Find Us On Social Media :

Takut Dengan Prasangka dan Merasa Tertolak, Begini Sulitnya Jadi Mantan Penderita Kusta di Jepang

By Maymunah Nasution, Rabu, 20 November 2019 | 11:30 WIB

Penyakit kusta menyerang kulit, sistem saraf perifer, selaput lendir pada saluran pernapasan atas, s

Intisari-online.com - Selama hampir 10 tahun dari 2009 sampai 2018, hampir 130 mantan penderita lepra atau kusta di 13 sanatorium milik pemerintah Jepang memutuskan untuk kembali ke fasilitas tersebut setelah sebelumnya kembali ke masyarakat.

Penyebab terjadinya kondisi ini adalah karena kurangnya institusi medis yang mampu merawat dengan baik mantan penderita lepra yang umur dan kesehatannya sudah menurun.

Penderita pun sulit untuk terbuka tentang pengalaman mereka dengan kondisi takut akan prasangka masyarakat dan diskriminasi yang mungkin terjadi.

Angka statistik menunjukkan 18 tahun semenjak pemerintah nasional memutuskan bahwa menkarantina penderita lepra adalah hal yang salah, penderita yang ingin keluar dari sanatorium merasa hidup di luar fasilitas untuk mendapatkan rasa tentram adalah sebuah kesulitan yang baru.

Baca Juga: Lagi-lagi Kalah dari Wajib Pajak di Pengadilan, Pemerintah Indonesia Sudah 'Kehilangan' Rp133 Triliun Sepanjang 2019, Penerimaan Pajak Ikut Melempem?

Tahun ini, 1016 mantan penderita lepra dengan umur 77 sudah kembali ke masyarakat.

Tetapi 1211 dengan umur rata-rata 86 masih hidup di 13 sanatorium yang tersebar di seluruh Jepang.

Selama 10 tahun, terdapat 10-20 orang yang masuk kembali ke sanatorium setiap tahunnya dan mencapai jumlah total 129.

Alasan mantan penderita lepra takut untuk kembali ke masyarakat adalah karena diskriminasi mendalam dan bias yang sudah mendarah daging di masyarakat.

Baca Juga: Sempat Viral Foto Mata Merah Karena Pembuluh Darah Pecah Akibat Main Ponsel Saat Tidur, Ini Fakta Sebenarnya

Sebuah survei di tahun 2016-2017 menunjukkan bahwa mantan pasien yang hidup di luar sanatorium 19.4% nya tidak mengatakan kepada siapapun tentang riwayat penyakit mereka, 52.8% menyembunyikan pengalaman mereka ketika anak mereka menikah, dan 34.2% masih merasakan prasangka dan diskriminasi yang berat.

Sementara 26.5% menyatakan mereka ingin kembali ke sanatorium sedangkan 39% tidak ingin kembali.

Survei lain mengatakan jika 34.8% responden khawatir mengenai ke mana mereka akan pergi saat usia dan kesehatan mereka menurun, membuat mereka kesulitan untuk hidup di rumah mereka sendiri sedangkan 23.9% merasa sulit untuk menyingkap penyakit lama saat menerima perawatan medis.

Tidak banyak fasilitas medis yang familiar dengan pasca-efek dari lepra karena kebanyakan mantan penderitanya memilih fasilitas medis yang sudah mengetahui bahwa mereka pernah menderita lepra, sebab menceritakan tentang pengalaman tersebut membuat mereka tidak nyaman.

Baca Juga: Zainal Abidin Domba Meninggal Dunia Karena Kanker Usus, Ini Kesalahan Menggoreng yang Dapat Jadi Pemicunya

Salah seorang dokter yang lama bekerja di Sanatorium di Prefektur Saitama, Masako Namisato, menceritakan, "Banyak dokter yang tegang hanya karena memikirkan pasca-efek dari lepra, tapi ini tidak berbeda jauh dengan bagaimana kita menyikapi gejala ikutan diabetes."

"Yang penting sekarang adalah mencapai sistem pengobatan yang membuat mantan penderita lepra nyaman untuk menceritakan riwayat mereka tanpa mengalami diskriminasi."

Seorang pengacara yang sering mengangkat topik lepra, Masayosi Naito mengatakan, "Dari para mantan penderita lepra, banyak yang memerlukan dukungan luas dari komunitas karena mereka terpaksa mengikuti operasi sterilisasi dan tidak memiliki anak untuk mengurusi mereka."

"Memikirkan urusan ini ditambah mencoba hidup damai merupakan tekanan besar."

Baca Juga: 2 Tahun Tempati Sebuah Rumah, Stop Kontak Ini Tak Pernah Bisa Digunakan, Rupanya Ada Rahasia Tersembunyi yang Bikin Pasangan Ini Dongkol