Find Us On Social Media :

Sama-sama Berpatokan pada Bulan, Tahun Baru China dan Islam Kok Bisa Beda?

By Yoyok Prima Maulana, Kamis, 15 Februari 2018 | 18:30 WIB

Lama bulan kabisat 29-30 hari juga. Penambahan dilakukan setiap 2,7 tahun sekali. Jadi, ada satu tahun dalam kalender Tionghoa yang punya 13 bulan.

Dengan cara itu, selisih 11 hari dengan kalender Masehi bisa diatasi, dan tahun baru Tionghoa tetap jatuh pada musim semi.

BACA JUGA: (Foto) Kisah Memilukan dari Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Everest

Cermin peradaban

Mengapa orang Tionghoa memasukkan unsur musim, sementara Islam melarang?

Penjelasannya bisa hanya mutlak pada faktor kepercayaan, tetapi juga bisa dibahas secara antropologis.

Secara kepercayaan, masyarakat Tionghoa punya keyakinan bahwa tahun baru harus jatuh pada musim semi, saat musim panen tiba.

Musim semi dinilai sebagai momen keberuntungan.

Sementara itu, dalam Islam, memasukkan unsur musim seperti dilakukan dalam kalender Tionghoa atau masa Quraisy dianggap haram dan mengulur-ulur waktu.

BACA JUGA: Benarkah Hujan Saat Imlek Pertanda Hoki? Atau Hanya 'Kebetulan'?

Jika puas dengan penjelasan kepercayaan, mungkin kita lantas menghakimi budaya yang lain. Namun, jika memahami latar belakang budaya, kita bisa belajar tentang toleransi.

Bagi masyarakat Tionghoa, musim memang penting.

"Tiongkok merupakan bangsa agraris. Jadi, memasukkan unsur musim itu penting," ungkap Hakim.

Sebaliknya, tanah Arab adalah gurun, tak mungkinlah bertani. Arab merupakan wilayah dagang sehingga musim menjadi tak terlalu penting bagi penduduknya. (Yunanto Wiji Utomo)

BACA JUGA: Inilah Shio dan Jam Kelahiran yang Punya Peruntungan Bagus di Tahun Anjing Tanah 2018

Artikel ini pernah tayang di Kompas.com dengan judul "Sama-sama Berbasis Bulan, Mengapa Tahun Baru Kalender Tionghoa dan Islam Beda?"