Gempa Banten: Riset Tunjukkan Adanya Potensi Gempa Besar di Pulau Jawa, Jakarta Jadi Sorotan Utama

Ade S

Penulis

Laju regangan yang besar di Pulau Jawa, yaitu lebih dari 1 mikrostrain per tahun hingga mencapai sekitar 5 mikrostrain per tahun.

Intisari-Online.com - Jumat (2/8/2019) sekitar pukul 19:00 WIB, terjadi gempa berkekuatan 7,4 skala richter di Barat Daya Banten yang berpotensi tsunami.

Guncangan terasa hingga di Bengkulu, Jawa Barat, Lampung, hingga Jawa Tengah.

Dilansir dari rilis pers BMKG, peringatan tsunami dirilis untuk kawasan Banten, Bengkulu, Jawa Barat, dan Lampung.

Pusat gempa terjadi di 7.54 LS, 104.58 BT, atau 147 km sebelah barat daya Sumur di Banten. Episentrum berada di kedalaman 10 Km.

Baca Juga: Gempa 7,4 Terjang Barat Daya Banten : Rupanya Gempa Bisa Diprediksi Melalui Perilaku Hewan Seperti Berikut Ini

Hingga pagi ini dilaporkan bahwa gempa mengakibatkan sejumlah kerusakan, termasuk 15 unit rumah di Sukabumi.

Dilansir dari Kompas.com, dari 15 rumah tersebut, 1 mengalami rusak berat (RB), 9 rusak sedang (RS), dan 5 rusak ringan (RR). Belasan rumah rusak itu tersebar di 15 desa di 9 kecamatan.

Gempa sendiri telah diketahui beberpakali terjadi sejak awal tahun 2019.Hal itu tentu membuat masyarakat was-was dan waspada.

Dari kewaspadaan itu pula, pada Januari telah terbit berbagai kajian ilmiah mengenai aktifnya jalur patahan Pulau Jawa yang menjadi penyebab gempa bumi.

Baca Juga: Rudapaksa Nenek 74 Tahun, BA: Saya Khilaf, Kalau Nenek Itu Hamil, Saya Siap Bertanggung Jawab

Aktifnya jalur patahan di Pulau Jawa, termasuk di dua daerah padat penduduk, yaitu selatan Jakarta dan utara Bandung.

Kajian itu harus mendapat perhatian serius untuk mitigasi bencana ke depan.

Dua kajian ilmiah tersebut telah dipublikasikan di jurnal internasional yang berbeda pada Januari 2019 yaitu oleh Endra Gunawan dan Sri Widiyantoro di Journal of Geodynamics dan Mudrik R. Daryono bersama Danny H. Natadwidjaja, Benjamin Sapiie, dan Phil Cummins di jurnal Tectonophysics.

"Riset kami telah mengidentifikasi tektonik deformasi aktif di Jawa menggunakan data GPS (global posititioing system) menerus dari tahun 2008 sampai 2013.

Baca Juga: Inilah Ranavalona, Ratu Terkeji dari Madagaskar, Menghukum Mati Orang dengan Cara Direbus hingga Dibakar

Kami menghitung strain rate (laju regangan)," kata Endra Gunawan, peneliti dari Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB), yang dihubungi Minggu (6/1/2019), di Jakarta.

Dari kajian itu, ditemukan secara umum terjadi laju regangan yang besar di Pulau Jawa, yaitu lebih dari 1 mikrostrain per tahun hingga mencapai sekitar 5 mikrostrain per tahun di kawasan yang mengalami deformasi setelah gempa tahun 2006.

Kajian tersebut juga menemukan adanya laju tekanan dilatasi zona patahan yang besar (< -3 mikrostrain per tahun) di sepanjang patahan Cimandiri dan Cipamingkis di Jawa Barat, patahan di selatan Jakarta, patahan Kendeng yang memanjang dari Semarang ke Jawa Timur hingga masuk ke Selat Madura.

Sementara laju regangan yang besar (di atas 1 mikrostrain per tahun) ditemukan di Wongsorejo dan patahan Montong di Jawa Timur dan patahan Lasem di Jawa Tengah.

Baca Juga: Kebenaran Mengerikan di Balik Temuan 10 Ton Mayat Manusia yang Menggemparkan Dunia, Ada Bagian Tubuh yang Dijahit Sesuka Hati

"Laju regangan dan tekanan ini menunjukkan ada kawasan tektonik aktif.

Dari hasil studi ini, kita perlu memberi perhatian lebih pada sesar di dekat kota besar padat penduduk seperti Semarang, Surabaya, dan terutama Jakarta," kata Endra.

Laju regangan dan tekanan ini menunjukkan ada kawasan tektonik aktif. Dari hasil studi ini, kita perlu memberi perhatian lebih pada sesar di dekat kota besar padat penduduk, terutama Jakarta.

Kajian itu menguatkan riset sebelumnya oleh A. Koulali dari Australian National University (ANU) pada 2016 tentang keberadaan jalur patahan di Pulau Jawa.

Baca Juga: Gempa Banten: Benarkah Pulau Kalimantan yang akan Jadi Ibu Kota Indonesia Itu Sangat Aman dari Ancaman Gempa?

Catatan sejarah menunjukkan, gempa kuat pernah terjadi di Jakarta pada 22 Januari 1780 yang guncangannya dirasakan hingga tenggara Sumatera dan Jawa Barat.

Gempa ini diperkirakan berkekuatan M 8,5.

Kajian Nguyen dan tim dari ANU (2015) menyebutkan, gempa pada 1780 kemungkinan sumbernya di sesar Baribis atau di lengan lempeng karena luasnya dampak guncangan.

Endra menyebutkan, gempa berkekuatan M 8,5 minimal dipicu oleh patahan dengan panjang 350 kilometer.

Baca Juga: Kisah Jennifer Pan, 'Anak Emas' yang Habisi Nyawa Orangtuanya Secara Sadis Karena Muak Selalu Dituntut untuk Berprestasi

Padahal, daerah regangan yang ditemukan di selatan Jakarta hanya meliputi 50 km, yang setara dengan bangkitan gempa M 7,1.

Ada dua kemungkinan, pertama, gempa tahun 1780 tak terkait dengan sesar Baribis. Kedua, sesar di selatan Jakarta berbeda dengan patahan Baribis, tetapi merupakan patahan tersendiri seperti studi Marliyani (2016).

"Dibutuhkan kajian lebih mendalam, terutama dengan memasang GPS lebih rapat, dan kombinasi kajian seismik dan observasi geologi.

Melihat risikonya, ini seharusnya jadi prioritas ke depan," katanya.

Kajian Arthur Wichman (1918) juga menyebut, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 5 Januari 1699, pukul 01.30.

Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak, Jawa Barat.

Baca Juga: Gempa Banten: Inilah 10 Gempa Terdahsyat yang Pernah Terjadi dalam Sejarah Manusia, 2 Terjadi di Indonesia

Menurut Endra, jarangnya kejadian gempa di Pulau Jawa termasuk di Jakarta, dibandingkan Sumetara,bisa dibaca sebagai terjadinya pengumpulan energi. Semakin lama tidak gempa, potensi gempa ke depan bisa semakin besar.

Sesar Lembang

Mudrik R. Daryono, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, risetnya membuktkan keaktifan sesar Lembang di utara Kota Bandung.

Kajian ini menunjukkan, kecepatan pergerakan sesar Lembang mencapai 1,95 – 3,45 milimeter per tahun.

Dengan panjang patahan hingga 29 km, potensi gempa yang bisa dihasilkannya sebesar M 6,5 – 7 dengan waktu perulangan sekitar 170 – 670 tahun.

Baca Juga: Siswi SMA yang Akan Bawa Baki Sang Saka Merah Putih Upacara 17 Agustus 2019 Mendatang Meninggal Dunia Sebelum Sempat Bertugas

Mudrik juga melakukan uji paritan untuk mengetahui paleoseismik dan menemukan bukti minimal adanya tiga gempa besar di jalur patahan ini, yaitu abad ke-15, 2300 sebelum Masehi, dan 19.620 – 19.140 tahun yang lalu.

"Tiga gempa besar di masa lalu ini hanya yang ketemu dari uji paritan secara manual. Perlu uji paritan lebih besar menggunakan mesin ekskavator dan pembelian lahan yang tentunya lebih mahal untuk mengetahui perulangan gempa lebih banyak lagi," kata Mudrik.

Akan tetapi, dari kajian yang dilakukan, cukup menjadi dasar pentingnya melakukan upaya mitigasi untuk mengantisipasi ancaman ke depan.

Selain kepadatan penduduk di sekitar zona patahan, dampak guncangannya ke Bandung juga bisa memicu bencana ikutan.

"Dengan publikasi ini saya mengharapkan penelitian ikutannya tentang kemungkinan likuifaksi dan amplifikasi gempa serta dampak lainnya di kawasan Bandung dan sekitarnya," ungkapnya.

Baca Juga: Gempa Banten: Sunda Megathrust, Skenario Terburuk di Sisi Selatan Jawa, Bisa Timbulkan Gempa 8,8 SR dan Tsunami 20 Meter

Artikel Terkait