Find Us On Social Media :

Begini Cara Orang Fort Kochi Jaga Keberagaman Selama Ratusan Tahun

By Trisna Wulandari, Jumat, 28 Juni 2019 | 19:15 WIB

Fort Kochi

Intisari-Online.com - Kehadiran kolonialis Eropa di Fort Kochi selama beratus-ratus tahun memberikan warna yang berbeda di Fort Kochi.

Ya, satu kota di India ini punya banyak bangunan dengan arsitektur bernuansa Eropa.

Masyarakat juga banyak yang Nasrani.

Meski demikian, ada pula budaya Portugis, Tiongkok, dan Yahudi yang mengakar, di samping budaya asli India yang kuat dengan penghargaan pada alam.

Bagaimana orang-orang Fort Kochi hidup di tengah keberagamannya tanpa perpecahan?

Baca Juga: Bandoeng Holland in De Tropen, Masihkah Kota Bandung Menyimpan Bangunan Tua Bersejarah?

Berpindah-pindah tangan

Fort Kochi adalah bagian dari Kochi, ibu kota negara bagian Kerala, yang terletak di pesisir barat bagian selatan India.

Kochi berada di Distrik Ernakulam.

Fort Kochi biasa disebut juga Kochi Lama atau Kochi Barat. Letaknya langsung berbatasan dengan Laut Arab.

Semula, Maharajah Kochi memberikan wilayah tersebut kepada Portugis pada 1503.

Pemberian terjadi setelah Afonso de Albuquerque membantu sang Maharajah melawan Saamoothiri dari Kozhikode, penguasa Kerajaan Kozhikode di Pesisir Malabar pada abad ke-15.

Maharajah juga memberi izin kepada Portugis untuk membangun Fort Emmanuel di perkampungan di tepi Laut Arab.

Dari situlah Fort Kochi bersentuhan dengan kebudayaan asing yang memunculkan keragaman pada hari ini.

Warga Portugis yang tiba di sana lalu membangun pemukiman, termasuk sebuah gereja yang terbuat dari kayu.

Tetapi sejak berkuasa tahun 1683, Belanda menghancurkan peninggalan-peninggalan Portugis termasuk biara dan gereja.

Kemudian, Inggris mengalahkan Belanda dan mengambil alih Fort Kochi pada 1795.

Barulah pada 1947 India merdeka dan terlepas dari tangan asing.

Baca Juga: 5 Fakta Aqsa Aswar, Si Peraih Medali Emas Cabang Jetski, Ternyata Dia Cucu Pahlawan Kemerdekaan Lho!

Bangunan gotik di tengah India

Namun di tengah-tengah Fort Kochi kini masih ada bangunan gotik yang tegak berdiri.

Ialah gereja Santa Cruz Cathedral Basilica, ikon Fort Kochi yang berarsitektur pahat dan lukis ala gotik yang populer di Eropa pada abad 12-16.

Minggu pagi, jemaat tampak sudah memenuhi bangku dalam gereja.

Khutbah dilangsungkan dalam Bahasa Malayalam, bahasa yang digunakan di negara bagian Kerala.

Awalnya Portugis membangun Santa Cruz Cathedral Basilica pada abad ke-16.

Ketika Belanda menguasai Fort Kochi dan menghancurkan banyak gereja Katolik peninggalan Portugis, bangunan gereja itu luput dari sasaran.

Tetapi, Inggris yang berkuasa kemudian menghancurkan gereja tersebut.

Baru pada abad ke-19, gereja tersebut didirikan kembali oleh misionaris asal Portugis.

Baca Juga: (FOTO) Istanbul Kota Arsitektur Penuh Warna

Rumah tanpa halaman

Rumah-rumah di sekitar gereja punya desain bertingkat.

Rumah-rumah dari kayu ini punya arsitektur campuran Eropa dan lokal.

Di dekat gereja Basilica juga terdapat Princess Street yang khas dengan rumah berarsitektur tropik kolonial Belanda dan Inggris.

Rata-rata rumah-rumah apik tersebut tidak memiliki halaman.

Sadar dengan potensi wisata mereka, bangunan tersebut kini difungsikan menjadi penginapan, warung kopi, restoran, spa atau pun fungsi bisnis lain.

Baca Juga: Di Balik Keindahannya, Fenomena Frost atau Embun Beku di Bromo dan Semeru Menyimpan Bahaya, Ini yang Perlu Dilakukan Wisatawan

Pengaruh Tiongkok

Di pantai, jaring-jaring ikan ditambatkan.

Jaring tersebut adalah peninggalan dari pelaut asal Tiongkok yang ratusan tahun lalu datang ke Fort Kochi.

Jika tidak dipakai jaring tersebut tampak menjulang ke atas.

Teknik menangkap ikan dengan jaring tersebut masih digunakan hingga sekarang oleh nelayan di Fort Kochi.

Hasil tangkapannya ditawarkan kepada wisatawan yang lalu-lalang di sepanjang jalan setapak semen, yang dibangun berbatasan langsung dengan Laut Arab.

Baca Juga: Bukan Emas atau Uang, Ini Harta Karun Tiongkok yang Ditemukan di Laut Jawa Indonesia

Kampung Yahudi

Agaknya, posisi di pesisir yang terbuka dan pengalaman ratusan tahun menerima bangsa asing menempa orang-orang Fort Kochi terbuka dengan pengaruh luar.

Selain penganut Nasrani, di Fort Kochi juga tinggal masyarakat Hindu, Muslim, Yahudi, dan Jain.

Di daerah Malabar juga ada masyarakat Yahudi Malabar.

Mereka adalah masyarakat pedagang yang makmur dan menguasai sebagian besar perdagangan rempah seluruh dunia.

Kendati demikian, memang tidak banyak keluarga Yahudi yang tinggal disana.

Sebagian besar dari mereka sudah pindah ke Israel.

Baca Juga: Kuil Edom Berusia 2.200 Tahun yang Bersejarah Telah Ditemukan di Israel

Sinagoga yang masih terawat

Masing-masing penganut agama tersebut memiliki rumah ibadahnya, tanpa kasus pembakaran dan pengeboman.

“Warga Fort Kochi berpendidikan dan mereka mengutamakan pendidikan. Kami tidak bertengkar karena perbedaan,” begitu jawab seorang pengemudi di sana.

Salah satu tempat ibadah yang bersejarah adalah Sinagoga Paradesi di kawasan Jew Town atau Kampung Yahudi.

Tahun 1568, Maharaja Cochin memberikan sebidang tanah kepada masyarakat Yahudi yang tinggal dekat istananya untuk membangun sinagoga.

Sinagoga ini dibangun oleh warga Yahudi Sefardik Spanyol dan Belanda.

Sinagoga Paradesi menjadi sinagoga aktif tertua di India dan di negara-negara Persemakmuran.

Baca Juga: Tampung Jutaan Pengungsi, Erdogan Sebut Eropa Hidup Tenteram dan Damai Berkat Turki

Paradesi sendiri berarti orang asing (foreigner). Dinamakan demikian karena masyarakat Yahudi yang membangun sinagoga itu berasal dari daratan Eropa.

Karena nilai sejarahnya, sinagoga ini menjadi salah satu tujuan wisata di Fort Kochi.

Di dinding luar, terpampang papan pengumuman jam buka sinagoga dan larangan mengambil foto di dalamnya.

Sebuah menara jam tampak menjulang kurang lebih setinggi 5 meter.

Pengunjung membayar 10 Rupee (sekitar Rp2000) untuk sumbangan perawatan gedung.

Bagian dalam sinagoga tidak luas, lantainya marmer yang dihiasi motif berwarna biru, langit-langitnya terbuat dari kayu.

Di langit-langit menggantung dua chandelier dari Italia, namun arsitekturnya khas lokal dengan altar sederhana.

Baca Juga: Sinagoga Kuno Ini Miliki Lantai dengan Mozaik Kisah Bahtera Nuh dan Terbelahnya Laut Merah

Tidak saling meminggirkan

Jew Town dan juga Princess Street menjadi kawasan perbelanjaan wisatawan di Fort Kochi.

Kebanyakan yang dijual berupa baju, tekstil, dan cinderamata.

Banyaknya wisatawan menjadikan Fort Kochi juga sebagai kota perdagangan.

Selain toko, ada juga beberapa galeri seni yang menjual benda-benda antik tak hanya dari Kerala, namun juga dari seluruh penjuru India.

Meski kawasan perbelanjaan ini terletak di perkampungan Yahudi dan pemukiman Nasrani, budaya pengobatan ayurveda masih lestari di sana.

Baca Juga: Cantik Ala Ayurveda

Ayurveda merupakan ilmu pengobatan dengan media bahan alami.

Di Fort Kochi, banyak tempat yang menawarkan kursus Ayurveda, perawatan diri dengan teknik ayurveda.

Salah satu yang kenamaan yakni pijat ayurveda, yang menggunakan minyak hangat beraroma dan berempah.

Masakan tradisional khas Kerala pun jadi primadona di sana.

Bahan bakunya kebanyakan bersantan dan disantap dengan nasi.

Begitulah orang-orang di Fort Kochi dari latar belakang lintas budaya dan lintas agama merawat keberagamannya dengan harmonis turun-temurun. (Wahyuni Kamah)

Artikel ini telah tayang di rubrik Langlang Majalah Intisari dengan judul “Kochi, Nuansa Eropa di Hindustan”