Find Us On Social Media :

Wow, Sekolah Anak Para Petinggi Google dan iPhone Ini Ternyata Malah Mengharamkan Gadget

By Yoyok Prima Maulana, Minggu, 18 Februari 2018 | 12:45 WIB

“Sangat mudah. Itu seperti belajar menggunakan pasta gigi,” kata Eagle. “Di Google dan semua perusahaan pembuat teknologi digital, kami membuat teknologi segampang mungkin. Bahkan tak perlu berpikir sampai mengkerut. Tak ada alasan anak-anak tak bisa melakukan hal itu ketika mereka dewasa.” Seperti jargon Nokia ketika jaya, “Teknologi yang mengerti Anda.”

Prinsip Waldorf tak hanya diamini orangtua yang anaknya sekolah di situ. Namun banyak orangtua yang setuju dan menyekolahkan anaknya di sekolah yang terinspirasi oleh prinsip-prinsip pendidikan Waldorf. Di California ada 40 Sekolah Waldorf, termasuk yang besar “Mungkin dikarenakan gerakan itu bermula dari sini,” kata Lucy Wurtz.

Bersama suaminya, Brad, Lucy membantu berdirinya SMA Waldorf di Los Altos tahun 2007. Brad Wurtz merupakan chief executive Power Assure, yang produknya bertujuan untuk mengurangi beban energi pada pusat data komputer. Untuk bersekolah ke Waldorf tentu butuh uang tak sedikit: biaya tahunan Waldorf di Lembah Silikon adalah AS$17.750 untuk TK sampai kelas 8 dan AS$24.400 untuk SMA.

Kata Lucy, ada bantuan keuangan bagi mereka yang kurang mampu. Menurut Lucy, orangtua murid Waldorf kebanyakan berpikiran moderat dan berpendidikan tinggi. Mereka punya pandangan tersendiri soal pendidikan. Mereka juga memiliki pengetahuan kapan mereka siap memperkenalkan anak mereka dengan teknologi. Mereka memiliki akses dan keahlian di rumah.

Murid-murid sendiri merasa tidak terasing dengan teknologi. Andie Eagle dan teman-temannya di kelas lima berterus terang bahwa mereka sesekali menonton film. Salah seorang gadis, yang ayahnya bekerja sebagai insinyur di Apple, malah sering diminta ayahnya untuk menguji coba permainan yang sedang dibikin ayahnya. Seorang murid lelaki bermain program simulasi penerbangan di akhir pekan. 

Namun, sikap antigawai anak-anak Waldorf itu bikin mereka frustrasi ketika bersosialisasi dengan masyarakat umum. Terutama mereka yang sibuk dengan ponsel dan perangkat digital lainnya. Aurad Kamkar (11) bercerita belum lama ini mengunjungi sepupunya dan mendapatkan dia duduk sendirian di kelilingi lima saudaranya yang asyik dengan gawai mereka masing-masing, tanpa menghiraukan dirinya.

Ia pun mulai melambaikan tangan dan berkata kepada mereka, “Halo semua, saya ada di sini.” Lain lagi dengan pengalaman Finn Heilig (10) yang ayahnya bekerja di Google. Ia mengemukakan alasan mengapa lebih suka belajar menggunakan bolpoin dan kertas daripada di komputer.

“Saya dapat memantau kemampuan saya tahun demi tahun. Saya bisa melihat ke belakang dan melihat bagaimana acakadutnya tulisan saya ketika kelas satu. Nah, kita tak bisa melakukan hal itu di komputer karena semua huruf sama,” kata Finn. Selain itu, jika kita belajar menulis di kertas, kita masih tetap dapat menulis meskipun komputer bermasalah atau listrik sedang mati. (YDS)

BACA JUGA: