Find Us On Social Media :

NH Dini: Nama Beken Bukan Jaminan Mudahnya Menerbitkan Buku

By K. Tatik Wardayati, Rabu, 5 Desember 2018 | 14:00 WIB

Akhirnya. tahun 1951, aku mendapat kesempatan juga untuk membacakan prosa dan puisiku itu  di RRI. Waktu itu aku mendapat honor Rp 7.500.

Karena puisiku makin banyak, setahun kemudian, kuberanikan diri mengirimkannya ke majalah, koran, dan sebagian lagi kukirim ke RRI Programa Nasional di Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Setahun berikutnya, sajak-sajakku mulai menghiasi majalah Gadjah Mada dan Budaya di Yogyakarta.

Dari honorku, aku memiliki uang jajan yang lebih dari cukup untuk ukuran anak SMP saat itu. Oh, ya, dari honor pertamaku aku juga bisa membeli ban sepeda.

Baca Juga : Di Balik Kekejamannya, Ternyata Saddam Hussein Pernah Menulis Novel Romantis yang Bisa Anda Beli di Amazon

Pendek kata, aku sudah bisa menghidupi diri sendiri. Waktu itu nama samaranku belum Nh. Dini, tetapi Hasri, dari Hardini Sri.

Dengan dimuat di koran, majalah, dan didengarkan orang lewat RRI, karya-karyaku pun diapresiasi orang.

Wah, aku bangga sekali, lo. Setahun berlalu, aku mulai kecewa. Pasalnya, penafsiran orang terhadap puisi-puisiku selalu berbeda dengan yang kumaksud.

Jadi, buat apa aku menulis puisi kalau pada akhirnya malah mengecewakanku?

Baca Juga : Benarkah Kediktatoran Korea Utara Terinspirasi dari Sebuah Novel?

Bagaimanapun, kegiatan mengarang puisi itu juga menarik minat teman-teman sekolahku.

Banyak dari mereka yang kemudian mengikuti jejakku mengirimkan puisinya ke majalah atau koran.