulit memastikan apakah gejala terkait GAK adalah pertanda runtuhan atau akvitas vulkanik.

"Data GAK sulit untuk dibedakan, itu aktivitas vulkanik atau tanda-tanda (akan) longsor," jelasnya.

Sebagai ahli vulkanologi, Surono berpengalaman mengamati aktivitas gunung api dan gerakan tanah longsor. Menurut dia, sulit untuk benar-benar tahu kapan dan berapa volume longsor yang akan terjadi.

Baginya, yang terpenting adalah memberi keputusan yang tepat bagi masyarakat di sekitar lokasi bakal bencana.

"Ketika jelas ada gerakan (tanah), segera putuskan untuk mengungsikan warga. Jika tidak ada longor, syukur. Saat terjadi longsor pun masyarakat aman (karena) sudah mengungsi," tegasnya.

Masih menurut Surono, untuk kasus GAK, ketika aktivitas vulkanik gunung meningkat, temperatur di laut pasti naik.

Selain temperatur, tubuh GAK juga akan mengembung atau bergetar, yang disebut deformasi.

Baca Juga: Retakan Baru di Gunung Anak Krakatau Ditemukan, BMKG Imbau Masyarakat Waspada Tsunami

Ketika deformasi terjadi, banyak jenis gempa terekam. Misalnya gempa frekuensi rendah, gempa dangkal, gempa dalam, atau gempa hobrid.

"Walau kita tahu GAK rawan longsor, apa hal di atas itu bisa memastikan tanda-tanda akan longsor? Saya enggak percaya pada saat real time, ahli bisa bedakan, 'Oh ini tanda akan longsor (...), bukan tanda aktivitas vulkanik,'" ujar Surono.

"Tanpa mengurangi rasa hormat, masalah krisis aktivitas gunung api dan longsor, saya masih jagokan ahli-ahli Indonesia," tukasnya.

 

(Gloria Setyvani Putri)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ahli Jerman Pelajari Hal Baru Soal Anak Krakatau, Apa Kata Surono?".

Baca Juga: PVMBG: Tinggi Gunung Anak Krakatau 110 Meter dari Permukaan Air Laut, Ini Bahayanya