Djaduk Ferianto Berpulang: Ingin Mengawinkan Berbagai Unsur Seni dalam Sebuah Pagelaran

Mentari DP

Penulis

Djaduk Ferianto, seniman musik serba bisa asal Yogyakarta, meninggal dunia pada usia 55 tahun. Ia bertekad mengawinkan berbagai unsur seni.

Intisari-Online.com – Kabar duka datang dari kalangan seniman musik dengan berpulangnya seniman senior ini.

Djaduk Ferianto, seniman musik serba bisa asal Yogyakarta, meninggal dunia pada usia 55 tahun.

Hal itu dikabarkan kakaknya, seniman Butet Kertadjasa melalui akun Instagram-nya, @masbutet, Rabu (13/11/2019).

“RIP. Djaduk Ferianto,” tulis Butet seperti dikutip Kompas.com.

Baca Juga: Kabar Duka, Seniman Musik Djaduk Ferianto Meninggal Dunia pada Usia 55 Tahun

Ia mengunggah gambar tulisan “Sumangga Gusti” atau Silakan Tuhan berwarna putih pada latar belakang hitam.

Djaduk mengembuskan napas terakhir pada Rabu dini hari pukul 02.30.

Jenazah Djaduk akan disemayamkan di Padepokan seni Bagong Kusudiardjo di Yogyakarta pada Rabu siang.

Tentang Djaduk Ferianto, Majalah HAI pernah menuliskan profilnya Djaduk Ferianto Ingin Mengawinkan Berbagai Unsur Seni, yang dimuat pada edisi 47/XI – 1985.

Jangan tanya alat musik yang dikuasai, namun tanyalah alat musik yang tidak dikuasai. Kecuali musik, dunia teater, seni rupa juga digeluti.

Kesenian alternatif, itu maunya. Karena kemampuannya, ia sudah keliling Eropa. Dan saat ini, ia siap-siap berangkat ke Jerman Barat.

Filsafat hidupnya: mengalir bak air.

Punya bapak terkenal memang susah. Apalagi jika keterkenalan itu dikarenakan bidang yang kini juga digeluti si anak.

Setidaknya kayak itulah yang dirasakan Djaduk Ferianto. Djaduk, 21 tahun. adalah pemain musik, terutama yang berkaitan dengan musik gamelan.

Tapi, tunggu dulu. Sekalipun perangkat gamelan yang dimainkannya, musik garapan Djaduk tak bisa diidentikkan dengan umumnya irama karawitan.

Gong, kenong, saron, kendang, gender, dan seperangkat gamelan lainnya tidak dimainkannya secara pentatonis, tetapi ia juga memasukkan unsur-unsur lain.

Gitar, cymbal, timpani, dan alat musik diatonis diracik juga dalam garapan musiknya.

Bahkan kemudian ada botol, tutup kecap, lempengan pegas mobil, balon tiup, kain yang dicelup mmyak tanah sehingga menyuarakan gonggongan anjing karena disambung ke kaleng, dan lain-lain.

Sebutlah ia sebagai musik kreasi baru atau musik eksperimen.

Baca Juga: Tubuh Penuh Tato dan Sempat Dikira Mantan Yakuza, Inilah Cerita Seniman Tato hingga Akhirnya Hijrah Menjadi Muslim

Sebetapa pun seluruh musik diaransemen Djaduk — paling-paling dibantu satu dua nama lain — orang-orang sepertinya kurang rela untuk memberi acungan jempol pada musik kreasinya.

Orang-orang masih membayangkan nama besar bapaknya. Seolah-olah merupakan kerja yang wajar dan biasa-biasa saja sekalipun sesungguhnya hasil ciptanya bisa dibilang dahsyat.

Tapi, siapa sih bapaknya?

Namanya: Bagong Kusssudiardja, seniman serba bisa. Ya pelukis, ya penari sekaligus koreograf, ya juga peracik musik karawitan.

Bahkan boteh dibilang, sang bapak termasuk pelopor senilukis batik modern.

Kawinkan semua unsur

"Kalau diperhatikan benar, pasti terlihat perbedaannya", sergah Djaduk mengomentari pendapat yang menyamakan musik garapannya dengan garapan bapaknya.

Mungkin, untuk memilah perbedaan, itu urusan kritikus. Namun, nampaknya, Djaduk membuktikan ucapannya.

Pemanggungannya di Gedung Senisono dan pelataran depan Bentara Budaya bisa dijadikan bukti.

Di dua tempat ini, bersama-sama konconya ia membawa panji Kelompok Musik Wathathitha.

Ada unsur senirupa dalam pentasnya, di samping humor.

Dalam sebuah pentas, ketika kelompoknya melantunkan lagu akhir, tiba-tiba ia mengisyaratkan agar seluruh alat musik berhenti dimainkan. Begitu mendadak.

Sebagai gantinya, di panggung terpampang tulisan gede-gede "Lho". Penonton pun ribut. Lima menit kemudian tulisan ganti "Apa?". Penonton kembali riuh.

Beberapa saat muncut tulisan "Nah", dan musik serentak menghentak. Kini, penonton tepuk tangan.

"Partisipasi" penonton menjadi bagian dari musik dan pagelaran musiknya. Itu terjadi awal tahun 1981.

Baca Juga: Mengenang Kartunis Dwi Koen ‘Panji Koming’; Sampaikan Kritik pada Penguasa Melalui Humor yang Menggugat

Tahun1984, di Bentara Budaya (saat pentas dengan sejumlah pengamen) Djaduk Cs. melantunkan irama keroncong yang sudah kondang: Bengawan Solo.

Setelah dibuai pemodifikasian keroncong dan penikmat ikut menggumamkan liriknya, ia dan konco-konconya tak ikutan nyanyi.

Gantinya. di layar belakang, slide memproyeksikan baris-baris llrik yang tak terucap.

“Saya pengin mengawinkan sejumlah unsur kesenian,” ia beralasan.

Karena kemampuan berhumor dalam musik itu pula kemudian menjadikan Kelompok Rhezee (anggotanya siswa Sekolah Menengah Senirupa, sementara ia masih di bangku SMP) mampu menjagoi Festival Musik Humor canangan Lembaga Humor Indonesia yang didedengkoti Arwah Setiawan.

Pantomim

Penggabungan sejumlah unsur seni dalam satu pagelaran tidak berhenti sebagai sekedar niat. la telah membuktikan dalam beberapa pentasnya.

Kecuali, sedikitnya, dua contoh di atas, ia bersama-sama tokoh pantomim andalan Yogya (siapa tahu andalan Indonesia?) Jemek Supardi memanggungkan seri pantomim plus musik.

Jika selama ini musik pengiring pantomim model playback, pentas Djaduk-Jemek justru mengangkat musik sebagai bagian dan permaman sandiwara bisu alias pantomim itu.

Pentas pantomim dengan Jemek, November 1984, merupakan yang kedua. Pentas pertama dilakukan tahun 1982 dalam Festival Pantomim se-Kodya dan seprovinsi Daerah Istimwa Yogya.

Semuanya menempati urutan pertama. Tahun itu juga ia meraih gelar paling atas dalam festival tari dan musik.

Keseimbangan

"Teater, lewat pantomim, hanya untuk keseimbangan. Balance. Kecenderungan tetap pada tari dan musik,” tuturnya.

Bukan hanya teater (ia pernah main ketoprak dengan Sapta Mandala, Yogya) yang dijadikannya sebagai penyeimbang, tapi juga dunia senirupa, sebetapa pun ia kini tercatat sebagai mahasiswa tingkat satu Sekolah Tinggi Senirupa “ASRI" yang kini jadi Fakultas Senirupa Institut Seni Indonesia.

Baca Juga: Demi Lestarikan Budaya Sunda, Pasangan Pengantin Ini Hadirkan Mas Kawin yang Tak Biasa, Maknanya Sungguh Mendalam

Karena kiprahnya dalam musik dan tari itulah, semester awal1985, ia harus istirahat dari kuliahnya untuk kemudian memperkuat Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiardja pentas keliling Eropa.

Apa bukan karena ia anak (bungsu) nama besar pemimpin PLT? Sebetapa pun sahnya pertanyaan ini, namun di baliknya kelewat terasa adanya ketidakpercayaan pada potensi yang dimiliki Djaduk.

Belasan kaset karawitan untuk iringan tari produksi PLT dan atau Padepokan Seni Bagong K., sebetapa pun tak tertulis, nama Djaduk tercatat ikut mewarnainya.

Sebuah pementasan fragmen tari garapan Ida Wibowo yang digelarkan dalam Festival Penata Tari Muda 1983 di Taman Ismail Marzuki. Jakarta, garapan musiknya diserahkan Djaduk.

Tentu saja itu bukan dikarenakan Djaduk sebagai adik kandung Ida Wibowo, melainkan lantaran potensi yang dimilikinya memang menjanjikan.

Musik pawai

Kalau kita masih pengin bukti kepiawaiannya, bisa ditengok Pawai Lintas Sejarah dari kelompok tari Bagong di Monas 20 Mei. dan Pawai Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober, di Kemayoran.

Musik pengiring dan penggiringnya sedikit banyak dicampurtangani Djaduk.

“Tak cuma saya. Ada Murdiana, ada Mas Otok", jelasnya. Nama terakhir adalah kakak kandungnya yang juga punya kelompok musik Sempoe Grup.

Musik tarian Blek Dik Dot yang cukup populer, terutama di kalangan anak-anak, juga hasil garapannya. Belum lagi ketika ia meracik garapan musik untuk Pentas Ujian Tari mahasiswi Akademi Seni Tari Indonesia, Yogya. 15 Oktober.

Terlalu banyak untuk dirinci satu demi satu karya musiknya. Kelompok Musik Klenengan, Vokal Grup SSRI, Rhezee (baca: rese, udang lembut, bau keringat mereka kayak rese, kata siswi SMA Santa Maria), dan Wathathitha (sak-unine, "asal" bunyi) merupakan nama-nama kelompok musik yang (pernah) dimasukinya.

Baca Juga: Terkecil di Dunia! Seniman Ini Ciptakan Patung Penuh Filosofi, Tak Sembarang Orang Bisa Melihatnya

Ngintip main

Tapi, alat musik macam apa sih yang dikuasainya? Pertanyaan ini bisa dibalik menjadi: alat musik apa yang belum dikuasai?

Ini mengingat kelihaian Djaduk memainkan segala jenis alat musik, ya yang diatonis maupun yang pentatonis.

"Partitur Barat yang sulit kukuasai", ujarnya jujur. "Hanya rasalah yang membimbing selama ini. Tapi ini penting,” tambahnya.

Bisa dimaklumi, ia begitu mahir memainkan segala jenis instrumen Sejak masih bocah ia sudah menghentak-hentakkan kendang.

Biasanya sehabis pulang sekolah. Waktu itu klas dua SD. Tapi. iramanya masih belum kepegang, dan biasanya menjengkelkan sang bapak lantaran jadi sulit tidur.

Toh, Djaduk tak gampang menyerah. Setiap kali ada tanggapan (maksudnya, ada undangan main, kini populer dengan istilah pe-ye: proyek atau payu alias laku) ia senantiasa ngintip di belakang pemain musik.

Ya pengendang, ya tukang rebab, atau yang lain. Esoknya, ia segera mencoba menirukannya.

Ngglindhing dan mercusuar

Ditanya perihal program masa depan seniman muda serba bisa, yang mengusulkan agar TVRI bikin rubrik musik kreatif, ini bilang bahwa hidupnya kayak air.

Mengalir ke mana ia mau. Atau kayak bola: menggelinding.

Yang jelas, pengagum (Eyang Kanjeng) Profesor Warsitodipuro, dulu pengrawit di PLT, kini guru besar musik di Los Angeles, ini sedang mempersiapkan pentas musik total untuk 28 Desember.

Ada senirupanya, juga teater, puisi, dan macam-macam. Kecuali bertolak dari lirik-liriknya yang pernah disensor TVRI Stasiun Yogya, ia juga mengambil bahan dan sejumlah sajak penyair Indra Tranggono dan Veven Sp Wardhana.

Gaung Mercusuar, nama temanya. Itung-itung sambil nunggu kabar dari Koln, Jerman Barat. la akan dapat beasiswa studi pantomim di Akademi Milan Sladek.

Baca Juga: Inilah Jenis Musik yang Cocok Untuk Pengantar Tidur, Bikin Cepat Terlelap!

Artikel Terkait