Find Us On Social Media :

Kisah John Lie, Prajurit 'Hantu Selat Malaka', Kerap Dibantu Keajaiban di Laut hingga Lolos dari Sergapan yang di Luar Nalar

By Nieko Octavi Septiana, Senin, 7 Oktober 2019 | 09:00 WIB

Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma atau yang dikenal John Lie. Ia adalah pejuang keturunan Tionghoa yang dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana oleh pemerintah Indonesia.

Dibantu "keajaiban"

Awal Agustus 1949, "The Outlaw" harus menjalani perbaikan total dengan naik galangan atau docking di Penang. Selesai perbaikan, "The Outlaw" kembali ke Phuket menjemput awak kapal. Mereka berlayar kembali ke Aceh.

Namun, tak diduga, pagi-pagi buta kapal Belanda menghadang saat "The Outlaw" memasuki Delta Tamiang. "The Outlaw" pun ditembaki meriam secara membabi buta. Suasana begitu mencekam. Peluru mendesing-desing.

Ledakan terjadi di jarak 3 meter tempat John Lie berlindung. "The Outlaw" kritis dan tak bisa berbuat apa-apa.

Baca Juga: Kenapa Ratusan Pendaki Tewas di Zona Kematian Menuju Puncak Everest yang Tingginya Capai 8.000 Meter Itu?

Saat itulah keajaiban datang. Kapal Belanda tiba-tiba saja kandas dan tak bisa lagi bergerak. "The Outlaw" pun melarikan diri bersembunyi di Delta Tamiang.

Lolos dari armada laut Belanda, armada udara menyergap. Namun, lagi-lagi keajaiban terjadi.

Juru tembak Pesawat Belanda hanya berputar-putar di atas Delta Tamiang. Mereka seakan tidak melihat "The Outlaw" yang porak poranda di bawahnya.

"Roh Kudus membungkus kami," ujar John Lie dalam memoarnya.

Dipimpin John Lie, "The Outlaw" kemudian memutuskan memutuskan kembali ke Penang. Saat itu, satu baling-baling mesin kapalnya copot. Dipastikan sulit untuk melarikan diri jika dikejar Belanda.

Pagi-pagi buta keesokan harinya, "The Outlaw" sudah sedikit lagi memasuki Selat Malaka. Namun, di tengah kegelapan, sebuah kapal tanker milik Belanda melintas.

Nakhoda kapal tangker itu kemudian menghubungi patroli militer Belanda. Benar saja. Tidak lama kemudian, kapal patroli Belanda kembali menghadang "The Outlaw".

Tembakan meriam Bofors dan senapan mesin 12,7 milimeter memecah kesunyian laut. Sadar jarak ke Penang masih jauh, John Lie dan awak pasrah.

Seisi kapal berserah pada Tuhan. Bahkan, John Lie tidak menyadari kapal Belanda mengirimkan sandi morse agar "The Outlaw" menyerah.

Akan tetapi keajaiban kembali turun. Cuaca buruk tiba-tiba saja melanda perairan. Hujan turun dengan sangat deras disertai kabut yang menyelimuti permukaan laut.

Gelombang laut tiba-tiba berkecamuk. Kapal Belanda pun tidak lagi bisa mengejar "The Outlaw" dengan cuaca yang demikian. Perjalanan menyeramkan Phuket-Aceh itu juga terus dipantau radio BBC di London.

Penyiar menyebut, "The Outlaw" dengan segala pengalamannya lolos dari sergapan itu di luar nalar. Satu bulan setelahnya, tepatnya 30 September 1949, John Lie dipindahkan ke Bangkok.

Ia ditugaskan di Pos Hubungan Luar Negeri. Tugasnya di darat sama saja, mendapatkan pasokan senjata yang lebih banyak untuk para pejuang di tanah air.

"The Outlaw" lantas dipimpin Kapten Laut Kusno. Namun dalam pelayaran pertama, seisi kapal tertangkap oleh Belanda.

John Lie pun melanjutkan tugasnya di TNI AL dalam sejumlah misi penting. Mulai dari penumpasan DI/TII Kartosuwiryo, penumpasan RMS hingga PRRI-Permesta.

Pangkat tertinggi John Lie adalah Laksamana Muda, pangkat tertinggi bagi pejuang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Pada 27 Agustus 1988 John Lie berpulang ke pangkuan Tuhan. Anak asuh, pengemis, anak jalanan dan gelandangan memenuhi kediamannya di Menteng, Jakarta Pusat. Seorang Tionghoa yang selama ini menyantuninya telah pergi untuk selama-lamanya.

Sebelas tahun kemudian, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2009 menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada mendiang John Lie.

Nama John Lie, pada awal Januari 2017, diabadikan sebagai nama Kapal Perang Indonesia, KRI John Lie.

Dalam salah satu wawancara sebelum meninggal, John Lie sempat menggambarkan situasi pada saat itu di mana setiap pejuang harus memiliki inisiatif melakukan apa saja demi menguntungkan negara.

"Tahun 1946-1947 itu kita harus bertindak sendiri. Sebab saya punya semangat untuk bekerja bagi negara, nusa dan bangsa. Apa saja saya hadapi. Membantu Republik pada waktu itu mencari devisa," tutur John Lie.

"Sebab kita banyak orang yang bantu negeri mencari devisa supaya jangan kita dipukul oleh kaum-kaum neokolonialisme. Sebab kita tidak ada dana. Itu tindakan yang baik sekali, dapat dana yang banyak,” ujarnya. (Fitria Chusna)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Mengenal Perwira TNI Keturunan Tionghoa John Lie, Hantu Selat Malaka..