Find Us On Social Media :

Wow, Sekolah Anak Para Petinggi Google dan iPhone Ini Ternyata Malah Mengharamkan Gadget

By Yoyok Prima Maulana, Minggu, 18 Februari 2018 | 12:45 WIB

Para murid secara rutin belajar dan bermain di tanah lapang atau lahan bercocok tanam milik sekolah. Ya, berbecek-becek dan main lumpur. Aktivitas yang bisa jadi hanya dilakukan di sekolah-sekolah biasa sekali setahun ketika melakukan karyawisata atau diajak keluarga. 

Bahkan pelajaran kerajinan tangan atau prakarya masih diajarkan di sekolah ini. Seperti yang dilakukan oleh Andie, putri Eagle tadi. Ia terlihat asyik membuat kaos kaki. Merajut, menurut salah seorang guru di Waldorf seperti dikutip dari The New York Times, mampu membantu anak-anak belajar memahami pola dan matematika. Menggunakan jarum dan benang dapat mengasah kemampuan murid-murid memecahkan masalah dan belajar koordinasi.

Anak-anak pada dasarnya memiliki rasa ingin tahu yang besar, selalu memandang dengan kaca mata optimistis, ulet, kreatif, penuh cinta kasih, berdaya cipta, dan mudah beradaptasi. Para pendidik di Waldorf sadar bahwa peran sekolah adalah untuk memelihara dan mengembangkan kualitas-kualitas tadi sehingga anak-anak itu dapat tumbuh sesuai kapasitasnya di masa depan.

Pendidikan modern - di sisi lain - berfokus pada akademik saja dan melupakan sifat-sifat penting yang membentuk tumbuh kembang anak. Misalnya saja perkembangan perasaan positif (emosi, estetika, dan kemampuan bersosialisasi), keinginan positif (percaya diri dan kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik), dan kekuatan nilai dalam diri yang dapat melihat benar dan salah.

  Pelajaran merajut

Sekolah Waldorf memang kemudian memunculkan pertanyaan seputar peran serta komputer dalam pendidikan. Namun, coba dengar omongan Eagle yang tak hanya putrinya, namun juga putranya – William (13) – sekolah di Waldorf. “Gagasan bahwa sebuah aplikasi di iPad dapat mengajar anak saya untuk membaca atau menyelesaikan soal aritmetika dengan lebih baik sangat menggelikan.” 

Seperti sudah disebut tadi, Eagle adalah petinggi Google. Ia yang menulis pidato bosnya, Eric E. Schmidt. Gelar yang diraihnya adalah ilmu komputer dari Dartmouth di Hanover, New Hampshire, AS. Ia pengguna iPad dan ponsel pintar.

Akan tetapi, ia bilang bahwa Andie belum tahu bagaimana menggunakan Google. Sedangkan William sedang belajar soal itu. Ini sesuai dengan kebijakan di Waldorf yang baru mendukung penggunakan gawai secara terbatas pada kelas delapan. Sekitar 3/4 murid di Waldorf memiliki orangtua yang bersinggungan kuat dengan teknologi tinggi. Eagle tak melihat itu sebagai sebuah kontradiksi. Teknologi, baginya, memiliki ruang dan waktu tersendiri.

“Jika saya bekerja di Miramax dan membuat film yang bagus, penuh sentuhan seni, namun termasuk film dewasa (rated R), tentu saja saya tak akan membolehkan anak-anak saya menontonnya sampai mereka usia 17 tahun.” Melihat apa yang dikerjakan murid-murid Waldorf, mereka yang pernah bersekolah di sekolah dasar sekitar tahun 1980-an akan teringat masa-masa sekolah. Seperti yang dilakukan oleh Andie Eagle dan teman-temannya di kelas lima.

Mereka sedang mengasah kemampuan merajut! Gulungan benang tertarik-tarik ketika jari-jari mungil itu memainkan jarum membentuk (calon) kaos kaki. Diyakini aktivitas ini membantu mengembangkan pemecahan solusi, peneladanan, kemampuan matematika, dan koordinasi saraf.

BACA JUGA: 

Di kelas dua, murid-murid berdiri dalam sebuah lingkaran belajar soal kemampuan berbahasa dengan mengulang kata-kata yang diucapkan gurunya, sembari mereka bermain lempar tangkap sebuah benda. Aktivitas ini bertujuan untuk menyelaraskan antara tubuh dan otak. Di sekolah ini, seperti di kelas lain, hari belajar dimulai dengan hafalan atau ayat-ayat tentang Ketuhanan yang mencerminkan sebuah penekanan nondenominasional pada keilahian.