Find Us On Social Media :

Wayang Golek: dari Pesanan Cinderamata Presiden Soekarno Hingga Bom Bali yang Bikin Penjualan Menyusut

By K. Tatik Wardayati, Kamis, 29 Agustus 2019 | 13:15 WIB

Menurut Tatang, ritual paling banyak ada pada dalang demi menjaga karismanya. Misalnya, saat akan memainkan semar, selama tiga hari sebelum mendalang harus berpuasa dan tidak boleh bertemu istri.

Biasanya, dalang akan menyepi semacam semedi. Saat mau berbuka puasa, istri dalang hanya menyiapkan makanan, dan meletakkan di depan pintu, setelah itu pulang.

Begitu pun saat ada acara syukuran yang menghadirkan wayang golek sebagai hiburan. Kepala domba ataupun sapi yang dipotong harus digantungkan di panggung.

Demi meluruskan ritual-ritual ini, Ruhiyat akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia dalang pada tahun tahun 1960.

Baca Juga: Lelaku Sunyi Wayang Potehi, Meniti Jalan Penuh Tepi

“Wayang sudah menjadi media dakwah sejak jaman wali dan ritual itu tidak ada. Untuk meluruskan, Pak Ruhiyat akhirnya jadi dalang,” ungkap Tatang.

Soekarno

Meski sibuk dengan profesi dalangnya, sambung Tatang, Ruhiyat tetap memproduksi wayang golek. Saat itu, rumah produksinya berdekatan dengan rumah kerabat Presiden Soekarno.

Tatang mengingat, saat Soekarno bertemu dengan ayahnya untuk melihat dan memesan wayang, ia masih kecil.

Soekarno memesan wayang untuk cinderamata di Istana.

Baca Juga: Menakjubkan! Ternyata Dewi Sri Menjadi Tokoh Wayang Kulit dan Dimainkan oleh Murid-murid di Sekolah Asing

“Sekali kirim ke Istana satu peti, berisi 90 karakter wayang. Pengiriman dan pembayaran biasanya dilakukan (pasukan) Cakrabirawa,” tutur dia.

Pengiriman suvenir Istana ini berlangsung hingga tahun 1964. Selepas itu, memasuki era Soeharto dibuatlah Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi).

Sang ayah ikut membantu beberapa tokoh Jawa Barat, seperti mantan gubernur Jabar, Solihin GP atau Mang Ihin dalam mengisi anjungan Jawa Barat Taman Mini Indonesia Indah (TMII).