Find Us On Social Media :

Inilah Harmoni Di Balik Hari Raya Nyepi, Nyaris Tanpa Suara dan Gerak

By Yoyok Prima Maulana, Jumat, 16 Maret 2018 | 20:30 WIB

Intisari-Online.com – Pada Hari Raya Nyepi Sabtu, 17 Maret, selama 24 jam penuh, umat Hindu hidup dalam diam, hening, dan gelap. Ada kegaitan apa di balik itu?

Kalau sempat berkunjung ke salah satu kota di Bali pada hari Raya Nyepi itu, Anda akan merasakan suasana yang lain dari biasa. Jalanan kosong dan sepi. Gonggong anjing menjadi nyaring meski di siang bolong.

Udara segar nyaris tanpa asap yang biasa menyembur dari knalpot kendaraan bermotor. Warung-warung, kedai-kedai, toko-toko, pasar swalayan, menutup pintunya rapat-rapat.

Bila malam tiba, Bali menjadi hitam. Gelap gulita. Nyaris tidak ada sinar lampu setitik pun. Seluruh pintu gerbang masuk ke pulau ditutup sejak tengah malam sebelumnya.

BACA JUGA: 

Pulau yang biasa dipadati manusia dari berbagai bangsa itu seperti pulau mati tak berpenghuni. Suasana magis terasa semakin pekat.

Mobil ambulans, kendaraan antar-jemput tamu hotel, dan kendaraan ABRI, termasuk kepolisian, dengan dispensasi khusus, hari itu boleh merdeka tanpa diganggu kemacetan.

Hanya kendaraan-kendaraan seperti itu yang diizinkan berjalan. Termasuk wartawan yang mengantungi izin khusus.

Aturan memang berkata demikian. Selain pecalang, tidak ada umat lain yang dapat menyaksikan secara langsung lengang dan gelapnya Bali. 

BACA JUGA:

Dengan berpakaian adat, pecalang yang ditunjuk oleh warga desa adat memang diberi tugas menjaga keamanan setiap sudut desa.

Mengawasi dan “menghalau masuk” warga atau orang asing yang kedapatan melanggar ketentuan adat, tidak boleh keluar dari tempat tinggal.

Nyaris tanpa gerak dan suara