Advertorial
Intisari-Online.com – Tahun 90-an, pemain basket Amerika Serikat, Earvin ‘Magic Johnson’, ini sungguh terkenal dengan prestasi luar biasa. Namun, di bulan November tahun 1991, ia mengakui bahwa ia terinfeksi HIV.
Berikut ini pengakuannya yang disarikan dari buku My Life, Earvin ‘Magic Johnson’, dan dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1994.
Saya waktu itu bujangan berusia 20-an, pekerjaan saya sebagai pemain basket nasional amat menyita energi.
Dan, selalu berambisi untuk menang. Lagipula semakin lama saya bermain untuk NBA, semakin banyak wanita yang menguber-uber. Jadi, jatuhlah saya ke situ.
Baca Juga : Masih Bertahan Hidup, Inilah Kisah Magic Johnson, Atlet Basket yang Mengidap HIV
Siapa bilang cuma kekuasaan yang merangsang birahi? Kesuksesan, kemasyhuran, uang dan kemenangan juga.
Namun antara wanita dan basket, jelas saya pilih basket. Itu sebabnya selama ikut NBA saya tidak juga menikah, walau pun sudah lama berpacaran dengan Cookie.
Saya tak dapat membayangkan dapat menjadi pemain basket andal plus suami yang baik. Semua wanita yang pernah saya pacari juga selalu saya beritahu pagi-pagi: bagi saya basket adalah nomor 1.
Dan cuma Cookie yang benar-benar dapat mengerti dan menerima kenyataan itu.
Baca Juga : Sangat Mengerikan, dari Manakah Virus HIV Pertama Kali Disebarkan?
Jika tidak bertanding atau berlatih, kegiatan saya banyak. Pergi ramai-ramai dengan kawan-kawan menonton bioskop, konser, pergi ke disko dan kelab.
Bisnis saya banyak, saya juga cukup aktif dalam kegiatan amal misalnya saja menyelenggarakan acara piknik basket untuk anak-anak dan orang dewasa. Berkunjung ke sanak famili, berkencan dengan Cookie, atau sendiri saja.
Tentu saya juga sibuk "main-main", tapi sampai saya mengumumkan soal virus HIV yang ngendon di tubuh saya bulan November 1991, kebanyakan orang tak tahu.
Saya memang jarang membawa teman kencan di depan umum, karena sungkan pada Cookie.
Memang saya tahu ia tahu, tapi kan tak perlu demonstratif memamerkan di depan hidungnya. Itu pula sebabnya sebagian orang curiga jangan-jangan saya homo.
Apalagi setelah tahu saya mengidap virus HIV. Mereka terutama mencurigai hubungan saya dengan Isiah Thomas, karena kami sering berciuman sebelum pertarungan playoff.
Padahal itu ciuman sahabat, tak ada birahi sama sekali. Saya bukan gay.
Cerita di seputar petudlangan saya dengan wanita memang banyak dan beragam. Tentu saja kawan satu tim saya tahu. Kami kan selalu tinggal di satu hotel. Lagi pula mereka pun setali tiga uang dengan saya.
Baca Juga : Viral, Kabar Pisang Disuntikan Darah HIV, Benarkah HIV Ditularkan Dengan Cara Itu?
Di tahun 80-an, Lakers adalah tim yang terglamor dan terseksi di AS. Setiap kali bus kami masuk pekarangan hotel setelah suatu pertandingan, di lobinya sudah menanti 40 - 50 wanita.
Umumnya cantik, beberapa bahkan luar biasa jelita. Hampir semuanya dalam kondisi tubuh yang prima. Profesinya macam-macam: sekretaris, pengacara, banyak yang aktris dan model.
Ada pula guru, editor, akuntan, atau pengusaha. Ada sedikit yang perempuan jalanan, tapi umumnya profesional lulusan perguruan tinggi. Warna kulitnya pun bervarisai dari hitam, putih, sampai kuning.
Seringkali, bahkan sebelum check-in pun sudah ada selusin lebih pesan untuk saya di hotel. Yang terbanyak di New York. Memang wanita yang paling agresif adalah yang di kota-kota besar.
Ada pula yang membawakan kue, cake, atau bunga. Rekan-rekan yang sudah beristri sering membawa pulang bunga itu untuk istrinya.
Setiap hari ratusan surat harum tiba di Forum, tempat berlatih kami di Los Angeles. Tidak hanya itu, banyak pula yang lebih terang-terangan dengan mengirimkan foto diri tanpa busana, bahkan kaset video dan pakaian dalam!
Tapi saya tak pernah berani mengundang wanita ke kamar. Apalagi yang belum saya kenal, meski godaan banyak sekali. Bagaimana tidak ngeri.
Suatu kali seorang kawan yang bertemu penggemar di lobi, langsung mengajaknya tidur di kamar hotel. Ketika bangun esok paginya, tak cuma dompetnya menguap, celananya pun turut lenyap.
Baca Juga : Bocah Yatim Piatu Dikucilkan karena Idap HIV: Mengingat Cara 'Nekat' Putri Diana Hapus Stigma Terhadap ODHA
Rupanya si wanita menganggap kedua benda itu suvenir berharga. Jadilah kawan saya kalang-kabut mencari pinjaman celana training untuk naik bus ke bandara.
Ada lagi 2 rekan saya yang berkencan dengan 2 wanita cantik, yang ternyata ... pria, ada pula yang kena rampok. Tingkah-laku sesama pemain pun kadangkala tak disangka.
Seperti ketika suatu malam saya dikejutkan oleh isak tangis wanita di gang. Saya segera membuka pintu kamar saya, bersamaan seorang rekan yang rupanya juga mendengar. Di depan mata kami seorang wanita muda berurai air mata ... tanpa seutas benang pun di tubuhnya.
Ia seorang pelacur yang disewa salah seorang rekan. Ketika mereka bertengkar, rekan kami itu mengusirnya keluar kamar tanpa membayar. Kini ia minta tolong, bersediakah kami mengantarkannya ke mobil mucikarinya dan menceritakan apa yang terjadi?
Baca Juga : Kisah Pilu Anak dengan HIV Positif: Ibunya Meninggal, Ayahnya Pergi dan Keluarga Besarnya Menolak Merawatnya
Wah, kami berpandangan. Itu cara yang baik untuk bunuh diri! Pas saat itu seperangkat pakaian wanita beterbangan dari salah satu pintu kamar. Kami menghibur wanita itu, tapi sama sekali tidak mengantarkannya ke bawah.
Saya tidak pernah membeli seks dan sepengetahuan saya kejadian di atas itu amat langka. Saya sendiri tidak pernah bermain cinta bila pertandingan belum usai, atau bila keesokan harinya masih harus bertanding lagi.
Bahkan ada di antara kami yang karena kereligiusannya sama sekali emoh main-main wanita.
Wanita lipe saya? Saya suka yang dapat membuat saya tertawa, yang percaya diri, yang punya wibawa, yang pintar mengobrol.
Baca Juga : Viral Curhatan Seorang Wanita Kena HIV Karena Sering Facial, Mungkinkah Hal Itu Terjadi?
Saya betul-betul angkat tangan bila harus berhadapan dengan wanita, walau cantiknya bak bidadari, yang bisanya cuma berhaha-hihi.
Soalnya kencan selagi dalam tur begini sebenamya bukan soal seks melulu. Ini adalah cara saya bersantai dan mengusir sepi.
Tapi umumnya wanita pintar bicara. Kalaupun tidak, mereka senang bertanya. Apa saja mereka tanyakan, sampai soal pendapatan. Kadang-kadang saya merasa bagi mereka honor saya lebih menarik daripada saya sendiri.
Masalahnya, para wanita ini melakukan sesuatu yang selama ini telah dilakukan kaum lelaki terhadap kaum mereka. Bagi mereka kami obyek seks semata.
Yang paling menantang adalah bagaimana bisa mendapatkan kami. Namun ada pula yang menganggap kami pemuas fantasi.
"Main" dengan pria berduit, beken lagi, kan asyik! Bila sedang pacaran, saya selalu bercerita tentang Cookie kepada mereka. Entahlah, sebagian dari diri saya tak bisa lepas dari Cookie. Mungkin itulah si Earvin.
Sedangkan sisi "Magic" saya tetap saja getol berhura-hura dengan para makhluk cantik ini.
Setelah hubungan sempat putus beberapa kali, akhirnya saya menikahi Cookie pada 14 September 1991, hanya 2 bulan sebelum saya mendapat berita buruk tentang virus HIV itu.
Nyatalah saya memperolehnya dari salah seorang teman kencan saya, tapi entah yang mana.
Saya cukup prihatin memikirkan ada wanita yang terjangkit virus itu melalui saya.
Sebelum pengumuman kenyataan itu, saya sempat menelepon beberapa teman wanita saya. Syukurlah, sepengetahuan saya belum ada yang terkena seperti saya. (LW)
Baca Juga : Dari Ebola Sampai HIV, Inilah 9 Virus Paling Mematikan di Dunia, Pernah Bunuh Jutaan Orang!