Find Us On Social Media :

Perhatian untuk Pencari Sekolah di Tahun Depan, Ini Rupanya 3 Alasan Mendikbud Nadiem Pertahankan Sistem Zonasi di PPDB 2020

By K. Tatik Wardayati, Selasa, 17 Desember 2019 | 12:00 WIB

Nadiem Makarim menjelaskan 'Merdeka Belajar'

Intisari-Online.com – Di pertengahan tahun 2019 ini, kita tahu banyak orangtua murid yang disibukkan dengan sistem zonasi penerimaan murid baru.

Begitu banyaknya orangtua yang memprotes sistem tersebut karena sistem zonasi membuat mereka tidak mendapatkan sekolah yang menjadi favorit mereka.

Setelahnya, para orangtua berharap agar sistem zonasi menjadi bahan evaluasi untuk penerimaan murid baru di masa mendatang.

Ternyata, Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang ditandatangani Mendikbud Nadiem Makarim pada 10 Desember 2019 memastikan PPDB 2020 tetap menggunakan sistem zonasi.

Baca Juga: Bidang Pendidikan Punya Anggaran Rp500 Triliun, Tapi Kok Nadiem Mengaku Hanya Punya Anggaran Rp75 Triliun? Lalu Sisanya Dikelola Siapa?

Namun, dalam peluncuran empat program pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar” (11/12/2019), Mendikbud menyampaikan penerapan PPDB 2020 akan lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas pendidikan di berbagai daerah.

“ Zonasi sangat penting dan kami mendukung penuh inisiatif zonasi. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu kami berdiskusi intensif dengan guru, kepala sekolah, pengawas, dan seluruh stakeholder pendidikan, baik di dalam maupun luar negeri, supaya sistem zonasi dapat kita rancang lebih baik lagi,” ujar Mendikbud seperti dilansir dari laman resmi Kemendikbud.

Lalu apa yang mendorong Mendikbud Nadiem Makarim mempertahankan sistem zonasi dalam PPDB 2020? Berikut beberapa ulasannya:

1. Akomodasi siswa prestasi dan tidak mampu

Baca Juga: Meski Bukan untuk Tahun 2020, Mendikbud Nadiem Makarim Tetap Akan Hapus Ujian Nasional, Ini Penggantinya

Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen, sedangkan untuk jalur prestasi atau sisa 0-30 persen lainnya disesuaikan dengan kondisi daerah.

“Kebijakan zonasi esensinya adalah adanya (jalur) afirmasi untuk siswa dan keluarga pemegang KIP yang tingkat ekonominya masih rendah, serta bagi yang menginginkan (adanya) peningkatan jalur prestasi sampai maksimal 30 persen diperbolehkan,” kata Mendikbud.

Terbitnya Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, kata Mendikbud, salah satunya mengakomodasi aspirasi orangtua yang ingin prestasi anaknya lebih dihargai dalam menentukan pilihan sekolah terbaik.

“Banyak ibu yang komplain anaknya sudah belajar keras untuk mendapat hasil yang diinginkan.

Baca Juga: Mengaku Sebagai Satu-satunya Generasi Milenial Dalam Kabinet Jokowi, Ini Janji Nadiem Makarim Sebagai Mendikbud

Jadi (aturan) ini adalah kompromi di antara kebutuhan pemerataan pendidikan bagi semua jenjang pendidikan sehingga kita bisa mengakses sekolah yang baik dan kompromi bagi orangtua yang sudah kerja keras untuk (anaknya) mencapai prestasi di kelas maupun memenangkan lomba-lomba di luar sekolah, di mana mereka bisa mendapatkan pilihan bersekolah di sekolah yang diinginkan,” ungkapnya pada sesi jumpa pers.

2. Memberikan fleksibilitas pada daerah

Mendikbud mengatakan bahwa kebijakan ini tidak mungkin terealisasi tanpa adanya dukungan dari seluruh jajaran unit pelaksana teknis (UPT) Kemendikbud, dan pemerintah daerah, serta para pelaku pendidikan lainnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah daerah dan pusat dapat bergerak bersama dalam memeratakan akses dan kualitas pendidikan.

Baca Juga: Menteri Pendidikan Nadiem Makarim Hapus Ujian Nasional, Jusuf Kalla Sebut Dampaknya Tidak Sepele dan Hal Ini Akan Terjadi Jika UN Dihapus

“Kemendikbud tidak bisa melakukan ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi,” katanya saat mengenalkan kebijakan “Merdeka Belajar”.

3. Pemerataan kuantitas dan kualitas guru

Zonasi tidak hanya mengatur pemerataan kualitas sekolah dan peserta didik, tetapi juga menitikberatkan pada peran dan komposisi guru di suatu daerah.

Mendikbud mengingatkan, kebijakan ini harus diselaraskan dengan pemerataan kuantitas dan kualitas guru di seluruh daerah.

Baca Juga: Rahasia Kualitas Guru di Finlandia Bukan Hanya Soal Intelegensi, Tapi Bakat dan Dedikasi

“Pemerataan tidak cukup hanya dengan zonasi. Dampak yang lebih besar lagi adalah pemerataan kuantitas dan kualitas guru. Inilah yang banyak manfaatnya terhadap pemerataan pendidikan,” kata Mendikbud.

Tercapainya pemerataan kualitas pendidikan adalah tugas bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah, termasuk segenap pemangku kepentingan di dunia pendidikan.

Nadiem berharap, melalui pertemuan ini, para pimpinan UPT Kemendikbud mencapai kata sepakat untuk mendukung terlaksananya zonasi hingga menyentuh kepada para pendidik dan tenaga kependidikan di daerah.

“Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Kalau ada satu sekolah yang banyak guru berkumpul di situ, lakukan distribusi yang lebih adil bagi siswa di dalam sekolah,” katanya.

Baca Juga: Kecewa Sistem Zonasi PPDB, Siswa Berprestasi Asal Pekalongan Ini Bakar Belasan Piagamnya

Di akhir arahannya, Mendikbud mengajak para peserta mulai bergerak memetakan kuantitas guru di sekolah terlebih dahulu.

“Itulah yang saya butuhkan dukungan bapak dan ibu semua untuk melakukan evaluasi paling tidak (terhadap) kuantitas guru. Mohon jadikan ini sebagai prioritas nomor satu. Bagi sekolah yang kekurangan guru, lakukan distribusi yang baik demi siswa kita,” katanya. (Yohanes Enggar Harususilo) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "3 Alasan Mendikbud Nadiem Pertahankan Sistem Zonasi di PPDB 2020"

Baca Juga: Kebijakan Terkait Rotasi, Mendikbud Sebut Guru Bertugas Maksimum 6 Tahun di Satu Sekolah