Find Us On Social Media :

Tradisi Pelat Bibir Suku Mursi Afrika, Ketika para Wanita Meregangkan Bibirnya untuk Kecantikan dan Kepentingan Sosial

By Nieko Octavi Septiana, Minggu, 13 Oktober 2019 | 13:30 WIB

Tradisi lip-plate (pelat bibir) suku Mursi Afrika

Intisari-Online.com - Ada berbagai tradisi di seluruh dunia, beberapa di antaranya masih dijalankan dan tidak terpengaruh oleh kemajuan teknologi.

Banyak di antara tradisi suku tertentu mungkin dianggap sebagai hal aneh dan gila oleh suku lainnya, tapi itulah tradisi dan kepercayaan.

Melansir hadithi.africa, ada satu tradisi di Afrika yang disebut lip plate atau pelat bibir.

Tradisi ini dilakukan oleh orang-orang Surma yang tinggal di sekitar Danau Turkana dan Lembah Omo Bawah di Ethiophia Selatan.

Baca Juga: Sebelum Kanker Membunuhnya, Wanita Ini Tulis Obituarinya Sendiri, Isinya Mengharukan!

Orang-orang Surma terdiri dari tiga kelompok etnis: suku Mursi, Suri, dan Mekan.

Suri dan Mursi berbagi budaya yang sama: kecantikan wanita mereka ditentukan oleh seberapa besar bibir mereka.

Pelat bibir yang disebut dhebi a tugoin menjadi ciri khas utama Mursi dan sekarang membuatnya menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan.

Ketika seorang gadis telah mencapai usia 15 atau 16 tahun, bibir bagian bawahnya dipotong oleh ibunya atau oleh wanita lain dari permukimannya.

Baca Juga: Wah, Layanan Pesan Antar Makanan Dituding Jadi Penyebab Naiknya Penderita Jantung

Potongan bibir yang terbuka itu akan disumbat oleh sumbat kayu sampai luka sembuh, yang dapat memakan waktu sekitar 3 bulan.

Diyakini seberapa jauh si wanita akan meregangkan bibirnya diputuskan oleh wanita itu sendiri.

Jika menginginkan peregangan lebih besar maka akan dimasukkan sumbat yang semakin besar selama beberapa bulan.

Beberapa perempuan bertahan sampai bibir mereka dapat memiliki pelat dengan dengan diameter 12 sentimeter atau lebih.

Dalam literatur promosi industri pariwisata, lip-plate disajikan sebagai bukti keberadaan 'suku' yang esensial, yang relatif 'tidak tersentuh' oleh dunia modern.

Baca Juga: Perjuangan Hidup Bayi Ja'bari, Lahir Tanpa Kulit dengan Berat 1,12 kg hingga Berhasil Tertutup Kulit Sepenuhnya dan Beratnya Jadi 6,7 kg

Namun ironisnya, kebutuhan Mursi yang semakin besar akan uang tunai, karena ekonomi mereka menjadi semakin tergantung pada pertukaran pasar, mendorong mereka untuk memenuhi permintaan wisatawan akan foto.

Setiap wanita mengharapkan dibayar 2 Birr Ethiopia (sekitar (Rp 1.000) untuk setiap foto yang diambil darinya, meskipun ia biasanya harus puas dengan 2 Birr untuk setiap seri foto yang diambil oleh seorang turis.

Uang itu dihabiskan di pasar dataran tinggi untuk barang-barang seperti biji-bijian, garam, kulit kambing untuk rok, dan minuman beralkohol, yang digunakan untuk menyediakan keramahtamahan bagi pihak-pihak yang bekerja di pertanian.

Sejarah Pelat Bibir

Baca Juga: Pamer Kehidupan Super Mewah, Pria Ini Berakhir Diciduk Polisi Lantaran Sumber Kekayaanya dari Uang Haram

Meski sejarah awal mula tradisi ini muncul tidak pasti, satu teori adalah bahwa pelapisan bibir berasal sebagai penodaan sengaja yang dirancang untuk membuat wanita dan gadis muda kurang menarik bagi para pedagang budak.

Beberapa peneliti mengklaim bahwa ukuran lempeng bibir (semakin besar semakin baik) adalah tanda kepentingan sosial atau kekayaan dalam suku.

Analisis lain menunjukkan bahwa semakin besar ukuran pelat bibir, semakin besar mahar yang akan diterima pengantin wanita pada hari pernikahannya.

Misalnya, semakin besar pelat bibir, semakin banyak sapi yang bisa diminta ayah pengantin perempuan dalam mahar putrinya.

Baca Juga: Tak Sekedar Menjaga Tradisi Kuno, Ternyata Inilah Alasan Suku Kayan Memanjangkan Lehernya dengan Cincin Leher

Tetapi beberapa peneliti membantah teori ini, dengan alasan bahwa pernikahan sebagian besar gadis suku, serta ukuran mahar mereka, sudah diatur jauh sebelum bibir mereka dipotong.

Yang lain berpendapat bahwa pelapisan bibir hanyalah sebuah ornamen yang dimaksudkan untuk melambangkan kekuatan dan harga diri seorang wanita.

Praktek ini juga digambarkan sebagai tanda kedewasaan sosial dan mencapai usia reproduksi, sehingga mengindikasikan kelayakan seorang gadis untuk menjadi seorang istri.