Penulis
Intisari-Online.com – Kerajaan Singasari mencapai puncak kebesarannya pada zaman pemerintahan Kartanegara.
Tetapi pada akhir pemerintahannya timbul pemberontakan dari Kediri di bawah pimpinan Jayakatwang yang merasa berhak atas tahta kerajaan.
Pemberontakan itu meletus pada tahun 1292. Pertempuran terjadi sepanjang sungai Brantas. Pasukan Kartanegara dipimpin oleh Wijaya dan Ardaraja.
Pada mulanya laskar pemberontak terpukul mundur. Tetapi akhirnya Ardaraja dan anak buahnya terpaksa lari tunggang langgang, ketika tiba-tiba dilihat pasukan Jayakatwang mengibarkan panji-panji Merah-Putih.
Kejadian itu diabadikan dalam suatu prasasti logam yang kemudian didapatkan di gunung Butak di sebelah Selatan kota Surabaya.
Prasasti yang bertuliskan huruf Kawi itu antara lain berbunyi, “… seketika itu juga maka Sri Baginda bertempur dengan segala tentaranya dan musuh pun lari lagi setelah mengalami kekalahan besar dan rupa-rupanya semuanya berlari tunggang langgang untuk selama-lamanya.
Tetapi dalam keadaan yang sedemikian itu, tampaklah dari pihak Timur Hanyiru bendera Merah Putih kepunyaan musuh berkibar melambai-lambai dan pada ketika itu juga Sang Ardaraja lalu meninggalkan perjuangan berlaku hina dan lari menuju Kapulungan dengan tak keruan.”
Itulah untuk pertama kalinya Merah-Putih berkibar di medan pertempuran sebagai panji-panji pasukan yang menang perang.
Baca Juga: Cerita Pelaku Sumpah Pemuda yang Rumahnya Digeledah Gara-gara Pasang Bendera Merah Putih
Menurut sejarah bendera Arupalaka raja Bone dari Sulawesi Selatan namanya Samparaja E.
Bendera itu berwarna putih dengan berlukiskan sauh-jangkar di tengah-tengahnya. Di kiri-kanan bendera itu dikibarkan kedua umbul-umbul merah.
Dalam peperangan Wajo di tahun 1667, bendera itu hilang. Sebagai gantinya maka dibuatnya bendera baru La Manggotong namanya.
Bendera itu berwarna Merah. La Manggotong selalu didampingi oleh bendera Eja Eyang berwarna putih.
Baca Juga: Jelas-jelas Merah Putih ‘Kok Dibilang Bendera Komunis
Konon kabarnya amatlah sakti bendera itu, sehingga pasukan Aru Palaka akhirnya menang perang dan merebut kembali bendera Samparaja E yang sudah hilang.
Ketika Pangeran Diponegoro meninggalkan tempat kediamannya di Tegalreja untuk memimpin peperangan melawan Belanda, maka di tengah jalan ia diberitahu oleh Mangkubumi.
“Paman, lihatlah rumah dan mesjid sedang dibakar, api merah menyala-nyala ke atas langkit. Kini kita tak berumah lagi di atas dunia.”
Hati Diponegoro pedih. Setelah melihat ke arah Tegalreja, pandangannya dialihkan ke arah Selarong.
Maka besarlah hatinya karena dari kejauhan tampak bendera Merah-Putih dikibarkan oleh rakyat.
Ia berkata kepada istrinya Ratnaningsih, “Peperangan sudah bermula. Kita akan pindah ke Selarong. Pergilah adinda ke sana dan berikanlah segala intan permata dan emas perakmu kepada rakyat yang mengikuti kita.”
Ketika semakin menjadi jelas tujuan perjuangan kemerdekaan ialah untuk mendirikan suatu negara yang berdaulat penuh maka semakin meluas pula kesadaran untuk melambangkan kemerdekaan dan kedaulatan kebangsaan itu dalam bendera Merah-Putih.
Para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1920 mendirikan Perhimpunan Indonesia.
Baca Juga: Dulu Ada Bendera Merah Putih yang Berlukiskan Kepala Kerbau Di Tengahnya
Perhimpunan itu menerbitkan majalah Indonesia Merdeka, suatu nama yang sekaligus merumuskan tujuan pergerakan mahasiswa-mahasiswa itu.
Panji-panji pergerakan itu tak lain bendera Merah-Putih yang berlukiskan Kepala Kerbau.
Tatkala Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada tahun 1928 maka pergerakan itu pun bernaung di bawah bendera Merah Putih Kepala Banteng.
Di bawah kibaran Merah-Putih pula para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 meresmikan kelahiran bangsa Indonesia, tanah air, dan bahasa yang satu.
Baca Juga: Inilah Sosok Penyelamat Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
Merah-Putih disertai lukisan Garuda Terbang. Kemudian Garuda Terbang itu dipisahkan menjadi lambang tersendiri, sehingga bendera tinggallah berwarna Merah-Putih.
Demikian meluasnya kesadaran akan lambang kebangsaan dan kedaulatan Merah-Putih itu, sehingga para pemuka bangsa yang menyiapkan Proklamasi dan Konstitusi RI serentak seia-sekata untuk menetapkan “Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah-Putih” (UUD ps 35).
Pada akhir tahun 1944 dibentuk sebuah Panitia diketuai oleh almarhum Ki Hajar Dewantara. Tugasnya menentukan ukuran bendera serta menjelaskan arti warna Merah-Putih.
Untuk keperluan itu Panitia menyelidiki Prasasti gunung Butak di atas. Akhirnya diputuskan bendera berukuran lebar 3, panjang 2.
Merah-Putih diartikan, “Keberanian atas Kesucian.”
Kata ‘bendera’ berasal dari bahasa Portugis, bendeira. Kata Indonesia lain yang dikenal ialah: tunggul, panji, ubur-ubur.
Lazimnya bendera berupa secarik kain tipis terbagi atas dua atau tiga baris dengan aneka macam warna yang berkibaran jika ditiup angin.
Arti bendera diberikan oleh lambang yang terkandung. Lambang kebangsaan dan kedaulatan negara.
Sang Merah-Putih lambang kebangsaan dan kedaulatan negara RI yang mengandung arti perjuangan: berani karena benar, berani karena suci.
Dalam masyarakat Indonesia warna merah-putih dikenal sebagai warna yang mengandung makna dalam.
Dalam dunia bunga-bungaan kita kenal bunga teratai yang berwarna merah dan putih.
Dalam ada istiadat terdapat upacara selamatan hari kelahiran. Sajian pada upacara itu dodol merah dan dodol putih.
Baca Juga: Ada Bendera Merah Putih di Motor Valentino Rossi dan Maverick Vinales pada MotoGP 2017
Merah melambangkan Adam, bapa pertama manusia. Putih mengibaratkan Hawa, ibu pertama manusia.
Tetapi merah pun berarti keberanian, putih kesucian. Pada hari kelahiran, manusia diingatkan akan asal mulanya yaitu Adam dan Hawa, serta diingatkan pula akan perjuangan hidupnya yang seharusnya berdasarkan keberanian dan kebenaran.
Pada peringatan Hari Proklamasi Bendera Pusaka dikibarkan kembali di istana Merdeka. Seluruh rakyat tegak menghormatinya.
Maka lebih bermaknalah bagi kita arti penghormatan itu. Karena Merah-Putih adalah lambang kebangsaan dan kedaulatan negara kita.
Baca Juga: Arak-arakan Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih
Negara Merdeka yang terus berjuang untuk kesejahteraan yang merata atas dasar keberanian dan kebenaran. (Dari 600 Tahun Sang Merah Putih, karangan Prof. Mr. Muhammad Yamin – seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1963)