Penulis
Intisari-Online.com - Menurut WHO, gaya hidup sedentari menjadi salah satu dari 10 penyebab kematian terbanyak di dunia. Begitu pula dengan data dari European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC) pada 2008: kematian akibat kebiasaan malas gerak jumlahnya dua kali lebih banyak dibandingkan kematian karena obesitas.
Jika gaya hidup sedentari diikuti dengan pola makan yang tidak seimbang dan kebiasaan tidak sehat seperti merokok atau minum alkohol, kita pun berisiko mengalami lebih banyak masalah kesehatan.
Pentingnya bergerak itu yang kemudian memunculkan jargon “olahraga sebagai obat”.
Itu pula yang dilakukan oleh Riki Fadjar (58) dalam mengtasi diabetes yang menyerangnya. Olahraga andalannya adalah berlari. Riki mengatakan, lari menjadi terapi bagi dirinya dalam mengendalikan gula darah.
Baca Juga: Duh, Diet Keto Ternyata Malah Sebabkan Masalah Gula Darah pada Wanita
Riki terkena diabetes tipe 2 sejak umur 28 tahun. Penyakit gula banyak diyakini orang sebagai “rajanya penyakit”.Bila ingin tetap sehat, dokter menyarankan setiap hari ia harus bergerak. Anjuran dokter itu bukan lagi sebagai pilihan, tetapi jadi perintah. “Tak ada pilihan, saya harus terus bergerak agar tetap sehat.”
Terlebih pada awal bulan Februari 2017 Riki disuruh suntik insulin karena gula darah puasa sudah menyentuh angka 360. Plus ginjal bocor. Jika tidak disuntik, dipastikan ia akan gagal ginjal.
Awalnya ia hanya jalan kaki dengan target 20 ribu langkah per hari. Ini setara dengan 16 km. Agar jumlah langkahnya terhitung dengan pasti, ia membekali dengan sportwatch. “Seperti hari ini, saya sudah mengumpulkan 8,5 ribu langkah. Ini saya mau jalan lagi, kemungkinan sore nanti mau lari.”
Merasa olahraga sebagai terapi, Riki pun tak memikirkan soal catatan waktu. PB baginya bukan personal best, tapi photo banyak. Begitu juga dengan jarak, ia tak mau beranjak dari kategori 5K. “Selalu ikut 5 K karena bagi saya, lari merupakan bagian dari diet bukan cari prestasi. Juga buat senang-senang, selfie foto-foto dan cari sahabat baru,” katanya sambil menambahkan catatan waktu terbaiknya 35 menit.
Riki tahu diri. Sekadar memperbaiki catatan waktu terbaiknya pun tak terpikirkan, apalagi meraih prestasi. Untuk menghibur diri, ia menargetkan perolehan medali. Ia pun tak merasa rugi jika untuk mengumpulkan medali itu harus sampai ke luar negeri.
Seperti beberapa waktu silam, Riki mengikuti Bangkok Marathon 2019 di negeri gajah. Tentu di kategori 5K.
Riki mulai berlari untuk meraih medali pada November 2017. Itu menjadi satu-satunya medali di 2017. Tahun berikutnya, 2018, ia berhasil mengumpulkan 42 medali. Untuk tahun ini, ia menargetkan 52 medali. Atau satu minggu satu medali kira-kira. Per awal April 2019 sudah terkumpul 18 medali.
Baca Juga: Berlari dengan Sepatu versus Tanpa Alas Kaki, Mana yang Lebih Baik?
Lewat pesan WhatsApp, ia melampirkan rencana lomba lari yang bakal diikutinya. Sebagian sudah mendaftar, sebagian masih rencana. Sebagian pula virtual run. Dalam arti larinya bisa di mana saja, dalam rentang waktu tertentu, dan hasilnya kemudian dikirim ke pihak penyelenggara. Dari situ medali akan dikirim.
Ditambah dengan berenang selama 30 menit nonstop seminggu sekali dan diet keto, Riki pun bisa menurunkan berat badannya sekaligus mengendalikan kadar gula darahnya.
Pada 2016 berat badannya 103 kg, tensi 170-an/120-an mmHg, kadar gula darah puasa mednekati 400, lever penuh lemah, ginjal bocor, dan jantung membesar. Kini, kondisi sebaliknya yang terjadi. Berat badan 77 kg, tensi 120-an/80-an mmHg, kadar gula darah puasa 100-an, lemak di lever tinggal dikit, dan pembengkakan jantung mengecil. “Hanya ginjal yang masih bocor,” kata Riki.
Saat ditanya apa yang membuatnya termotivasi untuk setia berlari, pria asal Sumatra Utara ini hanya berujar, “Pilihannya cuma diet atau die.”