Penulis
Intisari-Online.com -Pemecatan I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra dari posisi Direktur Utama Garuda Indonesia terus menjadi sorotan.
Seperti diketahui, pria yang akrab disapa Ari Ashkara tersebut diberhentikan oleh Menteri BUMN Erick Tohir setelah diketahui menyelundupkan sepeda motor Harley Davidson melalui pesawat baru Garuda Indonesia.
Tidak berselang lama, setelah kabar pemecatan tersebut, mulai muncul kabar-kabar tak sedap terkait kehidupan Ari Ashkara.
Salah satu yang paling menjadi sorotan adalah mengenai kabar keberadaan wanita simpanan Ari yangviralmelalui cuitan sebuah akun anonim di media sosial Twitter.
Wanita simpanan yangberprofesi sebagai pramugari tersebutdikenal memiliki kuasa sangat besar di Garuda Indonesia.
Sang gundik mampu menentukan kebijakan-kebijakan Garuda yang menguntungkan dirinya, bahkan bisa jadi dia menentukan karier seseorang.
Nah, kisah tentang seorang gundik yang memiliki kuasa besar, bak istri sah juga ternyata pernah terjadi di zamanRaja Louis XV dari Prancis.
Jeanne Antoinette Poison atau yang lebih dikenal sebagai Madame de Pompadour memiliki pengaruh luar biasa dalam berbagai aspek kerajaaan, termasuk politik seperti diuraikan berikut ini.
Kisah Raja Louis XV dengan kekasih hatinya yang memang sudah diramalkan sejak wanita itu berumur belia akan menjadi pendamping raja.
Ketika tiba kembali di Galerie des Glaces, ia mengeluarkan seruan kaget. Sementara itu pasangannya cepat-cepat menghilang. Mengapa ia terkejut?
Raja tampak sedang bercakap-cakap dengan Madame d'Etioles! Raja yang sudah melepaskan penyamarannya meminta Madame d'Etioles untuk membuka kedoknya juga. Jadi dengan siapa tadi ia bercintaan di kamar kosong?
Raja bertanya kepada Madame d'Etioles apakah Madame d'Etioles akan hadir dalam pesta dansa besok malam di L'Hotel de Ville? Jeanne-Antoinette tidak menjawab, tapi sambil tersenyum pergi meninggalkan raja sambil menjatuhkan saputangannya.
Saputangan renda. Raja memungutnya dan melemparkan kepada yang empunya. Lantas saja desas-desus disampaikan dari mulut ke mulut: "Saputangannya dicampakkan ...."
Keesokan harinya, raja datang incognito ke l'Hotel de Ville. Ia tiba mengenakan domino, yaitu mantel longgar dengan penutup wajah bagian atas.
Junjungan Perancis ini hanya ditemani duc d'Ayen yang mengenakan pakaian penyamaran sama seperti raja. Raja segera menemukan Madame d'Etioles yang sudah melepaskan kedoknya.
Wanita ini juga mengenakan domino hitam yang lebih menonjolkan keindahan kulitnya. Bagi seorang raja, dengan mudah saja ada orang yang akan meminjamkan ruangan.
Apakah hubungan antara raja dan Madame d'Etioles hanya akan berakhir dengan pertemuan biasa di antara dua gelas champagne saja?
Jeanne-Antoinette seorang wanita berkepala dingin. Ia mengijinkan beberapa keinginan raja, tapi tidak lebih. Ketika keluar dari tempat itu sambil menggandeng Madame d'Etioles, raja yang masih tetap diiringi due d'Ayen bertanya kepada wanita di sisinya:
“Ke mana saya harus mengantarkan Anda?”
Jeanne-Antoinette tidak menjawab. Mula-mula raja mengira akan mendapat jawaban: "Ke mana saja Anda mau". Tapi nyatanya wanita itu berkata:“Ke rumah ibu saya.“
Ini jawaban yang tidak biasa. Louis XV tersenyum. Ia merasa senang. Ia dengan kendaraan sewaan membawa seorang wanita biasa ke rumah ibunya.
Rumah seorang wanita bernama Ny. Poisson, anak seorang tukang daging!
Raja duduk lebih rapat lagi pada wanita yang ditaklukkannya ini. Cuma bibir, Paduka Yang Mulia, cuma di bibir. Dan di dada. Duc d'Ayen melihat adegan ini dari kaca jendela.
Tiba-tiba kendaraan berhenti di sebuah perempatan. Polisi tidak mengijinkannya lewat. "Beri saja satu louis pada kusir", perintah raja. "la akan lewat".
“Satu louis?” seru d'Ayen. Paduka harus hati-hati. Besok polisi akan mencari, mengetahui ke mana kita pergi dan mengetahui segala-galanya. Cukup 6 livre.
Kusir mencambuk kudanya dan kendaraanpun lewat dengan paksa, membawa Louis XV ke rumah ibu wanita di sebelahnya.
Ternyata "dingin"
Beberapa hari kemudian Jeanne-Antoinette berhasil mencapai cita-citanya. Tentu saja suaminya menangis, mengancam dan semaput. Tapi Monsieur de Tournehem berhasil menenangkannya.
Berkat paman yang "bijaksana" ini, Monsieur Le Normant d'Etioles tidak tampak pergi ke istana, berlainan dengan marquis de Montespan, yang "menuntut keadilan" ke istana ketika isterinya diambil oleh Louis XIV.
Le Normant d'Etioles dengan sedih tapi tanpa membantah menerima perintah berpisah dengan isterinya tanggal 15 Juni 1746. Isterinya mendapat nama manis dari raja, marquise de Pompadour.
Tanggal 14 September tahun itu, marquise baru harus menjalankan upacara perkenalan di keraton.
Madame de Pompadour dengan pakaian brokatnya yang berat berlutut tiga kali di hadapan raja yang memandangnya dengan muka merah, di hadapan ratu yang menerimanya dengan bersahabat dan di depan Putera Mahkota yang menahan diri.
Sore itu juga bekas nona Poisson ini mengirimkan uang 600 livre kepada Madame Lebon yang meramalkan ia akan menjadi kekasih raja.
Ternyata Madame de Pompadour dingin sekali. Ia memaksa diri makan makanan-makanan "panas", termasuk makanan berempah-rempah supaya lebih bergairah, tapi sia-sia saja.
Malah perutnya tidak tahan. Ia khawatir hal ini akan membuat raja berhenti menyukainya. Sambil menangis ia menyatakan kekhawatirannya kepada sahabatnya, Madame de Brancas.
“Raja akan bosan pada saya dan mengambil kekasih baru,” katanya.
“Kau tidak bisa mengalanginya,” jawab Madame de Brancas. “Percuma saja kau makan makanan yang tidak cocok itu. Kau bisa mati. Lebih baik rebut hati raja dengan kelembutanmu dan tetaplah penuh perhatian. Raja yang terbiasa menerimanya akan terikat terus kepadamu.”
Selama bertahun-tahun kalau raja naik "ke appartment atas", seorang wanita yang tampaknya selalu baru tapi wajahnya sama, menyambutnya.
Wanita yang sangat ia kenal, tapi rasanya seperti berganti-ganti seratus kali. Kadang-kadang pakaiannya seperti tukang kebun, kadang-kadang seperti wanita dalam harem sultan, kadang-kadang seperti wanita bangsawan yang agung, kadang-kadang seperti wanita muda yang lincah dan periang.
Wanita itu, Madame de Pompadour bertemu banyak orang dan melihat banyak hal, sehingga kadang-kadang Louis XV jadi curiga sedikit.
Dengan kepandaiannya main musik dan melukis, dengan keanggunannya dan seni berbicaranya yang dipelajari dari Voltaire dan Fontenelle, "parvenue" ini mengalahkan penduduk Paris yang bangsawan.
Ia dilahirkan di lumpur tapi bisa menanjak hampir sampai ke tahta dan menyesuaikan diri dengan setiap situasi, luwes menghadapi pelbagai lingkungan, mampu menjadi kekasih, artis, wanita politik dan bahkan ibu rumah tangga yang jujur, tapi ia selalu wanita yang berusaha senang dan membuat orang lain senang.
Kalau ada berita kemenangan umpamanya, sesudah lapor kepada raja, orang bukan lapor pada ratu tapi malah pada Madame de Pompadour!
Ia tetap menjadi pelindung filsuf dan seniman seperti Voltaire dan Montesquieu. Voltaire berkat pengaruhnya diangkat menjadi penulis sejarah kerajaan dan dimasukkan ke Academie Franchise yang terkenal itu.
Seleranya yang baik tampak dari dekorasi di dalam tempat-tempat tinggalnya, terutama Hotel Bellevue dekat Saint-Cloud dan perluasan Hotel d'Evreux yang kini jadi istana Elysee itu.
Ia mempunyai "mania" yang sama dengan Louis XV dalam membangun gedung-gedung dan pertamanan. Ia juga ikut mendirikan Ecole Militaire tempat seorang kadet Korsika bernama Napoleon Bonaparte belajar beberapa tahun kemudian.
Pengaruhnya dalam politik mungkin terlalu dibesar-besarkan. Tapi memang ia tersangkut dalam pemberhentian dan pengangkatan menteri-menteri. Mengenai politik luarnegeri pengaruhnya terbatas.
Ia menaruh perhatian pribadi pada pembangunan pabrik barang pecah-belah Sevres yang terkenal itu dan berkat dia, adiknya yang bernama Abel Poisson diangkat menjadi pengawas dan membuktikan kemampuannya.
Abel Poisson kemudian diangkat menjadi marquis de Marigny tahun 1754.
Madame de Pompadour malu kalau adiknya terus bernama Monsieur Poisson. Tadinya ia ingin raja memberi gelar marquis de Vaudieres pada adiknya itu.
Lidah-lidah iseng lantas menyatakan bahwa sebaiknya M. Poisson ini diberi gelar "marquis d'avant-hier" saja. Bunyinya hampir sama tapi artinya "marquis kemarin dulu".
Madame Poisson yang menyiapkan puterinya untuk jadi kekasih raja sejak sang puteri masih kecil itu meninggal tidak lama setelah puterinya berhasil melaksanakan misi itu.
"Saya tidak ingin apa-apa lagi", katanya dengan puas sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.
Semua kecuali satu
Raja yang tidak tekun melaksanakan tugas-tugas kenegaraan bertambah enggan mengurusi pekerjaan. Madame de Pompadour tahu cara yang lebih menarik untuk melewatkan waktu. Di sisinya raja yang terkenal pemalu itu bisa tampak bebas dan gembira.
Louis XV mempunyai kepribadian yang kompleks. Menurut istilah jaman sekarang, ia kurang berasimilasi dengan pria lain.
Tidak jarang terjadi "kecelakaan", artinya ada wanita-wanita yang hamil oleh raja sehingga harus diatur agar jangan sampai menyusahkan atau memalukan. Madame de Pompadour bukan tidak tahu, ia bahkan ikut mengatur supaya raja tidak dipermalukan.
Raja tidak pernah melihat seorangpun dari anak-anak ini, kecuali yang kelak menjadi Abbe (imam) de Bourbon, dari puteri seorang gadis keluarga Romans. Madame de Pompadour merasa terpukul. Ia pergi ke Bois de Boulogne untuk melihatnya.
Ibu si bayi mengangkat anaknya dengan bangga seperti mengangkat bendera dan memanggilnya "Monseigneur". Terjadilah percakapan antara dua wanita.
“Bayi yang bagus sekali!”
“Ya, saya berpendapat demikian juga, walaupun saya ibunya.”
“Ayahnya tampan? Sangat tampan?”
“Sangat tampan, Anda akan sependapat dengan saya.”
"Saya mengenalnya, madame?”
“Rasanya tidak mungkin, madame.”
Marquise de Pompadour naik lagi ke keretanya sambil menarik napas panjang.
Walaupun hubungan fisik antara raja dan Madame de Pompadour hanya berlangsung dalam waktu 4 sampai 5 tahun, tapi sampai mati wanita itu tetap mendapat tempat dalam hati raja sebagai kawan dekat yang setia dan berpengaruh.
Musim semi tahun 1764, Madame de Pompadour jatuh sakit. Raja menulis kepada menantunya, Putera Mahkota Spanyol: "Kerisauan saya tidak juga berkurang. Saya mengaku bahwa harapan untuk sembuh kecil sekali.... Sudah hampir 20 tahun kami berkenalan dan bersahabat baik ...."
Suatu Selasa sore tanggal 17 April 1764, dari balkon kamar kerjanya di sayap kanan pertama istana Versailles, raja memandang iring-iringan jenazah Marquise de Pompadour.
Seratus imam, dan 80 anak memegang tempat lilin yang berat, mendahului peti jenazah yang dipikul 8 orang. Empatpuluh pelayan dengan pakaian berkabung dan 72 orang miskin mengiringinya ....
Louis XV yang dibasahi hujan tinggal di balkon sampai iring-iringan panjang itu lenyap. Dua butir air mata menggelinding di pipinya dan ia kedengaran berbisik:
“Cuma itulah yang bisa saya lakukan untuknya.” Tapi Louis XV cepat melupakannya. Salah seorang kekasihnya yang paling disenangi pada akhir hidupnya adalah Madame du Barry. Tapi pengaruhnya pada pemerintahan tidak sebesar Madame de Pompadour.
Atas permintaan Madame de Pompadour, cucu tukang daging ini dimakamkan di tempat pemakaman biara des Capucines. Biara itu sudah dibongkar dan di bekasnya dibuat jalan, rue de la Paix pada tahun 1806.
Madame de Pompadour tetap berada di dalam tanah tempat ia dikuburkan. Kalau anda ingin tahu, letaknya di bawah trotoar rue de la Paix, kira-kira di depan bangunan bernomer tiga (Andre Castelot, Historia –IntisariApril 1978).