Penulis
Intisari-Online.com – Perjalanan ke surga tentu bukan hal yang patut diratapi.
Karena itu upacara tiwah di Tanah Ngaju, Kalteng, lebih mirip pesta besar-besaran.
Pesta tiwah yang mencapai puncaknya tanggal 4 dan 5 Maret 1988 mungkin merupakan salah satu yang terakhir.
Karena itu Intisari khusus mengirim salah satu wartawannya untuk membuat laporan pandangan mata.
(Baca juga: ‘Acar Kelingking’, Persembahan Anggota Yakuza untuk para 'Bapak' Sebagai Tanda Kesetiaan)
---
“Silakan bapak-bapak buktikan sendiri," seorang laki-laki menunjuk lubang di pinggir sebuah lapangan kecil. "Tak ada kurban manusia."
Puluhan yang hadir berebutan melongokkan kepala ke lubang berukuran 1,5 x 1,5 m sedalam kurang-lebih 2 m itu.
Termasuk para pejabat tnpida: Pemda, Koramil dan Polsek Kecamatan Kuala Kurun, yang sengaja diundang menghadiri pesta tiwah di Teluk Nyatu itu.
Di dasar lubang memang tak ada mayat atau kepala manusia. Yang kelihatan cuma empat butir telur dan seekor anak babi, yang kemudian ditombak sebagai tumbal.
Pernyataan ini sengaja diumumkan di hadapan para pejabat setempat untuk membantah desas-desus yang sudah terlanjur beredar luas ke segala penjuru Kalteng, yakni bahwa pesta tiwah di desa di tepi Sungai Kahayan itu memakai kurban manusia.
Lubang yang baru saja selesai digali tak lain dari lubang untuk menanam tiang-tiang penyangga sandung, bangunan kecil berbentuk rumah, tempat menyimpan tulang-belulang orang mati setelah rohnya ditiwahkan.
Kalau mengikuti kebiasaan lama, harus ada tumbal manusia dalam pendirian mausoleum Dayak ini.
(Baca juga: Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu)
Di masa yang lalu orang yang dikurbankan adalah budak si mati sendiri, yang harus menyertai tuannya pergi ke alam baka.
Namun, rupanya kebiasaan ini sudah lama ditinggalkan.
Mungkin sejak akhir abad yang lalu, setelah diadakan perjanjian di antara para kepala suku Dayak untuk tidak lagi saling memerangi dan mengayau.
Masuknya ajaran Kristen ke pedalaman Kalimantan Tengah boleh jadi juga telah ikut mempercepat pupusnya tradisi ini.
Pesta tiwah, rukun iman pertama
Dalam bukunya tentang agama orang Ngaju, Hans Scharer, petugas zending dan antropolog Jerman yang pernah lama bertugas di Kalteng, mengatakan pesta tiwah sebenarnya merupakan manifestasi dari pandangan hidup orang Ngaju dan mitos mereka tentang penciptaan jagad raya.
Orang Ngaju menganggap kematian sebagai suatu hal yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan alam semesta.
Terganggunya keselarasan alam ini, lebih lanjut, menyebabkan seluruh masyarakat berada dalam ancaman bencana.
Untuk menghindarinya, keseimbangan jagad raya harus dipulihkan dengan menyelenggrakan pesta tiwah.
Tiwah bukan sekadar upacara keagamaan. la juga sebuah bentuk keriaan yang paling besar dan kolosal yang dikenal orang Ngaju.
Pesta untuk para arwah ini tak bisa ditandingi oleh pesta perkawinan yang paling mewah sekalipun. Orang Ngaju yang tinggal di rantau boleh saja tak pulang kampung jika ada kerabatnya yang kawin, tapi ia pasti pulang untuk tiwah.
Para penjudi juga berpesta
Bukan hanya kaum kerabat dan undangan saja yang datang menghadiri pesta yang jadi rukun iman pertama pemeluk agama Hindu Kaharingan ini.
Ribuan pengunjung biasa juga berdatangan dari berbagai pelosok, terutama di hari puncak acara. Mereka ini termasuk para penjudi dan bandar judi, yang sengaja datang untuk mengadu nasib dengan dadu atau kartu remi.
Perjudian sudah jadi tradisi yang melengkapi pesta tiwah. Karena itu, selama masa pesta pihak kepolisian biasanya memberi izin khusus untuk melakukan kegiatan yang sebenarnya terlarang ini.
Disamping itu, setiap malam juga diselenggarakan pesta, lengkap dengan acara minum arak dan menari bersama.
Walau tiwah berkaitan dengan soal kematian, sedikit pun tak ada suasana duka dalam pelaksanaannya. Soalnya, tiwah bukan upacara kematian biasa, tapi upacara kematian khusus untuk mengantar para arwah ke surga.
Perjalanan ke surga tentu saja bukan hal yang patut diratapi, tapi justru harus disyukuri. Karena itu, tiwah bukan disebut upacara, tapi pesta, dan diselenggarakan dalam suasana penuh suka cita.
Menunggu 20 tahun sebelum masuk surga
Kuburan ternyata tak selalu berarti tempat peristirahatan terakhir. Menurut aturan agama Kaharingan, agama asli orang Ngaju, kuburan di mana orang ditanam begitu setelah ia mati masih merupakan "rumah" sementara.
Setelah beberapa tahun - atau bisa juga lebih lama lagi - tulang-belulang yang tersisa baru akan dipindahkan ke dalam sandung, yang menjadi tempat peristirahatan terakhir yang sesungguhnya.
Meski jasadnya sudah dikuburkan, arwah si mati sebenarnya masih belum sampai ke tempat tujuan akhirnya, yakni lewu tatau alias surga.
Nuel Numai, pendeta Kaharingan dari Desa Kampuri, bercerita bahwa dalam upacara penguburan arwah hanya diantar sampai ke tempat pemukiman sementara di Bukit Nalian Lanting.
Di sana ia bergabung dengan roh-roh lain yang juga sedang menunggu saat pemberangkatan ke surga. Dari tempat transit ini para arwah masih bisa kembali gentayangan di sekitar manusia yang masih hidup.
Para arwah baru naik ke surga setelah mereka ditiwahkan dan tulang-belulang mereka dimasukkan ke sandung. Sebelum tiwah dilakukan, sampai kapan pun para arwah ini tak akan pernah sampai ke lewu tatau dan terus terombang-ambing di antara langit dan bumi.
Tentunya, tak ada orang yang rela membiarkan roh leluhurnya menggelandang tak karuan. Karena itu, bagi orang Ngaju, tiwah menjadi semacam utang pada anggota keluarga mereka yang sudah tiada.
Walau si mati sudah lama dikuburkan, para ahli warisnya belum bisa hidup tenang sebelum mereka bisa meniwahkan arwahnya.
Biayanya jutaan
Besarnya biaya yang harus disediakan membuat sebuah keluarga biasanya harus menunggu bertahun-tahun sampai mereka mampu menyelenggarakan pesta tiwah.
Bahkan, tak aneh ada arwah yang harus menunggu sampai lebih dari dua puluh tahun sebelum kaum kerabatnya yang masih hidup meniwahkan dan mengantarkannya ke lewu tatau.
Paling tidak, satu-dua juta rupiah harus ada di tangan. Itu baru biaya untuk satu arwah. Makin banyak arwah yang hendak ditiwahkan, makin besar juga ongkosnya.
Biaya ini bukan hanya untuk membeli hewan-hewan yang akan dikurbankan, tapi juga untuk membayar para ulama Kaharingan yang bertugas menyiapkan dan memimpin upacara, yang upahnya dihitung per arwah.
Jika sebuah sandung baru harus dibuat, biayanya tentu lebih besar lagi.
Tak aneh kalau tiwah jarang dilaksanakan sendiri-sendiri. Penduduk sebuah desa, atau beberapa desa yang berdekatan, biasa menyelenggarakan pesta bagi para arwah ini secara kolektif, agar ongkos yang besar bisa ditanggung bersama.
Pesta tiwah di Teluk Nyatu diikuti lima belasan keluarga dan meniwahkan 21 arwah. Menurut seorang anggota panitianya, seluruh biaya yang telah dikeluarkan untuk acara yang berlangsung sebulan penuh ini tak kurang dari Rp 50 juta.
Ini memang tergolong pesta tiwah yang besar. Soalnya, selain hewan yang dikurbankan jumlahnya sampai puluhan ekor, sebuah keluarga berada telah membuat sebuah sandung baru bernilai jutaan rupiah dari kayu ulin (kayu besi) yang kini makin mahal dan sulit dicari.
Arwah pun bisa tersesat
Ada belasan mata acara yang dilakukan selama pesta tiwah, mulai dari acara mendirikan sandung, sampai upacara meminta berkah pada Ranjing Hatala - begitu umat Kaharingan menyebut Tuhan - , yang dilakukan pada akhir pesta tiwah.
Tapi, upacara yang paling penting dan yang menjadi inti dan pesta tiwah, adalah upacara hanteran, yakni upacara mengantarkan para arwah ke lewu tatau.
Upacara ini dipimpin oleh ulama Kaharingan yang disebut upu atau tukang hanteran. Jika para arwah bisa diandaikan sebagai astronaut yang terbang dengan roket ke bulan, upu ini adalah operator yang mengendalikannya dari bumi.
Lewu tatau dilukiskan sebagai sebuah negeri yang kaya raya, berpasir emas, berkerikil intan dan manik-manik, di mana tulang-tulang tak lagi membusuk. Di sana para arwah akan hidup tentram, damai, gemah ripah lohjinawi.
Dalam upacara hanteran, upu membacakan doa-doa dan mengisahkan perjalanan para roh mulai dan desa asal mereka sampai akhirnya tiba di surga. Karena surga letaknya sangat jauh, maka kisah perjalanan ke sana pun jadi panjang.
Upacara hanteran berlangsung semalam suntuk, mulai setelah waktu makan malam hingga pagi keesokan harinya.
Sedikit saja upu melakukan kesalahan dalam berkisah, akibatnya arwah-arwah tidak bisa melanjutkan perjalanan atau tersesat entah ke mana karena mengambil jalan yang salah.
Misalnya saja, waktu para arwah sudah hampir sampai di bulan, konon pintu gerbang bulan tak bisa terbuka jika tukang hanteran sedikit saja kurang lengkap menceritakan kisah perjalanan sebelumnya.
Ini membuat perjalanan para arwah terhambat, dan baru bisa dilanjutkan jika tukang hanteran mengulangi sekali lagi kisah perjalanan panjang ini dari awal.
Ke surga naik perahu
Tugas seorang upu dianggap luar biasa berat bukan hanya karena ia menjadi satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas keberhasilan perjalanan para arwah ke lewu tatau, tapi juga karena ia sendiri harus menanggung risiko jika salah mengucapkan doa atau dalam menceritakan kisah perjalanan suci ini.
Konon, ia bisa sakit keras atau bahkan langsung meninggal dunia.
Tak aneh kalau seorang upu dibayar mahal. Untuk kerja satu malam di Teluk Nyatu, ia diberi imbalan lebih dari satu juta rupiah.
Ini belum termasuk macam-macam hadiah lain yang diberikan kepadanya oleh keluarga-keluarga peserta tiwah sebagai pernyataan terima kasih karena arwah ayah, ibu, kakek atau nenek mereka telah diantar ke tempat yang semestinya.
Perjalanan ke lewu tatau sangat jauh dan sulit, dan harus dicapai melalui lebih dari seratus sungai, danau, gunung, terusan dan lautan.
Setelah menyeberangi sebuah jembatan yang sangat tinggi, barulah para arwah yang ditiwah sampai di surga, yang disebut juga dengan Batang Tiawu Bulau Sating Malelak Bulau, tempat keemasan yang indah gilang-gemilang.
Meski perjalanan harus melalui sungai, danau, gunung dan laut, seperti layaknya kalau orang bepergian di dunia kita ini, penganut Kaharingan percaya bahwa surga itu adanya di lapisan langit yang ketujuh.
Kendaraan yang dipakai oleh para arwah adalah sejenis perahu yang disebut banama nyahu. Dalam perahu ini para arwah juga membawa segala kekayaan mereka, mulai dari binatang ternak, tempayan, segala perhiasan sampai budak mereka masing-masing.
Jadi, makin banyak arwah yang ditiwahkan, tentunya makin sarat juga muatan perahu.
(Ditulis oleh Muljawan Karim. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1988)
(Baca juga: Wanita Ini Diceraikan Suaminya Gara-gara Hanya Mandi dan Berhubungan Seks Sekali dalam Setahun)