Advertorial
Intisari-Online.com – Itulah yang terjadi. Keampuhan keris atau curiga pusaka semacam Nagasasra Sabuk Inten kini semakin tenggelam oleh gelombang modernisasi produk teknologi maju.
Bahkan menjadi barang kodian yang diperlakukan sebagai cendera mata. Keris, warisan tradisional yang esoterik makna kultural dan mistiknya ini, nampaknya nyaris ditinggalkan orang.
Sebelum nasib keris tenggelam, inilah cerita keris seperti yang dilaporkan B. Soelist, I Gede Agung Yudana, dan Djati Surendro.
--
(Baca juga: (Foto) Apa Jadinya Jika Para Pemimpin Dunia 'Nyontek' Gaya Rambut ala Pasha 'Ungu'? Inilah Hasilnya)
Malam itu di penghujung tahun 1951 rumah Pak Tukino (bukan nama sebenarnya) di kawasan Garut Selatan, Jawa Barat, sepi-sepi saja. Di tengah kegelapan, empat bayangan hitam bertopeng mengendap-endap mendekati.
Tanpa menimbulkan kegaduhan kawanan perampok itu berhasil masuk rumah dengan cara mencungkil jendela. Karena semua penghuni tertidur lelap, dengan mudah mereka beraksi menguasai keadaan.
Tuan rumah diikat di kamar tidur utama. Anak mereka yang 6 orang disekap dalam kamar yang lain. Para perampok lantas mengemasi semua barang berharga.
Masih belum puas, dua di antaranya mendatangi tuan rumah dan mengancam agar ditunjukkan tempat penyimpanan perhiasan.
Rupanya istri tuan rumah tak tahan ancaman, lalu memberitahukan bahwa semua perhiasannya ditaruh di laci rak paling atas lemari pakaiannya.
Segera dua perampok membuka lemari dan menarik laci yang ditunjukkan. Anehnya, pada saat itu juga kedua perampok tiba-tiba tersentak kaget. Setelah tertegun sesaat keduanya lari ketakutan menghambur ke luar, lantas kabur.
Perbuatan kedua perampok itu diikuti rekannya yang lain. Mereka menghilang ditelan malam, meninggalkan barang jarahannya.
Ketika akhirnya berhasil diringkus, seorang di antaranya mengaku, ketika membuka laci mereka melihat seekor ular besar melingkar di laci tersebut di atas tumpukan berkas-berkas surat.
(Baca juga: (Video) Penuh Haru, Keluarga Arab Lepas Kepulangan TKW Indonesia yang Sudah 33 Tahun Bekerja Dengan Mereka)
Kepala ular itu tegak, mulutnya menganga siap memagut. Gantian Pak Tukino terheran-heran. la merasa sama sekali tidak memelihara seekor binatang pun di rumahnya.
Setahu dia, yang tergeletak di laci lemari pakaiannya hanya sebilah keris pemberian seorang lurah desa, kira-kira sebulan sebelum peristiwa itu terjadi.
Asal tahu saja, keris itu berdapur Tilam Upih, pamor Ngulit Semangka, tangguh Tuban (Bambang Harsrinuksmo: Mengungkap Rahasia Isi Keris).
Kisah mistik di seputar keris dialami juga oleh KRT Hardjonagoro (62), seorang budayawan Jawa asli Solo, ahli keris. Suatu ketika adiknya membuat keris untuk calon bayinya yang akan dilahirkan.
KRT Hardjonagoro mengusulkan keris berpamor Brojol. Anehnya, saat membuat keris terjadi sedikit keganjilan.
Proses pembuatan pamor di pangkal keris selalu gagal karena rusak, leleh dan tak berbentuk. Meski demikian alur pamor yang lurus ke ujung keris bisa bagus.
Temyata keanehan keris ini tercermin dalam kehidupan jabang bayi. Buktinya, proses kelahirannya tak berjalan mulus.
Si bayi harus keluar lewat operasi caesar. Tak hanya itu, dalam usianya yang masih muda, sekitar 3 tahun, anak ini mengalami penyakit aneh.
Hampir setiap tahun masuk rumah sakit. Rata-rata selama sebulan. Tapi dengan pengobatan maksimal melalui penanganan tim dokter, akhirnya penyakitnya bisa disembuhkan.
"Namun, sampai sekarang anak tersebut tak pernah sakit lagi. Saya lantas merenungkan, kisah keris itu cocok dengan semua peristiwa dan kejadian yang menimpa si bocah," ujar Harjonagoro, pendiri Perkumpulan Penggemar Keris, Bowo Rasa Tosan Aji, Solo.
Paham Magis-Religius
Dua kejadian mistis di atas paling tidak bisa dijadikan contoh, bahwa apresiasi tentang keris pada masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, berkaitan erat dengan aspek budaya tradisional yang mengacu pada paham magis-religius.
Ditilik dari sejarah, sistem kepercayaan lama Jawa sangat menekankan pada pandangan di mana jagad adalah sesuatu yang utuh, ditopang oleh unsur-unsur yang memiliki roh atau kekuatan yang kesemuanya berfungsi menjaga keselarasan.
Oleh karena itu dapat dibayangkan dan dimengerti bagaimana keris memiliki kedudukan yang penting di masyarakat, baik dalam artian sakral dan magis maupun artian estetik teknologi.
Kisah Ken Angrok dan Empu Gandring sekaligus menceritakan kedudukan magis dari keris, baik sebagai senjata pusaka maupun sebagai penyelaras kehidupan, serta kedudukan magis sang empu pembuatnya.
Betapa besar arti pusaka di zaman dulu terbukti dari munculnya legenda-legenda di seputarnya yang seakan dilebih-lebihkan, guna menyakinkan kehebatannya.
Selain kisah Keris Cangkring karya Empu Gandring, yang tak kalah hebatnya adalah Keris Kyai Sengkelat milik Sunan Kalijaga. Semula Empu Supa yang bertugas membuat keris ini bingung, karena Sunan hanya memberi logam sebesar biji asem sebagai bahan mentah.
Seakan tahu keraguan sang empu, ketika mau ditempa tiba-tiba bahan mentah itu menjelma menjadi bukit. Toh, akhirnya jadi juga sebilah keris berluk 13 dengan tangguh Majapahit.
Nantinya Kyai Sengkelat ini bersama dengan mahakarya lainnya, Keris Sabuk Inten, berhasil menumpas wabah penyakit (pageblug) di kawasan Demak yang disebarkan keris jahat bernama Kyai Condongcampur.
Sejak kapan keris muncul
Tidak seorang pun tahu pasti kapan keris mulai dikenal orang. Yang jelas senjata tikam ini sudah tua usianya. Lahir dari perkembangan senjata tusuk zaman prasejarah dari tulang binatang.
Sementara ini, lewat data arkeologi, bukti kongkret tertua tentang keris masih berpatokan pada relief Candi Borobudur dan Prambanan abad ke-9 M. Apalagi ketika stupa induk Borobudur dibongkar, ditemukan sebilah keris berukuran panjang 28,3 cm, lebar 4,8 cm.
Anehnya, temuan itu jauh berbeda dengan bentuk keris yang terukir pada relief candi. Dengan kata lain, keris itu tak sezaman dengan masyarakat pendiri Borobudur.
Penelitian kemudian memang memperlihatkan temuan keris berbentuk lurus yang kini tersimpan di Museum Etnografi Leiden tersebut, ternyata buatan zaman Majapahit abad ke-14 -15 M. Maka gugurlah anggapan orang, keris sudah dikenal sejak abad ke-9 M.
Lagi pula ada sebagian ahli menyangsikan bentuk relief keris Borobudur, Prambanan atau pun Sewu. Pasalnya itu bukan bentuk keris, melainkan lebih cenderung ke bentuk belati.
Membincangkan asal muasal keris, sampai kini memang belum ada kata sepakat di antara para ilmuwan. Ahli purbakala Bernet Kempers misalnya, beranggapan prototipe keris adalah perkembangan dari senjata tusuk zaman perunggu, bukan zaman batu.
Namun Griffith Wilkers membantah keras, katanya budaya keris baru muncul sekitar zaman Majapahit abad ke-14 - 15 M.
"Soalnya, sebelum abad-abad itu, tak sebuah candi pun di Jawa Tengah yang secara jelas menggambarkan keris. Keris yang tervisual kongkret baru ada di percandian Jawa Timur," ujarnya dalam sebuah karangan di tahun 1937.
Candi Tigawangi di Kediri atau Jago di Malang, barangkali memang bisa dijadikan contoh betapa saat itu keris sudah dikenal orang. Kalau di Candi Jago, keris hanya diselipkan di pinggang para punakawan dalam adegan Pendawa Main Dadu, di tembok batur Candi Penataran Blitar, lebih kongkret lagi.
Meski agak usang dan penuh lumut, relief keris jelas sekali dipahatkan dalam konteks perkelahian dua tokoh. Jadi fungsi keris di abad ke 15 M, betul-betul untuk senjata pembela diri.
Musafir Cina Ma-Huan dalam bukunya Yingyai Sheng-lan (1416) sempat terkesiap saat mengunjungi Keraton Majapahit, karena hampir semua penduduk menyandang pulak atau keris di pinggangnya.
Bahkan, bocah-bocah Majapahit sejak berumur 3 tahun sudah membawa pulak. Memang tak salah- lagi, orang Majapahit saat itu pintar bikin keris.
Simak saja berpuluh-puluh prasasti Jawa Kuno yang menyiratkan informasi kecerdikan pandai besi zaman dulu yang disebut pande wsi.
Di Candi Sukuh, lereng Gunung Lawu, terpahat rapi adegan bengkel kerja pandai besi termasuk di dalamnya proses pembuatan keris. Ada lelaki berdiri di depan api ububan di samping rekannya yang sedang membakar logam.
Hasilnya, terpahat di depannya berbagai peralatan senjata yang artistik termasuk keris berlekuk.
Dari prasasti angka tahun di sana, Candi Sukuh didirikan di abad ke 15 M. Toh, bukan berarti baru saat itu pembuatan keris pertama kalinya dilakukan, sebab kata keris itu sudah muncul jauh sebelumnya, tepatnya di abad ke- 11 M sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Karangtengah dengan istilah kres.
Bahkan Prasasti Poh berangka tahun 907 M, menyebutkan fungsi kres bersama wangkiul (tombak) dan punukan (senjata bermata dua) sebagai perangkat ritual pengukuh Desa Poh menjadi daerah perdikan atau kawasan bebas pajak.
Dari beberapa gambaran di atas, dapat disimpulkan keris adalah perkembangan bentuk dari senjata genggam prasejarah berupa sengat ikan pari yang dibalut pangkalnya untuk digenggam (Gardner, 1936).
Namun pencapaian bentuk keris seperti terlihat sekarang ditafsir baru abad ke-13 dan mencapai puncak kesempurnaannya di sekitar abad ke-15.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1991)
(Baca juga: Karakter Seseorang Bisa Dilihat dari Bulan Kelahirannya. Coba Buktikan!)