Find Us On Social Media :

Saat Keris (Masih) Menjadi Lambang Kesempurnaan dan Kejantanan para Pria Jawa

By Ade Sulaeman, Selasa, 30 Januari 2018 | 16:00 WIB

Intisari-Online.com – Masyarakat Jawa sekarang ini memang masih mewarisi sistem nilai tradisionalnya.

Namun, penghayatan terhadap sistem nilai tersebut meski di sana sini masih kuat, harus pula diakui banyak yang luntur.

Mereka sudah tidak memakai keris kesana kemari sebagai kelengkapan busana.

Juga tak lagi memandang keris sebagai bagian dari kebudayaan yang berfungsi memelihara keselarasan dan keseimbangan jagad.

(Baca juga: Kisah Windi, Anak 'Bodoh' yang Bisa Menggambar dengan Sangat Indah. Karena Kecerdasan Bukan Hanya Soal IQ!)

Kalaupun masih ada sisa-sisa priayi Jawa yang sedikit mewarisi sistem nilai lama, mereka mungkin hanya memandang keris terutama sebagai asesori busana pada waktu pesta.

Tak banyak yang menyimpan warisan keris pusaka dari leluhurnya sebagai penjaga keselamatan rumah tangga.

Sistem kepercayaan serta tempat mereka dalam jagad tak lagi membangun  ikatan yang khas antara keris dengan mereka.

Apalagi kegiatan pembuatan keris pusaka di tanah Jawa,  sempat berhenti total semenjak Jepang masuk.

“Waktu itu pesanan tidak ada dan kalaupun ada mencari bahan mentahnya pun sulit," aku Jeno.

Untung, masih ada sedikit orang yang merasa terpanggil untuk ngun-nguri budaya Jawa.

"Kalau nasib keris dibiarkan terlantar berkepanjangan, lama-lama bisa cures (hilang)," ujar KRT Hardjonagoro, salah satu dari segelintir orang tersebut.

Langkah awal Hardjonagoro untuk membangkitkan lagi budaya perkerisan adalah dengan mendirikan perkumpulan Bowo Rasa Tosan Aji (1957) dengan dukungan Pangeran Hadiwidjoyo dari Keraton Surakarta.

(Baca juga: Sepertinya Indonesia Belum Siap Menerima Orang Super Cerdas, Buktinya 'Anak Ajaib' dari Surabaya Ini Justru Pernah Dibawa ke Dokter Jiwa)

Selanjutnya dengan bantuan Ford Foundation, Hardjonagoro membangun besalen (bengkel kerja pandai besi) Empu. Jeno di Yogya, diikuti dengan besalen-besalen lain di kawasan Surakarta.

Bowo Rasa Tosan Aji semula adalah satu-satunya perkumpulan peminat keris di Jawa saat itu sebelum kemudian diikuti Pametri Wiji di Yogya (1980-an), dan disemarakkan dengan kegiatan Alm. H. Mas Agung di Jakarta.

Meski tak mampu membangkitkan lagi masa kejayaan keris, paling tidak upaya di atas bisa mengingatkan lagi eksistensi keris sebagai salah satu bentuk budaya bangsa.

Meskipun di lain pihak dalam konteks kekinian, keris adalah suatu senjata biasa ciptaan   manusia  yang karena karunia Allah memiliki bakat, ilmu dan keterampilan teknologi yang tinggi.

Seperti kata Budayawan Dr. Umar Kayam, keris adalah alat profan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan si pemilik (Citra Yogya, Juli – Agustus 1989).

Apalagi dalam perkembangannya kemudian,  benda ini semakin bergeser fungsinya, tak lagi sebagai pusaka melainkan sudah menjadi semacam barang komoditi cendera mata.

Bukan hal yang gampang memilih cara untuk menyelamatkan keris. Barangkali cara yang menarik dan efektif untuk menumbuhkdn apresiasi generasi muda terhadap keris, adalah dengan memusatkan pada informasi tentang kecanggihan dan keindahan teknologi keris, tanpa harus diembel-embeli  lagi dengan aspek magis atau mistik terhadapnya.

Agar informasi itu menarik tentu harus lengkap dan ilmiah, bahkan secara implisit mengandung strategi untuk menanamkan kesadaran bahwa keris adalah warisan budaya yang cukup tinggi nilainya untuk tetap dipelihara.

Karena upaya apresiasi keris lewat mistik apalagi klenik hanya akan membuat apresiasi itu menemui jalan buntu.

Sepuh, Wutuh, dan Tangguh

Bagi kalangan masyarakat Jawa, keris atau bahasa sakralnya curiga, merupakan salah satu dari lima simbol kesempurnaan yang harus dimiliki seorang lelaki zaman dulu.

Lima simbol itu adalah wisma (rumah), wanito (istri), kukila (burung), turangga (kuda) dan curiga (keris).

Oleh karena itu keris sering-juga dipakai sebagai simbol jati diri sang pemilik. Tak heran, dalam pesta perkawinan zaman dulu, kalau si pengantin pria beralangan datang, ia sah saja mengirimkan kerisnya sebagai ganti untuk bersanding dengan mempelai wanita.

"Sebenarnya keris itu juga lambang kejantanan. Rahasia lelaki ada di tulang punggung. Karenanya keris dipakai di belakang agar tulang punggung tegak berdiri di atas penyangga ilmu yang terkandung di dalam keris tersebut," ujar Damardjati Supajar, ahli filsafat Jawa, UGM.

Begitu pentingnya benda ini sehingga untuk memilih sebuah keris yang bagus orang harus memperhatikan tiga tuntunan yakni sepuh, wutuh dan tangguh.

Sepuh, atau tua. Maksudnya perlu diyakini kepastian tua tidaknya keris. Jangan sampai terbeli keris yang sebetulnya muda, tapi hanya karena proses kimiawi nampak kelihatan tua.

Dari segi filosofinya, sepuh dalam kehidupan manusia adalah saat seorang lelaki dan wanita berjanji untuk bersatu dalam hidup perkawinan.

Pertemuan ini dilambangkan dengan konsep nitis, netes dan netesing wiji manusia. Dari sini nampak bahwa seks dalam konsep Jawa yang  tercermin dalam kualitas sebuah keris tinggi sekali derajadnya.

Wutuh, keris yang baik harus utuh tanpa cacat sedikit pun. Meski bahan baku keris itu bagus, ukirannya indah, kalau ada aus terutama di bagian bilahnya, jangan dibeli.

Keris yang dianggap tidak utuh menurut pakem perkerisan, antara lain telah patah atau tergores bilahnya, patah kembang kacangnya, ujung ganja atau pesinya (bagian dari tangkai keris).

Dari sisi filsafatnya, terkandung makna bahwa keris itu harus bisa memelihara keutuhan persatuan pria dan wanita tersebut. Jangan sampai terbawa pengaruh angin barat (budaya Barat yang paham seksualnya lebih liberal).

Tangguh, artinya keris harus jelas dari mana asal muasalnya dan siapa pemiliknya. Perlu diketahui juga kenapa keris itu dijual. Kalau mau beli, selidiki latar belakang keluarga si pemilik sebelumnya.

Bila ternyata keluarga pemilik keris itu berantakan, sebaiknya urungkan pembelian keris tersebut. Sebab, bisa jadi keluarga Anda akan terbawa susah. Ingat kisah keris Empu Gandring yang kesohor.

"Tangguh itu artinya baik. Kalau orang berani menyimpan dan memakai keris, perbuatannya ya harus baik agar selamat,” ujar Damardjati.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1991)

(Baca juga: Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak)