Find Us On Social Media :

Tradisi Tiwah: Pesta Mengantar Arwah ke Surga Agar Tak Tersesat

By Ade Sulaeman, Sabtu, 13 Januari 2018 | 15:45 WIB

Meski jasadnya sudah dikuburkan, arwah si mati sebenarnya masih belum sampai ke tempat tujuan akhirnya, yakni lewu tatau alias surga.

Nuel Numai, pendeta Kaharingan dari Desa Kampuri, bercerita bahwa dalam upacara penguburan arwah hanya diantar sampai ke tempat pemukiman sementara di Bukit Nalian Lanting.

Di sana ia bergabung dengan roh-roh lain yang juga sedang menunggu saat pemberangkatan ke surga. Dari tempat transit ini para arwah masih bisa kembali gentayangan di sekitar manusia yang masih hidup.

Para arwah baru naik ke surga setelah mereka ditiwahkan dan tulang-belulang mereka  dimasukkan ke sandung. Sebelum tiwah dilakukan, sampai kapan pun para arwah ini tak akan pernah sampai ke lewu tatau dan terus terombang-ambing di antara langit dan bumi.

Tentunya, tak ada orang yang rela membiarkan roh leluhurnya menggelandang tak karuan. Karena itu, bagi orang Ngaju, tiwah menjadi semacam utang pada anggota keluarga mereka yang sudah tiada.

Walau si mati sudah lama dikuburkan, para ahli warisnya belum bisa hidup tenang sebelum mereka bisa meniwahkan arwahnya.

Biayanya jutaan

Besarnya biaya yang harus disediakan membuat sebuah keluarga biasanya harus menunggu bertahun-tahun sampai mereka mampu menyelenggarakan pesta tiwah.

Bahkan, tak aneh ada arwah yang harus menunggu sampai lebih dari dua puluh tahun sebelum kaum kerabatnya yang masih hidup meniwahkan dan mengantarkannya ke lewu tatau.

Paling tidak, satu-dua juta rupiah harus ada di tangan. Itu baru biaya untuk satu arwah. Makin banyak arwah yang hendak ditiwahkan, makin besar juga ongkosnya.

Biaya ini bukan hanya untuk membeli hewan-hewan yang akan dikurbankan, tapi juga untuk membayar para ulama Kaharingan yang bertugas menyiapkan dan memimpin upacara, yang upahnya dihitung per arwah.

Jika sebuah sandung baru harus dibuat, biayanya tentu lebih besar lagi.