Find Us On Social Media :

Inilah Harmoni Di Balik Hari Raya Nyepi, Nyaris Tanpa Suara dan Gerak

By Yoyok Prima Maulana, Jumat, 16 Maret 2018 | 20:30 WIB

Hari yang dirayakan sebagai hari raya Nyepi itu merupakan hari pertama alias awal tahun baru Saka 1 Waisakha.  Hari raya ini menjadi unik, karena tahun baru ini tidak dirayakan di India, tempat lahirnya agama ini, atau di Nepal, satu-satunya negara Hindu di dunia.

Namun tidak berarti perayaan Nyepi melanggar akidah, karena pelaksanaan ajaran agama Hindu yang disesuaikan dengan kekayaan tradisi setempat malah dianjurkan. Nyepi membawa misi menjadikan alam semesta bersih, serasi, selaras, dan seimbang bagi kesejahteraan umat manusia.

Di tengah keheningan alam itu, seluruh umat Hindu mengurung diri di rumah atau di tempat-tempat suci tanpa melakukan apa-apa yang berbau duniawi. Yang mereka lakukan semata- mata hanyalah menyepi, menyendiri, merenung tentang alam semesta tempat hidupnya, tentang hubungan antarmanusia, tentang hubungannya dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan).

Mereka seakan-akan mementaskan "teater" mahadahsyat. Selama 24 jam penuh manusia diajak menikmati alam dalam suasana hening tanpa suara, tanpa gerak, dan tanpa cahaya.  Manusia diajak untuk berada dalam kehampaan, mendengar keheningan, serta menatap kegelapan dalam suasana nir, suasana "tanpa".

BACA JUGA: 

Seluruh umat Hindu juga memanfaatkan hari itu untuk menyucikan diri dari segala kotoran duniawi. Itu ditempuh dengan melakukan tapa (mengekang indera), brata (taat pada janji melaksanakan yoga), yoga (menyatukan diri dengan Tuhan), dan semadhi (memusatkan pikiran untuk mencapai kebahagiaan sejati).

Bersamaan dengan itu umat mengevaluasi perilaku diri sendiri sepanjang tahun lalu. Apakah segala tindak-tanduk telah sesuai dengan dharma (ajaran agama)? Apakah artha (kekayaan) telah diperoleh dengan cara dharma dan untuk memperkokoh dharma? 

Apakah kama (kesenangan) yang telah dinikmati juga berlandaskan dharma? Kalau ada yang tidak sesuai dengan dharma, tentunya mesti ditinggalkan. Sebaliknya, yang sesuai dengan dharma sebisa mungkin dilanjutkan.

Supaya perenungan berjalan dengan baik, umat melaksanakan brata penyepian, yang meliputi amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak melakukan kegiatan duniawi), amati  lelangunan (tidak mencari kesenangan duniawi), dan amati lelunganan (tidak bepergian).

BACA JUGA: 

Pelaksanaan brata penyepian bagi umat Hindu di luar Bali agak berbeda. Bagaimana mungkin mematikan penerangan di rumah tetangga, melarang kendaraan berlalu-lalang, meminta tetangga tidak membunyikan radio, tape recorder, atau TV? Karena itu pelaksanaan brata penyepian hanya sebatas di tempat tinggalnya sendiri.

Usai melaksanakan brata penyepian selama 24 jam penuh, seperti layaknya umat Islam di hari raya Idul Fitri, mereka bersilaturahmi saling memaafkan. Kegiatan itu dikenal ngembak agni, labuh brata, atau labuh puasa. Sejak itu warga Hindu memasuki hidup baru.