Penulis
Intisari-Online.com - Ketika mencoba tidur, kejadian dan obrolan yang tidak berjalan mulus kembali terputar di otak.
Rasa cemas lantas dan rasa bersalah bermain-main di pikiran, padahal sudah memejamkan mata.
Perasaan tidak nyaman ini diiringi pertanyaan what if alias berandai-andai, “duh, coba saja saya begini, coba saja tadi saya begitu.”
Di malam-malam tertentu, kecemasan sebelum tidur bisa berlangsung beberapa jam.
Yang terpikirkan kadang lebih buruk, seperti orang-orang terdekat tidak menyayangi kita.
Atau, merasa kita gagal dalam pekerjaan, menjadi orangtua, dan dalam kehidupan.
Atau, merasa bahwa siapapun yang menyakiti, meninggalkan, atau berbicara yang buruk tentang kita, pantas melakukannya pada kita.
Otakpun kesulitan untuk tenang.
Beberapa orang kadang terbawa kecemasan hingga bermimpi buruk, hingga tidur pun tak nyenyak, dan jadi tak bugar setelah bangun.
Mengerti yang terjadi
Gejala gangguan kecemasan, menurut psikolog klinis Elaine Ducharme, sebetulnya baik untuk melindungi kita.
Ia menuturkan, kecemasan pada dasarnya merupakan reaksi tubuh untuk fight or flight, melawan atau kabur.
“Kecemasan membuat kita waspada pada bahaya dan menyadarkan diri untuk bertahan hidup,” ujar Elaine dalam Healthline.
“Namun masalahnya, bagi orang yang menderita gangguan kecemasan yakni biasanya tidak ada hal yang perlu dicemaskan. Tidak ada bahaya secara fisik dan mereka tidak butuh melawan, atau kabur,” jelasnya.
Baca Juga: Wah, Ternyata Berat Selimut Bisa Pengaruhi Kualitas Tidur, Khususnya Terkait Insomnia dan Kecemasan
Konselor kesehatan mental Nicky Treadway menjelaskan, pada siang hari, kebanyakan orang dengan gangguan kecemasan teralihkan dan terfokus dengan tugas sehari-hari.
“Mereka juga merasakan gejala kecemasan, namun mereka punya deretan hal yang dikerjakan, berpindah dari tugas A, ke B, ke C sepanjang hari,” tuturnya dalam Healthline.
Karenanya, beberapa orang dengan gangguan kecemasan berupaya mengisi harinya begitu padat sehingga tidak punya waktu untuk cemas.
Dengan demikian, ketika ada hal lain yang bisa difokusi, kecemasan terasa bisa dikendalikan.
Namun ketika gangguan kecemasan malam hari tiba, Nicky menjelaskan, tubuh kembali beranjak mengikuti ritme sirkadian alami.
Ketika cahaya mulai temaram, produksi melatonin di tubuh naik, dan tubuh mengirimkan sinyal agar kita beristirahat.
Namun, bagi orang yang memiliki gangguan kecemasan, meninggalkan kondisi “terjaga” cukup sulit, sehingga tubuh semacam melawan ritme sirkadian.
Elaine menuturkan, frekuensi serangan panik paling sering terjadi antara jam 1.30-3.30 dini hari.
“Suasana pada malam hari cenderung lebih sunyi. Lebih sedikit hal-hal yang memicu distraksi, dan lebih banyak celah untuk cemas,” ujarnya.
Ia menambahkan, kita mungkin tidak punya kontrol pada kondisi ini, dan terkadang jadi memburuk dengan bantuan yang cenderung tidak tersedia di malam hari?
Lebih-lebih, siapa yang bisa ditelepon pada jam 1 dini hari ketika otak tengah berlari dalam kecemasan?
Ada Bantuan
Sejumlah orang dengan gangguan kecemasan biasanya mau memeriksakan dirinya pada dokter spesialis kejiwaan atau psikolog, dan menjalani terapi.
Beberapa juga berusaha olahraga, agar tubuh cukup lelah dan lebih mudah tidur.
Upaya ini setidaknya lebih baik dan lebih punya hasil ketimbang tidak melakukan apapun.
Namun, jika gangguan kecemasan masih muncul, Elaine menekankan, jangan lari ke ganja.
Di beberapa negara yang melegalkan ganja, ganja digunakan untuk mengatasi kecemasan, namun hanya untuk jangka pendek.
Dalam jangka panjang, ganja dapat menyebabkan gangguan kecemasan yang lebih parah dan gejala paranoid.
Sebagai alternatif, Nicky menyarankan untuk membangun rutinitas tidur yang bisa membantu transisi dari aktivitas sehari-hari ke waktu istirahat.
Rutinitas ini termasuk mandi 15 menit tiap malam, menggunakan minyak esensial lavender, menuliskan jurnal, dan meditasi.
“Dengan demikian, kita cenderung bisa tertidur, dan memiliki kualitas tidur yang lebih baik,” jelasnya.
Penerimaan
Lebih lanjut, Elaine menuturkan, menyadari gangguan kecemasan amat bisa disembuhkan adalah salah satu kuncinya.
Ia menjelaskan, banyak orang bisa merespons teknik terapi Cognitive Behavioural Therapy (CBT) dan pengobatan, belajar fokus pada saat ini—bukan masa lalu atau nasa depan—bahkan tanpa obat.
Sementara itu, beberapa orang mungkin butuh obat-obatan dulu untuk menenangkan dirinya, sehingga bisa belajar dan mendapat manfaat dari CBT.
Elaine menegaskan, opsi yang mana pun bisa ditempuh sesuai kecocokannya dengan kita untuk sembuh.