Find Us On Social Media :

Kelimutu, Danau yang Bisa Berubah Bak Lautan Kecap

By Aulia Dian Permata, Sabtu, 12 Januari 2019 | 07:15 WIB

Roh leluhur menjadi muara dari setiap keadaan yang menimpa suku Lio. Oleh sebab itu, musalaki dan segenap suku Lio mengadakan upacara adat Pati Ka Dua Bapu Ata Mata tiap tahun, tepatnya pada 14 Agustus.

Upacara ini awalnya digagas oleh pengurus Taman Nasional Kelimutu dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ende. Pati Ka Dua Bapu Ata Mata artinya memberi makan untuk roh orang yang sudah mati, atau roh leluhur di danau.

Upacara adat ini diawali dengan berkumpulnya para pemangku adat dari kampung sekitar Kelimutu.

Pertama, pada 14 Agustus para pemangku adat berkumpul untuk memberi doa pada sesajen yang akan diantar ke mulut danau.

Upacara adat Pati Ka Dua Bapu Ata Mata berlangsung selama 3 hari, dari tanggal 14 hingga 16 Agustus. Hari kedua, tanggal 15 Agustus dilanjutkan dengan pementasan sanggar seni dari masing-masing desa.

Acara hari terakhir diisi dengan Gawi bersama-sama. Gawi adalah tarian tradisional suku Lio yang memiliki arti persatuan tanpa batas. Tarian ini dilakukan seluruh peserta upacara adat dengan cara saling berpegangan tangan dan membentuk lingkaran tanpa putus yang menandakan kebersamaan.

Rangkaian upacara adat ini memang sengaja diatur menjelang tanggal 17 Agustus untuk mengenang Presiden Soekarno.

Baca Juga : Bertamasya Menyintas Waktu ke Zaman Manusia Purba di Sangiran

Bagaimanapun juga, Kota Ende—juga Danau Kelimutu—tidak bisa lepas dari sosok Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia yang sempat diasingkan di kota ini.

Oleh karena itu, selain untuk menghormati para leluhur, Pati Ka Dua Bapu Ata Mata juga bertujuan untuk memohonkan keselamatan bangsa.

Selain menjadi kewajiban suku Lio untuk para leluhurnya, upacara adat ini diharapkan bisa menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.

Danau Kelimutu juga terkenal sebagai lokasi terbaik di Ende untuk menikmati matahari terbit. Matahari terbit di Danau Kelimutu terkenal sangat cantik.