Demi Kedamaian dan Surga, Sekelompok Punk Sengaja Suntikkan Virus HIV ke Tubuh Sendiri

Ade S

Penulis

Dengan menyuntikkan virus HIV ke dalam tubuh, para Frikis melihat ada kesempatan melarikan diri dari masyarakat yang diskriminatif.

Intisari-Online.com -HIV/AIDS dikenal sebagai salah satu momok menakutkan karena bisa mengancam jiwa mereka yang mengidapnya.

Alhasil, sebagian besar manusia di Bumi berusaha sebaik mungkin agar tak terinfeksi oleh virus tersebut.

Pemerintah di berbagai negara, baik melalui instansi pemerintahan maupun melalui komunitas tak henti berkampanye tentang bahaya HIV/AIDS.

Tujuannya jelas, mencegah penyakit ini menyebar semakin luas.

Baca Juga :3 Bocah Penderita HIV Dikucilkan: Penyebab Terbesar HIV Memang Hubungan Seksual, Tapi Jangan Abaikan Penyebab Ini

Namun, ketika banyak yang berlomba-lomba terbebas darinya, nyatanya pernah ada sekelompok orang yang dengan sengaja menyuntikkan virus mematikan HIV ke tubuh mereka sendiri.

Eit, tapi jangan salah paham dulu, tujuan mereka tidak untuk membahayakan orang lain kok.

Kelompok ini menamakan diri Los Frikis, kelompok punk yang berbasis di Kuba.

Waktu itu, pemerintahan Fidel Castro berusaha keras untuk mempertahankan ketertiban nasional dengan paksa.

Baca Juga :Klaim Berhasil Ciptakan Bayi Kembar Hasil Rekayasa Genetika yang Kebal HIV, Ilmuwan Ini Diburu Polisi

Salah satu manifestasinya, polisi menindak keras para gelandangan dan orang-orang yang dianggap berada di “luar” kelompok mereka.

Para Frikis menjadi salah satu target penertiban itu, lantaran mereka dianggap berbeda, dianggap melalaikan norma kehidupan di bawah sosialisme Kuba.

Lebih dari itu, mereka sering dilecehkan, ditangkap, dipenjarakan, atau dipaksa melakukan kerja kasar.

Nah, salah satu bentuk protes yang mereka lakukan adalah dengan menginfeksi diri mereka sendiri dengan HIV yang mereka ambil dari teman-teman Frikis mereka yang positif HIV.

Baca Juga :Memotret Sosok-Sosok Inspiratif di Pantura (2): Ayo, Ubah Stigma Terhadap Penderita HIV/AIDS

Bagaimanapun juga, ini sangat membingungkan.

Tapi dengan beragam alasan, apa yang dilakukan kelompok ini cukup beralasan.

Setelah runtuhnya Uni Soviet, Kuba relatif berjuang sendirian. Kondisi ini membuat negara yang terletak di Amerika Tengah itu mengalami krisis pangan yang secara fisik mengubah orang Kuba untuk selamanya.

Baca Juga :Penderita HIV/AIDS di Kabupaten Blitar Meningkat Tajam: 15 Orang per Hari, Kebanyakan Ibu Rumah Tangga!

Nah, di waktu yang sama, wabah AIDS semakin memburuk. Negara-negara di seluruh dunia pun segera mengendalikan penyebaran virus ini.

Yang paling kontroversial adalah yang dilakukan Kuba. Orang-orang dewasa di negara itu yang terjangkit HIV dimasukkan ke sanatorium untuk dikarantina.

Nah, dalam kondisi inilah para Frikis melihat ada kesempatan untuk melarikan diri dari masyarakat yang diskriminatif, yang berusaha merampas kebebasan mereka.

“Ia tahu, dengan menginfesi diri, ia akan dikirim ke sanitarium,”ujar Niurka Fuentes, bercerita tentang suaminya, seorang Frikis bernama Papo La Bala alias Papo si Peluru, kepada Vice.

“Ia tahu akan bertemu orang seperti dirinya di sana, polisi akan meninggalkannya, dan ia bisa menjalani hidupnya dengan damai.”

Menurut laporan Ranker.com, Papo menginfeksi dirinya dengan HIV menggunakan darah yang diperolehnya di sebuah konser.

Ia mengklaim, dirinya melakukan itu karena pemerintah Kuba tidak akan membiarkannya menjalani hidup dengan caranya, cara punk-nya.

Jadi ia akan melawan, bagaimanapun caranya.

Baca Juga :Tanaman Obat Tradisional Alami Anti-HIV Ternyata Banyak Terdapat di Indonesia

Lebih dari itu, ia sadar dengan konsekuensi yang akan ia tanggung di depannya.

Benar, daripada harus hidup di jalanan atau di tempat di mana mereka kerap dilecehkan dan dianiaya, para Frikis yang terinfeksi ini menemukan tempat di mana mereka dapat makan gratis, tempat tinggal, dan pengobatan.

Karena saking banyaknya Frikis yang dikirim ke sanitarium, tempat itu lantas menjadi surga punk.

“Anda bisa mendengar rock’n roll dan heavy metal yang keluar dari setiap rumah (di sanitarium),” ujar Yoandra Cardoso, seorang Friki yang kini tinggal di area bekas sanitarium.

“Ketika sanitarium dibuka pertama kali, 100 persen isinya Friki … kami semua bersama,” tambahnya.

Masih menurutVice, pada 1989, militer menyerahkan kendali sanitarium kepada Kementerian Kesehatan.

Dan di bawah metodologi progresif, para pasien yang tinggal di sana diperbolehkan mendengar dan memainkan alat musik, berpakaian sesuai selera, dan bersosialisasi dengan orang lain baik di dalam maupun di luar sanitarium.

“Kami menciptakan dunia kami sendiri di sana,” tambah Fuentas.

Kini, hampir seluruh sanitarium sudah ditutup. Kalaupun ada, fungsinya lebih untuk rawat jalan alih-alih tempat karantina.

(Moh. Habib Asyhad)

Baca Juga :Pengakuan Pemain Basket Earvin 'Magic Johnson' Ketika Menderita HIV: Saya Bukan Gay

Artikel Terkait